Sutradara dan Tiga Akademisi ”Dirty Vote” Dilaporkan
Ketiga pemapar di film dokumenter ”Dirty Vote” menyatakan siap menghadapi laporan pidana yang diarahkan kepada mereka.
JAKARTA, KOMPAS - Kelompok yang menyebut diri sebagai Forum Komunikasi Santri Indonesia atau Foksi akan melaporkan sutradara dan tiga akademisi dalam film dokumenter Dirty Vote ke Badan Reserse Kriminal Polri dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Sentra Gakkumdu. Atas laporan itu, ketiga akademisi yang menjadi aktor dalam film tersebut menyatakan siap menghadapi proses hukum.
Ketua Umum Foksi M Natsir Sahib membenarkan bahwa pihaknya telah mendatangi Bareskrim Polri, Senin (12/2/2024). Dalam keterangan tertulisnya, Foksi mendatangi Bareskrim untuk berkonsultasi dalam rangka melaporkan sutradara film dokumenter Dirty Vote, yakni Dandhy Dwi Laksono, beserta tiga akademisi yang muncul dalam film tersebut, yakni Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada kedatangannya kemarin ke Bareskrim, masih terdapat kekurangan dalam berkas laporan. ”(Kami) sedang melengkapi berkas ke Gakkumdu dan Bareskrim hari ini,” kata Natsir ketika dihubungi, Selasa (13/2/2023).
Natsir menuturkan, kedatangannya ke Bareskrim adalah untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh ketiga akademisi dalam film tersebut beserta sutradaranya. Ini karena film tersebut dinilai telah membuat kegaduhan serta menyudutkan salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Hal itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang masa tenang.
Pelanggaran yang dimaksud adalah terkait Pasal 287 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pasal tersebut tertulis, ”Media massa cetak, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran dilarang untuk menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan kampanye pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu”.
Dengan demikian, lanjut Natsir, film tersebut dinilai termasuk pelanggaran pemilu dan bersifat tendensius terhadap calon lain. Di sisi lain, ia menilai, ketiga akademisi itu berada dalam tim reformasi hukum yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ketika masih dijabat Mahfud MD.
”Kami menilai, para akademisi tersebut telah menghancurkan tatanan demokrasi dengan memenuhi unsur niat permufakatan jahat membuat isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga munculnya gejolak di masyarakat dengan fitnah dan data palsu yang disebar ke masyarakat. Ini daya rusaknya luar biasa di tengah masyarakat,” tuturnya.
Ketika ditanya mengenai afiliasi atau arah dukungan Foksi terhadap salah satu pasangan capres-cawapres dalam Pemilu 2024, Natsir mengatakan, Foksi hanya sebatas mendukung salah satu pasangan calon tanpa menyebut dukungan kepada siapa. ”Tapi kalau pelaporannya karena inisiasi inginkan pemilu damai,” lanjutnya.
Siap hadapi
Ketiga pemapar dalam film dokumenter Dirty Vote menyatakan siap menghadapi laporan pidana yang disampaikan terhadap mereka. ”Kalau bicara soal kami dilaporkan, gimana lagi, silakan. Itu bagian dari konsekuensi yang sudah kami hitung, sudah kami pikirkan. Kalau mau laporkan, ya, laporkan saja,” ucap Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, dalam kuliah umum perdana Fakultas Hukum UGM melalui Zoom, Selasa.
Zainal merupakan salah satu pemeran dalam Dirty Vote, bersama dengan ahli hukum tata negara STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dan pendiri Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari. Tak hanya Zainal, Bivitri dan Feri juga hadir dalam kegiatan tersebut dan mengamini ucapan Zainal.
Menurut lelaki yang lebih sering dipanggil Uceng itu, pihaknya sebenarnya sudah menyeleksi beberapa data yang ditampilkan dalam Dirty Vote. ”Yang kami lakukan (sebenarnya) cuma mengkliping, tidak hanya sekadar dari koran, tetapi juga media online dan fakta-fakta. Kegiatan mengkliping ini kemudian kami sistematisir dan kami analisis menjadi lebih padu saja,” paparnya.
Ada dua target dalam peluncuran film tersebut yang hendak dituju. Pertama, kata Zainal, mengkritisi kekuasaan yang digunakan secara serampangan dan para politisi/partai politik agar terus bersama rakyat setelah pemilu (andaipun nantinya kalah dalam pemilihan). Ia berharap, partai tersebut terus berada dengan rakyat menjadi oposisi.
Pengajar pada Fakultas Hukum UGM, Herlambang P Wiratraman, mengungkapkan, pelaporan pidana terhadap Feri, Bivitri, dan Zainal sangat tidak tepat dilakukan. Konten yang ditampilkan dalam film Dirty Vote penuh dengan data dan analisis ilmiah bersifat scientific dengan menggunakan istilah-istilah yang populer dalam ilmu hukum tata negara.
”Kalau toh diperkarakan, justru mengonfirmasi ada pihak yang tidak siap dengan masalah yang diangkat dengan substansi film itu. Berkaitan dengan kekurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif serta melibatkan struktur ketatanegaraan. Pihak-pihak yang keberatan seharusnya ya bikin film tandingan. Bikin produksi pengetahuan yang bisa menandingi data, analisis dari ketiga pemeran tersebut,” tutur Herlambang.
Ia juga menilai, ketiga pemeran serta sutradara film itu tidak bisa dipidanakan sebab tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum. Pihak-pihak yang memiliki otoritas terkait dengan penyelenggaraan pemilu seharusnya berterima kasih dengan produksi film itu.
Apabila ketiganya dipidanakan, ia khawatir langkah tersebut justru mencederai kebebasan berekspresi, kebebasan akademik mengingat film tersebut berbasis riset dan analisis, serta kebebasan berkesenian mengingat film itu merupakan bagian dari seni.
Wewenang Bawaslu
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho ketika ditanya mengenai film dokumenter Dirty Vote yang jadi perbincangan publik menyatakan, hal itu ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena itu, Bawaslu jadi pihak yang dapat menilai dan menentukan apakah film itu termasuk pelanggaran pemilu atau tidak.
Bawaslu, lanjut Sandi, yang berwenang untuk melihat lebih dalam terkait kemungkinan film itu termasuk kampanye terselubung, kampanye gelap, atau yang lain. ”Nanti akan diteliti baru disampaikan kepada kami. Biarkan Bawaslu yang melihat apakah ini menjadi suatu pelanggaran atau tidak,” ucapnya.