Wajah demokrasi Indonesia tercoreng akibat tingginya pelanggaran yang masif dalam tahapan Pemilu 2024.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kondisi demokrasi Indonesia kini dinilai mengalami degradasi sekaligus tercoreng. Kondisi ini dipicu krisis moralitas dan pelanggaran yang dilakukan berbagai pilar negara dalam Pemilu 2024.
Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo, di Bandung, Selasa (6/2/2024), memaparkan, terjadi aksi yang menyebabkan degradasi nilai demokrasi yang terus terjadi jelang pemungutan suara. Aksi ini terindikasi melibatkan pilar-pilar negara, baik eksekutif maupun yudikatif.
Ia menilai merosotnya nilai demokrasi juga dipicu penyelenggara pemilu. Hal ini terlihat dari putusan peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bagi seluruh komisioner KPU RI yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
”Merosotnya nilai demokrasi karena dipaksakan untuk kepentingan pihak tertentu dalam konteks pemilu. Akibatnya, kondisi ini akan melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter,” papar Pius.
Ia menuturkan, implementasi demokrasi yang tidak sesuai koridor akan memicu hilangnya kepercayaan kepada masyarakat. Hal ini akan melahirkan fenomena disobedience atau pembangkangan masyarakat terhadap regulasi negara.
”Fenomena disobedience adalah sebuah kondisi terjadi kekacauan di tengah masyarakat karena tidak lagi menjalankan regulasi yang ditetapkan negara. Hal ini karena mereka mengikuti contoh buruk yang ditunjukkan oknum penguasa,” tutur Pius.
Ia menyatakan, aksi yang digaungkan akademisi dari kampus, tokoh agama, hingga budayawan bukanlah sikap partisan, melainkan suara kenabian terkait kondisi saat ini. ”Mereka menyampaikan pendapatnya karena merespons degradasi demokrasi yang terjadi saat ini di Indonesia,” tambahnya.
Merosotnya nilai demokrasi karena dipaksakan untuk kepentingan pihak tertentu dalam konteks pemilu. Akibatnya, kondisi ini akan melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter.
Sementara itu, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai, krisis moralitas dan etika telah mencoreng wajah demokrasi Indonesia dalam Pemilu 2024. Hal ini terlihat dari terjadinya pelanggaran yang begitu masif, terutama dalam masa kampanye di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis hingga 8 Januari 2024, Bawaslu telah menangani pelanggaran Pemilu sebanyak 1.032 kasus yang terdiri dari 329 temuan dan 703 laporan. Dari jumlah kasus pelanggaran tersebut, 585 kasus telah diregistrasi dengan rincian 297 laporan dan 288 temuan.
Dari hasil penanganan pelanggaran yang dilakukan Bawaslu, terungkap bahwa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu menjadi pelanggaran terbesar, yakni 205 kasus. Kemudian pelanggaran hukum lain sebanyak 57 kasus, pelanggaran administrasi 50 kasus, dan pelanggaran pidana sebanyak 10 kasus.
”Tingginya pelanggaran dalam tahapan pemilu belum ditindaklanjuti Bawaslu secara maksimal. Mereka selalu berkilah memiliki kelemahan dalam regulasi, padahal sudah terdapat Peraturan Bawaslu,” ungkap Neni.
Ia menambahkan, penyelenggaraan pemilu saat ini dinilai telah rusak. Hal ini akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu.
”Dalam putusan DKPP terbukti komisioner KPU RI melanggar etik dengan meloloskan Gibran. Jika penyelenggara pemilu terus melanggar etik, dikhawatirkan terjadi hilangnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara dan mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berjalan,” ungkap Neni.