Film ”Dirty Vote”, Mahfud Bilang Pemainnya Tak Berkaitan dengan Saya
Calon Wapres Mahfud MD mengaku nonton film ”Dirty Vote”, tetapi tak tahu tiga pemerannya itu dukung dirinya atau tidak.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3 Mahfud MD mengaku sudah menonton film dokumenter Dirty Vote meskipun tidak selesai. Ia pun menampik bahwa film itu berkaitan dengannya karena tiga pemeran utamanya adalah pakar hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
”Saya sudah nonton sepotong-sepotong saja karena itu panjang sekali, ya. Saya nonton sepertiga ketiduran pas di Mekkah umrah,” ujar Mahfud saat ditanya wartawan di kediamannya, Selasa (13/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setelah menonton film tersebut, menurut mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu, tidak tepat jika film itu dikait-kaitkan dengan dirinya. Salah satu tudingan dari warganet adalah karena ketiga pemeran utama film tersebut masuk dalam Tim Reformasi Hukum Kemenko Polhukam yang dibentuk Mahfud dulu.
Baca juga: Tanggapi Film ”Dirty Vote”, Penjabat Gubernur Jabar Bantah Tidak Netral
Ia pun menyayangkan pihak-pihak yang menyebut bahwa para pemeran di film itu adalah tim Mahfud MD. ”Enggak ada (kaitannya dengan saya). Saya juga tidak tahu mereka mendukung saya atau tidak,” ujarnya menegaskan.
Saya sudah nonton sepotong-sepotong saja karena itu panjang sekali, ya. Saya nonton sepertiga ketiduran pas di Mekkah umrah.
Mahfud mengklarifikasi ketiga orang itu adalah teman-temannya. Saat ia masih menjadi dosen, mereka adalah anak-anak binaan dan teman berdiskusi Mahfud.
”Bivitri, Feri Amsari, Saldi Isra, Uceng (Zainal Arifin Mochtar) memang teman saya semua. Dan, saya punya tim reformasi hukum 60 orang lebih itu ada yang ke Anies, ada yang ke Prabowo juga. Jadi, itu enggak ada hubungannya dengan saya semua,” tutur Mahfud.
Ia menjelaskan, bahkan sejak pemilu, dia tidak pernah bertemu dengan pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, karena yang bersangkutan menghindar untuk bertemu Mahfud. Mahfud menghargai sikap itu. Namun, untuk Zainal Arifin Mochtar, karena dia tinggal di Yogyakarta dan Mahfud juga sering ke sana, mereka sering bertemu.
Adapun untuk Bivitri, menurut Mahfud, juga terus berdiskusi dengannya jika ada masalah hukum yang harus dibahas di Kemenko Polhukam.
Bivitri, Feri Amsari, Saldi Isra, Uceng (Zainal Arifin Mochtar) memang teman saya semua. Dan, saya punya tim reformasi hukum 60 orang lebih itu ada yang ke Anies, ada yang ke Prabowo juga. Jadi, itu enggak ada hubungannya dengan saya semua.
”Banyak itu binaan saya yang tersebar. Fritz Edward Siregar itu juru bicaranya Pak Prabowo juga teman baik saya,” ucapnya.
Secara substansi, menurut Mahfud, isi film dokumenter yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono itu tidak ada yang baru. Film itu secara umum hanya fakta-fakta yang dijahit dengan sangat baik dari segi sinematografi sehingga tidak ada yang mengejutkan.
Banyak itu binaan saya yang tersebar. Fritz Edward Siregar itu juru bicaranya Pak Prabowo juga teman baik saya.
”Saya tidak menilai itu sesuatu yang menurut saya pandangan kritis dari orang-orang yang idealis. Tapi, enggak ada kaitannya sama sekali dengan saya, loh. Saya enggak tahu begitu-begitu,” kata Mahfud.
Terkait dengan sutradara dan tiga pemain film yang dilaporkan ke Bareskrim Polri, Mahfud menyebut hal itu biasa di negara hukum. Menurut dia, hal itu hanya untuk mengimbangi situasi yang terjadi sekarang.
Selamatkan bangsa
Budayawan Butet Kartaredjasa berpandangan film tersebut memang kuat. Publik memang membutuhkan informasi dengan data akademik yang sangat kuat, berdasarkan data, jejak digital, dan akurasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Butet berharap orang-orang setelah menonton film itu bisa mengambil keputusan dengan jernih untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Baca juga: KSP Anggap Film ”Dirty Vote” sebagai Kritik, Ingatkan Pemilu Harus Damai
Terkait dengan pelaporan sutradara dan pemain film ke kepolisian, Butet mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi oleh konstitusi. Undang-undang Dasar 1945 melindungi bentuk-bentuk ekspresi dan artikulasi pikiran warga negara. Jika kemudian praktiknya sedikit-sedikit dilaporkan ke polisi, artinya ada relasi kekuasaan yang menggerakkan.
”Dalam praktik berdemokrasi, tidak boleh itu terjadi. Jadi, kalau dilaporkan, apalagi kemudian diselidiki menjadi kasus kriminal, saya yakin 200 persen seluruh rakyat Indonesia akan bergerak menolong orang yang terhambat kebebasan berekspresinya,” kata Butet.