Syarat Jaksa Agung, Harus Berhenti dari Kepengurusan Parpol 5 Tahun Sebelumnya
Terafiliasinya Jaksa Agung dengan partai akan memengaruhi persepsi netralitas saat penuntutan dan profesionalitasnya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang transisi kepemimpinan nasional seusai dilakukannya pemungutan suara 14 Februari lalu, Mahkamah Konstitusi kembali mengingatkan agar posisi Jaksa Agung benar-benar dilepaskan dari pengaruh kepentingan politik. MK dalam putusannya terhadap uji materi Undang-Undang Kejaksaan menegaskan, seorang Jaksa Agung haruslah lima tahun sudah lepas dari kepengurusan partai politik terhitung hingga diangkat.
Penegasan ini dimaksudkan agar Kejaksaan lebih independen dan profesional dalam melaksanakan tugas penegakan hukumnya. Independensi tersebut sangat penting mengingat Jaksa Agung memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi.
”Keterkaitan Jaksa Agung dengan partai politik, terlebih sebagai pengurus suatu partai politik, akan menimbulkan konflik kepentingan ketika Jaksa Agung yang bersangkutan harus mengambil keputusan-keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan hukum. Namun, karena memiliki kepentingan dengan partai politik, maka terbuka kemungkinan untuk memutus berdasarkan pertimbangan kepentingan politik dan kemungkinan adanya intervensi dari partai politik yang menaunginya,” kata hakim konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, Kamis (29/2/2024), di Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Dalam putusan tersebut, MK memberi makna baru terhadap Pasal 20 UU No 11/2021 tentang Kejaksaan. Pasal tersebut mengatur syarat-syarat seorang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung, yaitu warga negara Indonesia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berijazah paling rendah sarjana hukum, sehat jasmani dan rohani, serta berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Dengan adanya putusan ini, syarat seorang Jaksa Agung ditambahkan tidak menjadi pengurus partai politik dalam lima tahun dihitung sejak pengangkatan.
Keterkaitan Jaksa Agung dengan partai politik, terlebih sebagai pengurus suatu partai politik, akan menimbulkan konflik kepentingan ketika Jaksa Agung yang bersangkutan harus mengambil keputusan-keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan hukum.
”Dissenting opinion”
Putusan MK tersebut tidak bulat. Dua hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Sementara Hakim Konstitusi, Arsul Sani, mengajukan alasan yang berbeda (concurring opinion).
Dalam pertimbangannya, MK menyinggung tugas dan kewenangan Jaksa Agung yang sangat strategis dalam penegakan hukum di Indonesia. Di antaranya, sebagai penuntut umum tertinggi, jaksa pengacara negara di bidang perdata dan tata usaha negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan pengadilan. Jaksa Agung juga merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan, yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, wewenang kejaksaan dan tugas lain yang diberikan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Saldi, jabatan Jaksa Agung haruslah diisi oleh seseorang yang mempunyai karakteristik khas dan mempunyai pengetahuan hukum yang baik, serta memiliki keahlian khusus, termasuk manajerial dalam memimpin dan mengkoordinasi penegak hukum lain. Jaksa Agung juga harus berintegritas, memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, rekam jejak, komitmen yang tinggi dalam upaya penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi serta harus terbebas dari kepentingan politik.
Terafiliasinya Jaksa Agung dengan partai politik akan memengaruhi persepsi netralitas dalam penuntutan serta profesionalisme dalam menjaga integritas dan independensinya.
Untuk itu, seorang Jaksa Agung idealnya harus bebas dari afiliasi partai politik. ”Terafiliasinya Jaksa Agung dengan partai politik akan memengaruhi persepsi netralitas dalam penuntutan serta profesionalisme dalam menjaga integritas dan independensinya,” ucapnya.
Dalam catatan Kompas, Jaksa Agung saat ini, ST Burhanuddin, meskipun bukan anggota maupun pengurus parpol, dikenal dikenal sebagai adik dari politisi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, yang kini duduk di DPR. Sementara Jaksa Agung sebelumnya, M Prasetyo, saat diangkat adalah anggota DPR asal Partai Nasdem, yang pernah meniti karier di Kejaksaan Agung. Adapun Jaksa Agung sebelumnya, yaitu Basrief Arief dan lainnya, dikenal sebagai jaksa karier, hakim, dan lainnya.
Hilangkan kepercayaan publik
MK juga khawatir, keterlibatan Jaksa Agung dengan urusan parpol dapat mengganggu kinerja dan efektivitas kepemimpinannya sehingga pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan. Hal ini juga sesuai dengan putusan MK sebelumnya, yaitu putusan nomor 30/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada 15 Agustus 2023. Dalam putusan tersebut, MK sudah menegaskan agar Presiden harus membatasi keterlibatan pimpinan Kejaksaan (Jaksa Agung) dari berbagai kepentingan parpol.
Dalam putusannya kali ini, MK membedakan status calon Jaksa Agung (sebelum diangkat) sebagai anggota partai politik dan pengurus partai politik. Bagi anggota parpol, calon Jaksa Agung tersebut dukup mengundurkan diri sejak diangkat menjadi Jaksa Agung. Sementara pengurus parpol wajib ada jangka waktu 5 tahun sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung.
Pembatasan yang dilakukan MK tersebut tidak mengurangi hak prerogatif Presiden dalam menentukan anggota kabinet. Presiden tetap memiliki kebebasan dan menentukan calon untuk mengisi anggota kabinet, termasuk dalam memilih Jaksa Agung asalkan tetap merujuk pada keputusan MK. ”Hak prerogatif presiden tidak dibatasi,” kata Saldi.