Efek Ekor Jas Tak Terlihat di Pemilu 2024
Kekuatan kolektif diyakini lebih menjadi penentu.
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya keterikatan kandidat dalam pemilihan presiden dengan sebagian partai politik pengusung ditengarai menjadi salah satu sebab tidak optimalnya efek ekor jas di Pemilu 2024.
Hal itu tampak pada perolehan suara sejumlah partai politik (parpol) pada pemilu legislatif (pileg) jika dibandingkan dengan suara calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) di pemilihan presiden (pilpres).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meski pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul jauh di pilpres berdasarkan hasil hitung cepat, PDI-P justru yang mendapat suara terbanyak di pemilu legislatif (pileg). Padahal, PDI-P mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang mendapat suara paling sedikit di pilpres.
Baca juga: Partai Nonparlemen Sulit Lolos Masuk DPR, Jejaring Politik Jadi Kendala
Hasil hitung cepat Litbang Kompas terhadap hasil pileg hingga Jumat (16/2/2024) pukul 18.26, dengan jumlah data masuk sebesar 99,20 persen, PDI-P mendapat 16,36 persen suara dan disusul Partai Golkar di urutan kedua dengan 14,59 persen suara.
Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo menempati posisi ketiga dengan 13,51 persen suara. Gerindra dan Golkar merupakan anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Prabowo-Gibran.
Perolehan suara parpol anggota KIM lainnya ada di bawah Golkar dan Gerindra.
Tak sejalan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan, minimnya efek ekor jas dari capres-cawapres terhadap perolehan suara parpol merupakan dampak dari desain pemilu serentak dan adanya ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Setiap kandidat harus diusung oleh parpol atau gabungan parpol sehingga mereka akan menjadi calon bersama dari banyak parpol. Akibatnya, keterikatan antara kandidat dan parpol pengusungnya lemah.
”Kalau calon bersama, artinya tidak ada keterikatan yang kuat,” kata Kacung.
Dalam pilpres, lanjutnya, afiliasi personal juga lebih kuat untuk mendorong pemilih mendukung capres-cawapres ketimbang keterikatan ideologis. Karena itu, pilihan kandidat tak selalu sejalan dengan pasangan yang diusung oleh parpol pilihannya.
Tingginya pemilih bimbang (swing voters) yang mencapai 20 persen, lanjut Kacung, juga menyebabkan preferensi pemilih dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain. Fenomena ini terjadi sejak pemilu-pemilu sebelumnya.
Meski demikian, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menyatakan, pola perolehan suara parpol anggota KIM saat ini tetap mirip dengan Pemilu 2019. Sejumlah parpol pengusung Prabowo mendapatkan efek ekor jas dari pencalonan sosok tersebut. Namun, efek elektoral tersebut tidak didominasi oleh Gerindra, tetapi lebih banyak dinikmati parpol lain.
Menurut Habiburokhman, hal itu merupakan hasil dari model kepemimpinan Prabowo. Alih-alih mengutamakan kehadiran di kampanye Gerindra, Prabowo lebih sering datang ke kampanye parpol lain. ”Beliau memang Ketua Umum Partai Gerindra, tetapi mengakomodasi parpol pendukung lain dengan sangat fair. Sepanjang kampanye Pemilu 2024, beliau lebih banyak datang ke kampanye partai lain,” katanya.
Dengan cara tersebut, lanjut Habiburokhman, parpol-parpol lain memberikan dukungan penuh terhadap Prabowo. Oleh karena itu, Gerindra sebagai parpol asal Prabowo tidak kecewa jika tidak mendapatkan efek ekor jas yang paling tinggi. ”Kami tetap berbesar hati, bersenang hati juga karena Pak Prabowo menjadi presiden. Artinya, efek ekor jas yang didapatkan parpol lain sebanding dengan upaya yang mereka lakukan untuk memenangkan Pak Prabowo,” tuturnya.
Kekuatan kolektif
Tidak linearnya efek ekor jas capres-cawapres terhadap parpol juga tampak pada perolehan suara PDI-P. Meski kandidat pilpres yang diusung, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tertinggal dari dua pasangan lainnya, PDI-P tetap berada di posisi teratas dalam perolehan suara.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya tidak bergantung pada kekuatan orang per orang. PDI-P berupaya untuk membangun kekuatan kolektif rakyat. ”Jadi, kita ini membangun people effect, kekuatan kolektif. Terlalu berbahaya jika republik ini bertumpu pada kekuatan orang per orang,” kata Hasto.
Baca juga: Dari Perindo hingga PSI, Partai Nonparlemen Sulit Tembus ke Senayan
Pola yang sama juga ditemukan pada parpol-parpol pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Perolehan suara Partai Nasdem, sebagai parpol pertama yang mendeklarasikan Anies, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai parpol yang dipimpin Muhaimin tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan Pemilu 2019. Padahal, Anies-Muhaimin mendapatkan dukungan suara hingga 25,23 persen.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengatakan, kehadiran Muhaimin dalam kontestasi pilpres turut membuat struktur PKB lebih solid, terkoordinasi, dan stabil. Langkah-langkah pemenangan yang dilakukan PKB semakin terencana dan terukur. Kerja-kerja caleg di lapangan pun menjadi lebih mudah.
Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa menyatakan, ada fase saat elektabilitas Nasdem meningkat setelah mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. Pada periode akhir 2022 hingga awal 2023, elektabilitas Nasdem di berbagai lembaga survei meningkat. Saat itu, Anies mulai diajak berkampanye bersama Nasdem di beberapa daerah. ”Namun, saat mendekati pemungutan suara, tren tersebut cenderung melandai. Efek ekor jas saling mengompensasi di beberapa wilayah karena ada sentimen positif dan sentimen negatif,” tuturnya.