Koalisi LSM Nilai Bukan Lagi Kecurangan Pemilu, melainkan Kejahatan Pemilu
Koalisi LSM ragu pemilu berkeadilan akan terwujud dalam Pemilu 2024. Ada kejahatan pemilu yang melibatkan kekuasaan.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM untuk Keadilan Pemilu mengatakan, berbagai rangkaian pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilu selama ini sudah tidak bisa lagi dikategorikan sekadar sebagai sebuah kecurangan dalam kontestasi elektoral lima tahunan. Yang terjadi adalah kejahatan pemilu yang melibatkan penyelenggara negara, mulai dari presiden, menteri, kepala daerah, aparatur sipil negara di semua tingkatan hingga kepala desa dan lurah.
Koalisi menyimpulkan, pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematif, dan masif sudah terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi wake up call bagi semua pihak, baik pegiat LSM, akademisi, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya untuk mengawasi jalannya kontestasi. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa prinsip jujur dan adil yang mendasar dalam sebuah pemilihan sudah tercederai.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam rilis hasil pemantauan yang diterima Kamis (8/2/2024), Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu menemukan adanya pelanggaran yang meningkat tajam dalam kurun dua-tiga bulan terakhir. Pemantauan yang dilakukan sejak 13 November 2023 atau sejak pasangan calon ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum hingga 31 Januari 2024, ada 121 kasus yang ditemukan. Jumlah tersebut meningkat hingga 300 persen dibandingkan periode Mei-November 2023 yang hanya ditemukan 56 kasus.
Baca juga: Waspadai Kecurangan, Ganjar Perintahkan Tim Pemenangan Kawal Semua TPS
Ada tiga bentuk penyimpangan aparatur negara yang teridentifikasi, yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas. Dari tiga bentuk penyimpangan tersebut, Koalisi LSM menetapkan 31 kategori tindakan. Adapun jumlah tindakan yang paling banyak dilakukan adalah dukungan ASN terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bansos (8 kasus), dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (9 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus), dan dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (2 kasus).
”Begitu kandidat capres/cawapres ditetapkan, ada mobilisasi aparat besar-besaran,” kata Halili Hasan dari Setara Institute. Selain Setara Institute, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi adalah Imparsial, Kontras, Centra Initiative, KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), dan Inklusif.
Ada tiga bentuk penyimpangan aparatur negara yang teridentifikasi, yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas. Dari tiga bentuk penyimpangan tersebut, Koalisi menetapkan 31 kategori tindakan.
Dari sisi pelaku, tambah Halili, Presiden menjadi salah satu pelaku terbesar dalam bentuk-bentuk penyimpangan/pelanggaran tersebut. Presiden dinilai telah memobilisasi sumber daya negara untuk kepentingan pemenangan kandidat tertentu, baik partai maupun pasangan calon tertentu.
Dari catatan Koalisi, presiden tercatat melakukan 11 kasus pelanggaran atau berada di urutan keempat. Pelaku penyimpangan netralitas pertama dilakukan oleh ASN pemerintah kabupaten (13), menteri (13), lurah atau kepala desa (12), presiden, polisi (9 kasus), ASN pemerintah provinsi (8 kasus), anggota TNI (7 kasus), bupati (4 kasus), wali kota (4 kasus), dan camat (4 kasus).
TSM sudah terpenuhi
Armand Suparman dari KPPOD mengatakan, unsur terstruktur, sistematis, dan masif sudah terpenuhi dalam berbagai pelanggaran yang terjadi selama beberapa bulan ini. Aspek terstruktur terpenuhi karena pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, misalnya mulai dari presiden yang melakukan politisasi bantuan sosial dengan anggaran yang sangat besar. Selain itu, ada pula para menteri, kepala daerah, hingga pejabat setingkat desa.
Secara sistematis ada kebijakan yang menopang, baik langsung maupun tidak langsung kecurangan-kecurangan yang ada dan itu menguntungkan salah satu pasangan calon.
”Aspek terstrukturnya terpenuhi. Dia yang punya kewenangan untuk mengatur anggaran yang dialokasikan, didistribusikan. Di mana dan kapan, siapa saja targetnya. Jadi, secara sistematis ada kebijakan yang menopang, baik langsung maupun tidak langsung, kecurangan-kecurangan yang ada dan itu menguntungkan salah satu pasangan calon,” kata Armand.
Sementara itu, aspek masif dalam pelanggaran tersebut juga dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di masyarakat yang sudah terdokumentasikan.
Menurut dia, laporan yang dibuat oleh koalisi LSM tersebut perlu menjadi wake up call bahwa penyelenggaraan pemilu kali ini tidak sedang baik-baik saja. Temuan-temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa alat negara digunakan, sumber daya dipakai, jabatan/kewenangan/fasilitas/anggaran/kebijakan juga dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu.
”Ini bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu yang seharusnya ditegakkan,” tegar Armand.
Banal
Ini kecurangan dan kejahatan konstitusional pertama yang telanjang dan terbuka di depan publik. Tidak ada di antara kita yang membantah bahwa ada nepotisme di kasus tersebut.
Al Araf dari Centra Initiative sepakat dengan pandangan bahwa yang terjadi saat ini tak sekadar pelanggaran pemilu, tetapi kejahatan pemilu. Bahkan, lebih jauh Al Araf mengatakan, kejahatan pemilu itu dilakukan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait uji materi syarat usia capres dan cawapres yang kemudian memberi jalan bagi Gibran untuk dapat mengikuti kontestasi lima tahunan tersebut.
”Ini kecurangan dan kejahatan konstitusional pertama yang telanjang dan terbuka di depan publik. Tidak ada di antara kita yang membantah bahwa ada nepotisme di kasus tersebut,” ujar Al Araf yang menilai bahwa kekuasaan telah mempermainkan konstitusi dan MK dengan sangat banal dan brutal.
Baca juga: Waspadai Kecurangan, Tim Anies-Muhaimin Luncurkan Gerakan 1 Juta Kentongan
Ia juga mengungkapkan, apabila nanti kandidat lain menggugat hasil pemilu ke MK (sengketa perselisihan hasil pemilu), harus ditarik sejak putusan 90 yang kemudian dikonfirmasi oleh Majelis Kehormatan MK dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan ada pelanggaran etik dalam pencalonan Gibran. Ia khawatir, pemilu kali ini sulit diharapkan menjadi pemilihan yang jujur dan adil.
”Kekuasaan telah berkepentingan terhadap pemilu sejak putusan 90. Sejak itu diikuti dengan semua rangkaian peristiwa yang terjadi, mulai dari penurunan baliho lawan politik, kemudian intimidasi dan kekerasan (terhadap simpatisan calon lain) di Boyolali, netralitas aparat. Itu akumulasinya. Tangan-tangan kekuasaan bekerja untuk memenangkan pasangan calon nomor 02 karena ada putra presiden di situ dalam kontestasi pemilu,” kata Araf.