logo Kompas.id
Politik & HukumSuara Keprihatinan dari...
Iklan

Suara Keprihatinan dari Kalangan Kampus Meluas

Seruan keprihatinan dari kalangan kampus dan akademisi terus meluas. Mereka menyerukan agar demokrasi diselamatkan.

Oleh
DEFRI WERDIONO
· 2 menit baca
Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017). Mural tersebut membawa pesan tentang tumbuhnya proses demokrasi di tengah keberagaman sosial budaya masyarakat.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017). Mural tersebut membawa pesan tentang tumbuhnya proses demokrasi di tengah keberagaman sosial budaya masyarakat.

JAKARTA, KOMPAS — Suara keprihatinan akan terancamnya tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia dari kalangan kampus meluas. Kali ini giliran para rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik menyerukan kepada semua pihak agar dapat menjaga pemilu berjalan damai dan demokratis. Penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan kekuatan politik tertentu diharapkan dapat dihentikan.

Sebagai bentuk keprihatinan, para rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (Aptik) mengeluarkan pernyataan sikap terkait dinamika politik 2024. Dari surat pernyataan yang diterima Kompas, Sabtu (3/2/2024), diketahui, pernyataan sikap itu ditandatangani 24 rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik di Indonesia.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Kami semua, 24 rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik, merasa prihatin karena kenegawaranan turun. Muncul sikap-sikap yang tidak demokratis serta penyalahgunaan kekuasaan. Hukum juga disalahgunakan demi kekuasaan, hal-hal yang tidak etis,” kata Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Albertus Bagus Laksana, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu malam.

Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, pada Pemilihan Presiden, Rabu (17/4/2019). Hiasan nuansa perdesaan in dibuat untuk menyemarakkan Pilpres 2019 dan mendorong warga untuk aktif memilih.
KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, pada Pemilihan Presiden, Rabu (17/4/2019). Hiasan nuansa perdesaan in dibuat untuk menyemarakkan Pilpres 2019 dan mendorong warga untuk aktif memilih.

Aptik melihat saat ini telah terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pemilu. Selain kolusi, korupsi, dan nepotisme, penegakan hukum juga dinilai semakin menyimpang. Hal ini tak hanya bertentangan dengan semangat reformasi dan konstitusi, tetapi juga telah mengoyak nurani dan keadilan bangsa.

Baca juga: Guru Besar UMY: Penggunaan Fasilitas Negara adalah Pelanggaran Serius

Oleh karena itu, para rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik di Indonesia mengharapkan Presiden dan segenap jajarannya agar menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas-asas pemerintahan yang baik. Selain itu juga tetap memegang teguh sumpah jabatan sesuai tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal yang juga penting adalah menegakkan hukum dengan baik dan tidak tebang pilih.

Iklan

Aptik juga menyerukan kepada penyelenggara pemilu agar menjunjung tinggi asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Penyelenggara pemilu juga harus menjamin hak pilih semua warga negara.

Kami semua, 24 rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik, merasa prihatin karena kenegawaranan turun. Muncul sikap-sikap yang tidak demokratis serta penyalahgunaan kekuasaan. Hukum juga disalahgunakan demi kekuasaan, hal-hal yang tidak etis.

Bukan hanya itu, Aptik juga meminta aparatur negara, baik TNI, Polri, maupun ASN bersikap netral, tidak memihak pada kandidat tertentu. Untuk menjaga pemilu berkualitas, para rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik mengajak semua perguruan tinggi di Indonesia terlibat aktif memantau dan mengawasi jalannya pesta demokrasi lima tahunan.

”Kami mengajak semuanya memperbaiki proses demokrasi dan menghentikan hal-hal yang tidak etis,” kata Bagus.

Kemunduran demokrasi

Seruan keprihatinan juga disampaikan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan menggelar deklarasi masyarakat sipil untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia pada Sabtu siang.

LP3ES menilai peradaban politik Indonesia mengalami ”gempa” dahsyat yang belum pernah dialami sepanjang era reformasi. Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa mengungkapkan, setelah gagal mewacanakan masa jabatan presiden tiga periode dan penundaan pemilu, Presiden Jokowi kemudian menggunakan cara terakhir melancarkan praktik inkonstitusional demi memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, putranya, menjadi calon wakil presiden.

Ilustrasi
DIDIE SW

Ilustrasi

LP3ES menilai, politik dinasti dan pengingkaran konstitusi ini menjadi titik nadir kemunduran demokrasi yang muncul setiap tahun, berupa pengingkaran terhadap aturan main demokrasi, penyingkiran lawan politik, praktik kekerasan negara, dan pemberangusan kebebasan sipil, termasuk media.

Untuk itu, LP3ES mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon yang lahir dari manipulasi konstitusi. Selain itu juga mengajak semua lapisan masyarakat untuk mengawasi, menjaga, dan memastikan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. ”Kami mengajak masyarakat bersama-sama selamatkan demokrasi,” ujar Fahmi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000