Bukan Gerakan Politik, Muhaimin Ingatkan Jangan Abaikan Seruan Kampus
Muhaimin mengingatkan, seruan keprihatinan dari kalangan kampus seharusnya jadi bahan evaluasi bagi penguasa.
JAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, mengaku kecewa terhadap Istana yang dinilainya bersikap acuh tak acuh terhadap seruan keprihatinan dari kalangan kampus. Bentuk keprihatinan kalangan akademisi hingga masyarakat sipil seharusnya tidak diabaikan. Akan lebih baik jika seruan dari kalangan kampus itu menjadi bahan evaluasi dan peringatan pemerintahan yang tengah berjalan.
”Saya kecewa dengan respons istana yang seolah-olah (seruan kampus) ini ada kepentingan politik. Sekali lagi, jangan ditarik ke politik, tetapi ini peringatan pada kita semua khususnya pada Presiden dan seluruh pemerintahan,” ujarnya seusai menerima dukungan dari alumni Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) di Jakarta, Minggu (4/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setidaknya sejak akhir Januari, para sivitas akademika dari sejumlah kampus menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Joko Widodo, aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. Merespons hal itu, Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana menilai fenomena seruan kampus adalah hal yang wajar menjelang Pemilu 2024.
Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi
Muhaimin mengaku kecewa lantaran Istana merespons seruan kampus seolah sebagai suatu gangguan dan ditunggangi kepentingan politik elektoral. Padahal, beragam seruan itu muncul sebagai peringatan moral dan cambuk pengingat untuk memperbaiki jalannya pemerintahan.
Kekhawatiran akademisi tersebut, lanjut dia, kebetulan sejalan dengan agenda perubahan yang digaungkannya dengan sang capres, Anies Baswedan. ”Itu (esensi seruan kampus) sudah dua minggu saya suarakan tapi ternyata seirama. Saya menghormati itu bukan gerakan politik, tapi itu betul-betul gerakan moral dan intelektual yang sudah turun gunung,” ucapnya.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu melihat berbagai polemik kebangsaan yang diserukan kaum intelektual bermula dari penguatan politik dinasti yang berlebihan. Lalu, ketidaknetralan pejabat pemerintahan juga terjadi di seluruh tingkatan. Ia mencontohkan Penjabat Gubernur Kalimantan Barat, kepolisian yang memeriksa kepala desa semaunya, dan sebagainya.
Itu (esensi seruan kampus) sudah dua minggu saya suarakan, tapi ternyata seirama. Saya menghormati itu bukan gerakan politik, tapi itu betul-betul gerakan moral dan intelektual yang sudah turun gunung.
”Saya sudah bolak-balik mengingatkan supaya tidak terjerumus ke dalam pemilu yang tidak fair karena nanti hasilnya tidak legitimate. Kalau hasilnya tidak legitimate, (kami) mengkhawatirkan kesuksesan pembangunan,” tutur Muhaimin.
Terima dukungan
Dalam kesempatan itu, Muhaimin menerima dukungan dari keluarga besar alumni PTIQ dan IIQ Jakarta. M Sodri, salah satu inisiator deklarasi dukungan, menyebutkan, alumni PTIQ dan IIQ tersebar di seluruh Indonesia dan banyak di antaranya yang memiliki pesantren-pesantren.
”Lulusan PTIQ dan IIQ profesinya beragam. Mayoritas semua alumni punya pondok pesantren, paling tidak majelis taklim. Mereka adalah massa kita, by name by address untuk diarahkan memilih nomor 1 (Anies-Muhaimin),” katanya saat memberi sambutan.
Baca juga: Guru Besar Serukan Selamatkan Demokrasi agar Pemilu Adil
Secara spesifik, deklarasi dukungan dibacakan oleh salah satu alumnus PTIQ, mantan Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar. Menurut dia, Anies-Muhaimin memenuhi persyaratan dan kriteria pemimpin yang tercatat dalam Al-Quran. Selain itu, polemik kebangsaan yang menerpa Indonesia menjadi salah satu alasan lainnya.
Musni berharap, masalah mendasar, seperti peredaran narkoba, judi daring, hingga pinjaman daring bisa diselesaikan. Sebab, hal tersebut terus menggerogoti kaum muda yang menjadi masa depan Indonesia.