logo Kompas.id
Politik & HukumMelihat Duduk Soal Hak Pilih...
Iklan

Melihat Duduk Soal Hak Pilih Orang dengan Gangguan Jiwa di Pemilu

Bagaimana duduk soal hak pilih bagi orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ, dan bagaimana pengaturannya dalam UU Pemilu?

Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE, ANTONY LEE
· 6 menit baca
Suasana pencoblosan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Yayasan Galuh, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019). Sebanyak 16 ODGJ menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Suasana pencoblosan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Yayasan Galuh, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019). Sebanyak 16 ODGJ menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019.

Di ruang publik, isu mengenai orang dengan gangguan jiwa menggunakan hak pilih beberapa kali riuh menjelang pemilihan umum. Dalam database disinformasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo, https://turnbackhoax.id,dengan mudah kita bisa temukan beberapa konten disinformasi soal hak pilih orang dengan gangguan jiwa.

Misalnya, pada Desember 2018, menjelang Pemilu 2019, ada narasi yang berjudul ”simulasi orang gila dibawa ke TPS saat pemilu nanti” disertai foto seorang dengan gangguan kejiwaan tengah dibopong oleh sejumlah orang. Padahal, dari proses cek fakta diketahui bahwa foto itu pengamanan orang dengan gangguan jiwa oleh petugas kepolisian.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Selain itu, ada pula hasil debunking disinformasi pada April 2019 terkait foto perekaman kartu tanda penduduk (KTP) elektronik yang diberi tajuk ”pembuatan KTP orang gila demi ambisi kekuasaan”. Konten itu memang merupakan perekaman KTP elektronik bagi warga termasuk warga dengan disabilitas kejiwaan atau ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Sebab, Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan yang melindungi hak konstitusional warga ODGJ.

Isu ini juga berpotensi kembali muncul mendekati hari pemungutan suara di Pemilu 2024. Lantas bagaimana sebetulnya duduk soal hak pilih bagi warga ODGJ, dan bagaimana pengaturannya dalam regulasi kepemiluan?

Tidak bisa dimungkiri jumlah orang dengan gangguan kesehatan mental cukup banyak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk. Artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa.

Syaiful Huda (36), warga Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, sejak 2017 didiagnosis mengidap bipolar danborderline personality disorder. Ia rutin berobat ke psikolog dan psikiater dan mengonsumsi obat yang dianjurkan. Pengobatan secara rutin membuatnya dapat bekerja dan beraktivitas seperti kebanyakan orang lainnya.

Menjelang Pemilu 2024, Syaiful belum menentukan pilihan. Pekerja di layanan rumah duka untuk binatang kesayangan itu masih menimbang-nimbang kualitas dari pasangan capres-cawapres yang ada. ”Masih bingung. Dari ketiga calon, belum ada yang favorit,” ujarnya, dihubungi dari Jakarta, Jumat (26/1/2024).

Syaiful Huda  sudah merasakan gejala mental sejak duduk di bangku SMP. Ia sering mengalami gangguan tidur, perasaan cemas, gelisah, takut, dan perubahan suasana hati.
DENTY PIAWAI NASTITIE

Syaiful Huda sudah merasakan gejala mental sejak duduk di bangku SMP. Ia sering mengalami gangguan tidur, perasaan cemas, gelisah, takut, dan perubahan suasana hati.

Ia mempunyai beberapa kriteria memilih paslon, seperti sosok yang mendukung keberagaman dan pluralisme. Selain itu, ia juga mempertimbangkan visi misi, program, partai pengusung, dan siapa saja pendukung pasangan calon tersebut.

Syaiful percaya pilihannya akan menentukan nasib masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ia tidak mau salah pilih. ”Aku cari yang terbaik,” katanya.

Sebagai penyandang disabilitas mental, Syaiful tidak pernah mengalami kesulitan menggunakan hak suaranya. Namanya sudah tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga menjelang hari pemilihan ia akan mendapatkan undangan pemilu.

Meskipun Syaifu Huda tidak mengalami kendala dalam pemilu, bukan berarti semua orang dengan gangguan mental mendapatkan kemewahan serupa. Ada sejumlah orang dengan gangguan mental kesulitan mencoblos karena masalah administrasi.

Selain itu, orang dengan disabilitas mental sering dimanfaatkan untuk mendulang suara. ”Mereka didekati, kemudian setelah (calon) terpilih, mereka ditinggalkan. Kebutuhan dan apa yang menjadi aspirasinya tidak dipenuhi,” ujarnya.

Ada juga stigma mengenai orang dengan disabilitas mental tidak bisa membuat keputusan terbaik. ”Padahal, kalau disabilitas mental melakukan pengobatan, dan dalam kondisi stabil, ia bisa menggunakan keputusan secara sadar,” ujarnya.

Di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1, Kedoya, Jakarta Barat, terdapat 198 ODGJ. Mereka berasal dari penjangkauan pengemis dan gelandangan di berbagai daerah di Indonesia. Sebagian tidak diketahui asal usul keluarga ataupun identitasnya.

Kepala Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya Rosihan mendukung perlindungan hak konstitusional bagi ODGJ. ”Kami sangat dukung, entah di bilik suara mereka mau memilih apa, yang penting kami memfasilitasi,” katanya.

Menjelang pemilu, Rosihan akan berkoordinasi dengan tempat pemungutan suara (TPS) setempat untuk memastikan nama-nama ODGJ yang mempunyai hak suara dan sudah terdaftar dalam DPT. Panti Sosial juga menyiapkan sejumlah pendamping untuk mengantar pasien ODGJ ke TPS dan menggunakan hak suaranya.

Suasana pencoblosan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Yayasan Galuh, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019). Sebanyak 16 ODGJ menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Suasana pencoblosan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Yayasan Galuh, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019). Sebanyak 16 ODGJ menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019.

Hak pilih ODGJ di regulasi

Iklan

Perlindungan hak pilih bagi orang dengan disabilitas mental, atau yang sering disebut ODGJ, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sejumlah UU terkait, dan putusan MK No 135/PUU-XII/2015.

Jika dirunut dalam regulasi kepemiluan, dalam catatan Kompas, pembatasan bagi hak pilih warga dengan ODGJ muncul dari UU No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif. Dalam Pasal 14 Ayat 2 Huruf a UU itu disebutkan bahwa untuk dapat didaftar sebagai pemilih warga negara Indonesia (WNI) yang dimaksud pada Ayat (1) harus memenuhi syarat ”nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.”

Dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif yang merupakan revisi dari UU No 12/2003, pembatasan hak itu hilang. Pasal 19 Ayat (1) dari UU itu menyebutkan bahwa ”(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih.” Frasa ”tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” tidak lagi masuk.

Namun, dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada, frasa itu kembali masuk. Pasal 57 Ayat (3) UU Pilkada menyatakan, syarat untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada adalah ”tidak terganggu jiwa atau ingatannya.”

Pasal yang dinilai diskriminatif ini kemudian diuji materi oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK, pada 2016, membatalkan sebagian aturan itu. MK menyatakan, penderita gangguan jiwa/ingatan dapat memperoleh hak memilih, sepanjang yang bersangkutan tidak mengidap gangguan jiwa atau ingatan permanen, yang berdasarkan keterangan ahli kesehatan jiwa menghilangkan kemampuannya untuk memilih.

Di UU No 7/2017 tentang Pemilu, frasa ”tidak terganggu jiwa atau ingatannya” sudah tidak lagi tercantum. Di Pasal 199 UU No 7/2017 disebutkan, ”Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Dengan begitu, hak pilih ODGJ tidak dibatasi, dengan memperhatikan putusan MK.

Hal ini juga ditegaskan oleh anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, yang menyatakan ODGJ mempunyai hak suara.

Lolly Suhenty, anggota Bawaslu.
IQBAL BASYARI

Lolly Suhenty, anggota Bawaslu.

Di DKI Jakarta, lebih dari 20.000 ODGJ masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). ”Untuk memudahkan pencoblosan, mekanismenya bisa didampingi keluarga atau petugas TPS,” kata anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Fahmi Zikrillah (Kompas.com, 13/12/2023).

Sejumlah penelitian turut menunjukkan bahwa pasien psikiatri yang stabil mempunyai kompetensi sama dengan individu non-psikiatri dalam membuat keputusan. Meski demikian, the Journal of the American Academy of Phsyciatry and the Law (2023) mencatat, warga negara yang menderita penyakit mental atau gangguan kognitif dan emosional sangat rentan terhadap pengucilan dari proses politik sehingga berkontribusi terhadap pencabutan hak pilih.

Baca juga: Agar KPPS Tak Pergi Pagi Pulang Pagi

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mengatakan, orang dengan gangguan kesehatan mental menghadapi kendala berlapis dalam pemilu. Kendala itu mulai dari fase pendaftaran hingga pemilihan.

Di tingkat pendaftaran, masih ada petugas yang mempunyai pemahaman ODGJ tidak layak memilih sehingga namanya tidak dimasukkan dalam DPT. Terdapat pula masalah di TPS, yaitu orang dengan disabilitas mental dipersulit ketika hendak mencoblos. ada pula tantangan individu dan keluarga. ”Ada individu dengan gangguan mental merasa minder untuk berangkat ke TPS,” katanya.

Padahal, setiap individu mempunyai hak suara. ”Pemilu adalah prosedur demokrasi konkret di mana negara memandang warganya secara setara, entah dia kaya atau miskin, profesor atau tidak berpendidikan, (penyandang) disabilitas atau nondifabel, suara kita setara,” ujarnya.

Untuk menggunakan hak suara, sama seperti warga negara lain, orang dengan gangguan kesehatan mental harus memastikan dirinya terdata dalam DPT atau daftar pemilih tambahan (DPTb). Apabila ingin melakukan pindah memilih, harus mengikuti tata cara batas waktu pindah memilih sesuai ketentuan.

”Selama tak ada keterangan dari medis profesional yang menyatakan seseorang yang mengidap gangguan jiwa tidak bisa memilih, ia berhak terdaftar sebagai pemilih,” kata Usep.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, memaparkan temuan Perludem tentang pelaksanaan pemilu serentak 2019 di Jakarta, Minggu (2/2/2020).
Kompas

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, memaparkan temuan Perludem tentang pelaksanaan pemilu serentak 2019 di Jakarta, Minggu (2/2/2020).

Menurut psikolog Wiloka Workshop Yogyakarta, Lucia Peppy Novianti, ODGJ adalah istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi seseorang dengan gangguan kesehatan mental. ”Orang dengan gangguan kesehatan mental terbagi menjadi kasus yang ringan, sedang, dan berat. Mereka yang tidak mampu menjalankan fungsi dan berpikir jernih bisa dikategorikan berat,” ujarnya.

Berbeda dengan fisik, kondisi mental tidak bisa sepenuhnya pulih. ”Kalau tidak punya gejala, cara berpikir, nalar, dan kesadarannya sama seperti orang biasa. Tetapi, saat gejala sedang akut, tidak punya kontrol nalar dan kesadaran,” ujarnya.

Lucia mengatakan, masih banyak stigma terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental. ”Sebenarnya, bukan waspada kepada orangnya, tetapi ke gejala akut yang mungkin akan menimbulkan masalah,” katanya.

Menurut Lucia, pendampingan dan dukungan untuk orang dengan disabilitas mental sangat penting. Dukungan dari keluarga dan orang terdekat membuat orang dengan gangguan kesehatan mental bisa berdaya.

Menjelang pemilu, Lucia mendukung adanya pendampingan terhadap ODGJ di TPS. ”Tetapi, perlu dipastikan pendamping adalah orang yang netral dan benar-benar berfungsi sebagai pendukung ODGJ dalam menggunakan hak pilihnya,” ujarnya.

Editor:
ANTONY LEE
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000