Lewati Batas, UU Daerah Khusus Jakarta Berpotensi Cacat Formil
Seperti UU Cipta Kerja yang dibahas instan, UU tentang Daerah Khusus Jakarta pun lewati batas waktunya. Cacat formalkah?
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta atau UU DKJ berpotensi cacat formil jika disahkan. Sebab, proses pembentukannya melewati batas waktu yang telah diperintahkan UU Ibu Kota Negara. Keterlambatan proses pembentukan UU DKJ ini dikhawatirkan membuat proses legislasi dibahas secara terburu-buru, sangat tertutup, dan tidak partisipatif.
Surat Presiden mengenai persetujuan pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) telah diterima DPR. Surat tersebut juga telah dibacakan dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, 5 Maret 2024. Bahkan, Presiden juga menugaskan lima menteri untuk membahas RUU DKJ bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, hingga kini, pembahasannya belum intensif.
Kelima menteri yang ditugaskan adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Baca juga: RUU DKJ Dibahas, Pasal Kontroversial Penunjukan Gubernur Jakarta Masih Bisa Diubah
Kelalaian legislasi
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (11/3/2024), mengatakan, ada kelalaian legislasi yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah saat ini terkait pembentukan UU DKJ. Sebab, UU Ibu Kota Negara (IKN) mengamanatkan bahwa produk hukum tersebut seharusnya dibuat paling lambat dua tahun sejak UU IKN disahkan, yakni 15 Februari 2022.
Pemerintah seharusnya, lanjut Charles, juga sudah membuat keputusan presiden (keppres) mengenai perpindahan ibu kota. Keppres itu pun paling lambat terbit dua tahun sejak UU IKN diundangkan. Namun, ia menduga, keppres ihwal perpindahan ibu kota baru akan dibuat setelah RUU DKJ disahkan menjadi UU.
Saya khawatir hal ini membuat UU DKJ menjadi cacat formil karena proses pembentukannya sudah melewati batas waktu yang diperintahkan UU IKN.
”Saya khawatir hal ini membuat UU DKJ menjadi cacat formil karena proses pembentukannya sudah melewati batas waktu yang diperintahkan UU IKN. Artinya, bukan tidak mungkin ini menjadi dasar bagi orang yang tidak sepakat dengan apa yang dimuat atau diatur di dalam UU DKJ untuk mempersoalkannya,” ujar Charles.
Selain itu, keterlambatan proses pembentukan UU DKJ tersebut juga dikhawatirkan bakal membuat proses legislasi dilaksanakan secara terburu-buru. Hal ini akan membuat proses pembahasan RUU DKJ di Senayan menjadi sangat tertutup dan tidak partisipatif.
Charles mengungkapkan, bukan tidak mungkin pembahasan RUU DKJ akan berakhir seperti undang-undang lain seperti UU Mahkamah Konstitusi yang kelar dibahas dalam 7 hari, UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang selesai dalam kurun 14 hari, atau UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang selesai tiga bulan.
Ia menilai, batas waktu dua tahun untuk membentuk UU DKJ tersebut sebenarnya merupakan pesan dari UU IKN supaya pemerintah dan DPR lebih serius dalam menyusun UU DKJ. Namun, faktanya pemerintah dan DPR terjebak pada agenda politik kepemiluan sehingga proses pembentukan UU tersebut terbengkalai.
Kalau mereka serius, itu (UU DKJ) dulu yang dibereskan.
”Kalau mereka serius, itu (UU DKJ) dulu yang dibereskan. Sayang pemerintah lebih fokus ke (hal-hal) fisik, ya, infrastruktur sudah dipersiapkan sedemikian rupa tanpa berpikir ini Jakarta mau di-apain setelah tidak lagi ditetapkan sebagai ibu kota,” tambah Charles.
Pasal kontroversial
Padahal, ada satu pasal kontroversial yang harus dibahas secara mendalam, yakni Pasal 10 RUU DKJ. Pasal tersebut mengatur soal penunjukan gubernur Jakarta oleh presiden. Pasal 10 Ayat (2) RUU DKJ menyebutkan, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pengaturan demikian, menurut Charles, justru menyalahi konstitusi. Pasal 18 UUD 1945 mengamanatkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara demokratis. ”Makna dipilih itu adalah kalau tidak langsung, ya, secara tidak langsung. Cuma kalau penunjukan itu, kan, bukan pemilihan namanya, tapi itu pengangkatan saja,” katanya.
Kegelisahan ini juga terbaca dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada akhir Februari lalu. Sebesar 66,1 persen responden mengaku tidak setuju apabila gubernur Jakarta dipilih melalui penunjukan langsung.
Ada beragam alasan keengganan masyarakat atas gagasan ini. Dari hasil jajak pendapat, lebih dari 40 persen masyarakat melihat akan terjadi kemunduran demokrasi jika pilkada langsung di Jakarta ditiadakan. Sisanya, ada yang menyebut rawan konflik kepentingan (24,5 persen), masyarakat semakin tak didengarkan (24,5 persen), dan gubernur bukan lagi mewakili masyarakat (9,8 persen).
Jangan sampai kekhususannya hanya terkait pemilihan kepala daerah dan kemudian hanya ditunjuk oleh presiden.
Karena itu, Charles menyarankan agar pembahasan RUU DKJ nantinya dilakukan secara komprehensif. Tak hanya mengenai kepala daerahnya saja, tetapi juga membahas Jakarta secara makro dari berbagai aspek, seperti ekonomi, politik, dan budaya serta bagaimana meletakkan kekhususan Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota. Proses pembahasan RUU DKJ harus menjadi momentum untuk memberikan payung bagi pembenahan Jakarta secara keseluruhan.
”Jangan sampai kekhususannya hanya terkait pemilihan kepala daerah dan kemudian hanya ditunjuk oleh presiden,” ujarnya.
Menurut dia, isu tersebut perlu segera diputuskan. Sebab, tahapan pilkada serentak 2024 sudah dimulai dan Jakarta juga harus segera bersiap diri melaksanakan pilkada. Perlu ada kepastian hukum mengenai hal tersebut.
Mencederai demokrasi
Secara terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR Abdul Wahid mengakui RUU DKJ mendesak dibahas. Hal ini mengingat status DKI Jakarta yang telah berakhir pada 15 Februari lalu sebagaimana diamanatkan oleh UU IKN. Meski dikejar waktu, menurut dia, pembahasan RUU DKJ harus tetap sesuai aturan dan membuka partisipasi publik.
Jadi, enggak boleh terburu-buru. Itu bagian dari yang harus kami jaga karena, tentu yang terpenting adalah taat aturan dan mekanisme pembahasan.
”Jadi, enggak boleh terburu-buru. Itu bagian dari yang harus kami jaga karena tentu yang terpenting adalah taat aturan dan mekanisme pembahasan," tutur Abdul Wahid.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyampaikan, hasil jajak pendapat Litbang Kompasakan menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU DKJ. Partainya pun tidak setuju jika gubernur Jakarta nantinya ditunjuk oleh presiden, melainkan harus melalui pilkada. Sebab, jika ditunjuk oleh presiden, ini akan rawan konflik kepentingan.
”Kami bukan tidak percaya pada pemerintah, ya. Artinya, kalau ditunjuk oleh pemerintah, berarti, kan, pemerintah yang punya kekuasaan, rakyat hanya menerima. Itu sudah melanggar dan mencederai asas demokrasi. Sementara asas demokrasi itu, kan, di tangan rakyat," ucap Abdul Wahid.
Kami bukan tidak percaya pada pemerintah, ya. Artinya, kalau ditunjuk oleh pemerintah, berarti, kan, pemerintah yang punya kekuasaan, rakyat hanya menerima. Itu sudah melanggar dan mencederai asas demokrasi. Sementara asas demokrasi itu, kan, di tangan rakyat.
Abdul Wahid mengungkapkan, pemerintah sepertinya akan sepakat dengan aturan mengenai gubernur Jakarta dipilih melalui pilkada. Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, melihat gelagat yang serupa.
”Tentunya pemerintah harus menyadari agar hak rakyat jangan sampai diamputasi. Kalau sampai gubernur Jakarta ditunjuk, ini, kan, kemunduran demokrasi,” kata Firman.
Namun, keputusan pemerintah tersebut mesti dilihat kembali dalam daftar inventarisasi masalah atas RUU DKJ yang dikirimkan pemerintah manti. Firman menyebut, pada Rabu (13/3/2024), Baleg DPR akan menggelar rapat kerja dengan Mendagri dan menteri-menteri lain yang telah ditunjuk Presiden untuk membahas RUU DKJ.
Terlepas dari itu, Golkar akan menolak jika gubernur Jakarta nantinya ditunjuk oleh presiden. Golkar akan mempertahankan tetap dilakukan pilkada sehingga demokratisasi berjalan dengan baik. Bahkan, di kemudian hari, patut dipertimbangkan pula agar bupati dan wali kota di DKJ dipilih langsung, bukan ditunjuk oleh gubernur seperti sekarang.
Karena itu, putra-putri di daerah bisa dapat kesempatan untuk mencalonkan diri. Lalu, ini juga membuka kesempatan bagi kader-kader parpol untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut.
”Karena itu, putra-putri di daerah bisa dapat kesempatan untuk mencalonkan diri. Lalu, ini juga membuka kesempatan bagi kader-kader parpol untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut,” ucap Firman.
Ia juga memastikan pembahasan RUU DKJ nantinya tetap melalui rapat yang terbuka untuk umum sehingga publik bisa ikut mengawasi proses pembahasan. Namun, ia mengingatkan, dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD disebutkan bahwa stakeholder yang diikutkan dalam penyusunan UU adalah mereka yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Baca juga: Jakarta Nantikan Kepastian Soal Kekhususan Wilayah dalam RUU DKJ
”Jika melihat RUU Minerba, sebenarnya pembahasannya itu sudah lama. Jujur malah RUU Minerba waktu itu, kan, enggak mungkin kami mendengarkan seluruh masyarakat yang tidak punya kompetensi. Itu prinsip-prinsip dasar,” tuturnya.
Proses pembahasan pun diyakini akan berjalan cepat karena ini sudah melewati batas waktu yang sudah diamanatkan oleh UU IKN. Lagi pula, tidak banyak pasal yang diubah. Aturan yang diubah kemungkinan besar hanya seputar status ibu kota Jakarta menjadi ibu kota khusus untuk pusat perekonomian internasional dan domestik. Kemudian, pembahasan mengenai masalah gubernur Jakarta harus melalui pilkada atau ditunjuk oleh Presiden.
”Makanya ini, kan, jangan sampai ada kekosongan hukum. Kami juga harus memikirkan Jakarta ini harus segera dapat status yang jelas,” katanya.