Dinamika Pemilu yang Jadi Angin Segar bagi AHY dan Demokrat
Presiden Jokowi diduga tengah mengantisipasi risiko politik pascapemilu dengan menarik AHY masuk ke kabinet.
Dinamika Pemilu 2024 mengubah konstelasi partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Partai Demokrat dimasukkan ke dalam gerbong pendukung pemerintahan setelah sejumlah partai yang lebih dulu berada di dalam gerbong, belakangan, justru terlihat berseberangan dengan pemerintah.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akhirnya bisa masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju setelah ditunjuk dan dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Rabu (21/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika ditilik ke belakang, sebenarnya sudah berulang kabar berembus bahwa Agus yang akrab dipanggil AHY itu akan masuk dalam kabinet sekaligus menarik Demokrat menjadi salah satu partai politik (parpol) pendukung pemerintahan Jokowi-Amin. Kabar itu salah satunya berembus menjelang pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk periode kedua pada tahun 2019.
Pertemuan sudah berulang terjadi antara Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Demokrat—serta putranya, AHY. Meski demikian, hingga Presiden melantik para menterinya, figur AHY tak terlihat di antara para anggota kabinet.
Isu itu kembali berembus saat Syahrul Yasin Limpo tak lagi menjabat Menteri Pertanian (Mentan) setelah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Oktober 2023. Menjelang pengisian posisi Mentan, Presiden sempat memanggil AHY.
Spekulasi AHY akan diangkat menjadi menteri pun menguat setelah Presiden Jokowi mengangguk saat ditanya wartawan soal isu Demokrat masuk kabinet menjelang pelantikan Mentan pengganti Syahrul. Apalagi, AHY mengunggah persoalan pertanian di akun media sosialnya. Namun, kembali lagi, bukan AHY, melainkan Amran Sulaiman yang dilantik menjadi Mentan.
Sulitnya AHY dan Demokrat masuk dalam gerbong pemerintah kerap dikaitkan dengan rivalitas antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sejak Pemilu 2004. Namun, kini, dinamika Pemilu 2024 membuat lenyap tembok penghalang tersebut sehingga tak sulit bagi Presiden Jokowi menarik AHY dan Demokrat.
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, relasi antara Jokowi dan Megawati serta PDI-P memang merenggang. Meskipun PDI-P merupakan partai asal Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak total mendukung capres-cawapres pilihan PDI-P, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Gerak-gerik Jokowi justru dipandang banyak kalangan lebih mendukung pesaing Ganjar-Mahfud, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Suatu hal yang tak mengherankan karena Gibran merupakan putra sulung dari Jokowi.
Sikap Ganjar dan Mahfud beserta PDI-P yang kerap menyerang Jokowi dan pemerintahannya selama pemilu kian merenggangkan relasi Jokowi dan PDI-P.
Baca juga: AHY Masuk Kabinet, PDI-P Ingatkan Potensi Konflik Kepentingan
Belakangan, setelah hitung cepat sejumlah lembaga menunjukkan keunggulan Prabowo-Gibran, Ganjar bahkan menyerukan agar fraksi-fraksi di DPR, terutama fraksi dari parpol pengusungnya di pilpres, PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menggulirkan hak angket atau interpelasi untuk mengusut dugaan kecurangan di pemilu.
Seruan ini pun disambut dukungan dari Anies dan Muhaimin. Anies saat jumpa pers, Selasa (20/2/2024), meyakini koalisi parpol pengusungnya, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), akan ikut mendukung usulan angket itu.
Saat ini, PDI-P, Nasdem, PKB, dan PPP masih menjadi bagian dari koalisi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-Amin. Sejumlah kader partai tersebut pun masih berada dalam Kabinet Indonesia Maju. Jika kursi di DPR semua partai tersebut diakumulasi, bisa mendominasi parlemen dengan total 314 kursi dari total 575 kursi.
Menurut Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, Jokowi bisa jadi membaca ancaman dari dominannya penguasaan kursi dari kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin itu terhadap stabilitas pemerintahannya yang akan berakhir Oktober mendatang.
Apalagi, tak hanya ancaman hak angket atau interpelasi, partai-partai itu tak henti-hentinya mengkritisi program atau kebijakan pemerintah. Jokowi tentu harus mengambil langkah antisipasi jika kelak PDI-P, Nasdem, PKB, dan PPP keluar dari kabinet sekaligus gerbong koalisi parpol pendukung pemerintah. Langkah antisipasi dimaksud dengan menarik Agus Harimurti dan Demokrat dalam kabinet.
”Memang ada kebutuhan dari sisi pemerintah untuk memastikan stabilitas politik itu serta dukungan yang efektif di parlemen sampai akhir masa pemerintahan Pak Jokowi,” ujar Arya.
Baca juga: Presiden Jokowi Lantik AHY sebagai Menteri ATR/Kepala BPN
Arya menduga, Jokowi tengah berusaha mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk atau risiko-risiko politik yang bisa terjadi setelah pemilu. Misalnya, hubungan Jokowi dengan PDI-P. Tidak ada yang bisa memprediksi apakah PDI-P bakal semakin kritis setelah pemilu ini di parlemen, begitu juga partai lain yang ada di kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin.
”Jadi, ada kebutuhan juga untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk itu, misalnya kabinet menjadi tidak solid atau partai-partai menjadi tidak loyal. Jadi, dengan memberikan kepastian kepada Demokrat, yaitu dengan memberikan posisi kepada Mas Agus Harimurti, tentu Pak Jokowi bisa memaksimalkan dukungan di parlemen,” ucap Arya.
Arya mengungkapkan, pengguliran hak angket mengenai pemilu hanya menjadi salah satu risiko terburuk yang harus diantisipasi Jokowi. Berbagai risiko politik yang perlu diantisipasi adalah berkaitan dengan agenda-agenda penting ke depan sampai akhir pemerintahan, seperti pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, yang akan dibahas pada Juli-Agustus 2024, serta pembahasan mengenai jadwal pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. ”Nah, bisa jadi Pak Jokowi mempersiapkan soliditas partai koalisi untuk agenda-agenda penting itu juga,” kata Arya.
Dengan memberikan kepastian kepada Demokrat, yaitu dengan memberikan posisi kepada Mas Agus Harimurti, tentu Pak Jokowi bisa memaksimalkan dukungan di parlemen.
Namun, bergabungnya Demokrat belum bisa menjawab persoalan stabilitas pemerintahan. Sebab, dengan bergabungnya Demokrat (54 kursi di DPR), akumulasi kursi di DPR parpol pengusung Prabowo-Gibran hanya 261 kursi sehingga sangat mungkin Jokowi akan kembali mencoba mendekati partai lain yang merupakan lawan politik Prabowo-Gibran di pilpres.
Pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, beberapa hari lalu, ditengarai bagian dari upaya mengamankan jalannya pemerintahannya. Pernyataan Presiden Jokowi setelah pertemuan yang menyebut ingin merangkul semua kekuatan politik setelah pilpres seolah menguatkan dugaan itu. Tak hanya Nasdem, Jokowi juga sempat mencoba mendekati Megawati melalui Sultan Hamengku Buwono X meskipun hingga kini belum terlihat perkembangan yang signifikan.
”Nah, tentu akan ada juga usaha untuk melobi partai-partai lain. Namun, partai-partai tentu juga tengah menghitung untung ruginya karena bagaimanapun akan ada pilkada di November mendatang. Jadi, potensi untuk masuk kabinet terbuka bagi partai lain,” ucap Arya.
Baca juga: Beri Kursi Menteri ke AHY, Jokowi Butuh Demokrat di Akhir Masa Jabatan
Terlepas dari itu, menurut Arya, ke depan, penting didorong agar terbentuk oposisi yang kuat di parlemen. Hal tersebut salah satunya bisa terjadi apabila partai-partai juga bersedia menjadi oposisi sehingga pemerintahan baru ke depan mempunyai counter yang kuat dari parlemen. ”Yang paling utama, itu tentu juga bagus bagi demokrasi kita. Penting tetap ada checks and balances di pemerintahan,” ujarnya.