Tafsir Rasa Cemas Saat Presiden Jokowi ”Turun Gunung” di Pemilu
CEO Polmark Research Center Eep Saefulloh Fatah menilai, Presiden Jokowi cemas sehingga turun gunung di Pemilu 2024.
Dua pekan jelang pemungutan suara, Presiden Joko Widodo semakin intens membagi bantuan sosial. Presiden juga intens bertemu elite-elite politik tertentu. Sedikitnya dua kali pertemuan empat mata terjadi antara Jokowi dan Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden nomor urut 2.
Para ketua umum partai politik pengusung Prabowo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, turut ditemui Presiden, seperti Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sejumlah pihak menilai, kegiatan Presiden membagikan bantuan sosial (bansos) memiliki maksud terselubung yang berkaitan dengan politik praktis Pemilu 2024. Apalagi, seremoni pembagian tidak dihadiri dan diikuti oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini, anggota Kabinet Indonesia Maju dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
CEO Polmark Research Center Eep Saefulloh Fatah, dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Demi Satu Putaran?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (31/1/2024) malam, menyebut peran Jokowi kini berbeda dari pemilu sebelumnya. Kali ini, anak kandungnya terlibat langsung menjadi peserta pemilu.
”Pak Jokowi itu orang yang sangat percaya data. Tahun 2012 (saat pilkada) dan 2014 (saat pemilu), ketika Polmark dan saya menjadi konsultan, misalnya membahas elektabilitas, Pak Jokowi punya pertanyaan lanjutan,” ujar Eep.
Selain Eep, hadir pula dalam diskusi yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu Ketua Tim Penjadwalan, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Aria Bima; Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hasan Nasbi; anggota Dewan Pertimbangan Tim Nasional (Timnas) Anies-Muhaimin, Syaiful Huda; dan peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Al Faraby.
Rasa cemas
Elektabilitas dan kepuasan dipandang tidak menjadi tolok ukur utama. Jokowi cenderung melihat data seperti kemantapan pilihan pemilih hingga pengaruhnya terhadap pilihan publik. Rasa cemas Presiden muncul saat parameter tertentu tidak terpenuhi.
Survei nasional Polmark Research Center pada 14-25 Januari 2024 menemukan, ada 14 persen publik baru mantap terhadap pilihannya pada hari pencoblosan. Sementara 4,1 persen saat hari tenang; 3,5 persen saat masa kampanye selesai; dan 3,4 persen setelah menonton semua debat capres-cawapres. Artinya, terdapat 25 persen publik belum pasti soal pilihannya. Di sisi lain, tingkat kemantapan pemilih Prabowo-Gibran hanya 39,4 persen.
Baca juga: Bansos dan Kenaikan Gaji Jelang Pemilu Dinilai Bernuansa Politis
Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, katanya, saat ini 82 persen, tetapi pengaruhnya terhadap pilihan publik hanya 26 persen. Pada saat bersamaan, 72 persen responden menganggap kini harga bahan pokok semakin mahal dan sulit dibeli, 58,8 persen responden mengalami penurunan penghasilan, 56 persen responden menilai korupsi memperburuk ekonomi, dan 50,2 persen responden merasa ekonominya lebih buruk dari sebelumnya.
Tak ada masalah jika ingin pemilu satu putaran. Semua peserta pemilu boleh berangan-angan. Yang tidak boleh, penyalahgunaan kekuasaan, memolitisasi bansos, hingga mobilisasi aparat negara.
”Menurut saya, Jokowi belum merasa nyaman, belum merasa aman. Data yang diungkap ke publik itu selalu tingkat kepuasan dan elektabilitas. Tidak pernah dibongkar data kemantapan pemilih dan kapan memutuskannya,” ucapnya.
Melihat rentetan data tersebut, Eep merasa wajar apabila Presiden cemas dan memutuskan turun gunung secara terselubung dalam Pemilu 2024. Apalagi, seluruh instrumen sudah dikerahkan, tetapi angan pemilu satu putaran belum tentu terwujud.
Baca juga: Momen Kebersamaan Jokowi dan Prabowo Dianggap Manuver Politik
Sementara itu, peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Al Faraby, mengatakan, kucuran bansos berhasil menaikkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi. Dengan demikian, pesona Presiden semakin kuat dan mampu menguntungkan secara elektoral bagi pasangan capres-cawapres yang berasosiasi.
Elektabilitas 50,7 persen yang diraih Prabowo-Gibran dalam survei LSI Denny JA terbaru diduga berkaitan dengan langkah politik Presiden. Di publik, masih kuat pandangan bahwa persepsi lebih penting ketimbang realitas. Data survei menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran cenderung mendominasi persepsi keberlanjutan pemerintahan Jokowi.
”Secara angka, elektabilitas Prabowo-Gibran dalam satu bulan terakhir naik sekitar 4-7 persen. Titik optimis tingkat keterpilihannya bisa di angka 53 persen. Karena trennya naik, ini menunjukkan ada peluang (pemilu) satu putaran,” ucap Adjie.
Anggota Dewan Pertimbangan Tim Nasional (Timnas) pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Syaiful Huda, berpandangan, masuknya Jokowi dalam gelanggang kontestasi sebagai suatu kepanikan guna memastikan pemilu berlangsung satu putaran. Sebab, pemilu dua putaran bisa berpotensi kalah bagi Prabowo-Gibran.
Meskipun begitu, ia tak mempermasalahkan keinginan pemilu satu putaran. Semua peserta pemilu boleh berangan-angan. Yang tidak boleh, tegas dia, penyalahgunaan kekuasaan, memolitisasi bansos, hingga mobilisasi aparat negara.
”Apabila narasi satu putaran diiringi oleh perilaku semacam itu, publik bisa mengira pemilu akan diwarnai kecurangan. Resistensi akan bermunculan. Saat ini saja sudah muncul bentuknya seperti kampanye empat jari,” kata Huda.
Baca juga: Menanti ”Kompas” Moral Presiden
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hasan Nasbi, menegaskan, pihaknya tidak panik. Hasil survei dan tingkat kepuasan yang tinggi tidak menuntut timnya untuk panik. Simulasi satu atau dua putaran juga menempatkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang pemilu.
Hanya saja, fenomena terkini menunjukkan figur Jokowi masih kuat sebagai magnet elektoral. Berbagai elemen publik, termasuk yang rendah tingkat literasinya, juga mengetahui pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak berasosiasi dengan Jokowi.
”Pak Jokowi itu tidak perlu kampanye kok. Gimik-gimik itu diributkan hanya karena magnet elektoralnya saja. Kalau simbol-simbol seperti itu diributkan, kenapa waktu Pak Jokowi main bola dengan kaus merah tidak? Pak Ma’aruf Amin (Wakil Presiden) berpose dengan tiga jari tidak?” katanya.
Soal kemenangan satu putaran, lanjut Hasan, paling berpotensi terjadi bagi pasangan nomor urut 2. Perolehan suara minimal 20 persen di setengah seluruh provinsi Indonesia sebagai syarat satu putaran sudah pasti terpenuhi apabila mendapat suara di atas 51 persen. Karena itu, Prabowo-Gibran tengah mempertimbangkan daerah mana yang bisa dilepas saat kampanye dan mana daerah yang perlu dikuatkan.
Menurut Aria Bima, Jokowi ekspansif kampanye di basis pasangan nomor urut 3 karena kurang diterima di Jawa Tengah. Pemilu satu putaran hanya sebatas potret lembaga survei. ”Pak Jokowi di Jawa Tengah itu jualan Pak Prabowo karena dulu hanya didukung 23 persen rakyat Jawa Tengah. Bahkan, 77 persen rakyat Jawa Tengah tidak mau Prabowo sebagai presiden pada 2019,” ujarnya.
Baca juga: Bansos, dari Bantuan Negara hingga Politisasi
Ragam kegiatan Presiden di sejumlah daerah juga dianggap sebagai upaya mendongkrak suara Prabowo-Gibran seolah menunjukkan ketidakmampuan. Membangun persepsi dan hubungan antara Jokowi dan Prabowo, kata Aria Bima, bukan hal yang mudah.
Ia juga memandang langkah turun gunung untuk mewujudkan pemilu satu putaran tidak mencerminkan realitas yang ada di publik. Karena itu, Ganjar-Mahfud memasang capaian perolehan suara sebesar 33 persen dan target realistis 39 persen suara. Sejauh ini, kampanye yang dilakukan terus memanen respons positif.
Menteri mundur
Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu diterpa isu kemunduran sejumlah menteri. Hubungan antar-anak buah Jokowi itu disebut sedang tidak baik-baik saja. Pada Rabu (31/1/2024), Mahfud memutuskan untuk mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan guna fokus sebagai cawapres Ganjar.
Mundurnya Mahfud diklaim bukan bagian dari strategi pemenangan, melainkan realitas lapangan. Ia akan mundur dari kabinet pada waktu yang tepat saat tugas-tugas sudah selesai dan secara terhormat.
Saat ditanya apakah ada menteri dari PDI-P lainnya yang akan mundur, Aria Bima menyebut, akan dilakukan apabila dibutuhkan untuk kegiatan kampanye. Walakin, mundurnya menteri tentu mempertimbangkan mandat rakyat dan proses pelayanan yang masih berlangsung.
Baca juga: Sikap Mahfud Mundur dari Jabatan Bisa Menjadi Contoh
”Kalau partai menugaskan menteri untuk berkampanye dan tidak mengganggu tugas, pasti akan mundur. Atau memang Presiden sudah melihat tidak pentingnya menteri itu, misalnya Bu Risma saat ini yang masih menjabat Menteri Sosial, yang seharusnya ikut membagi bansos,” ucapnya.
Fenomena Jokowi yang kian intens membagikan bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) dipandang sebagai upaya mengambil alih fungsi Menteri Sosial. Risma selaku menteri, kata Bima, juga bingung dengan tugasnya yang diambil alih oleh Presiden.