RUU Lembaga Kepresidenan Mendesak untuk Batasi Presiden
RUU Lembaga Kepresidenan diperlukan untuk mengatur ”do and dont” bagi Presiden, terutama menjelang transisi kekuasaan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai diperbolehkannya Presiden memihak dan berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden mempertegas pentingnya pembentukan Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. RUU tersebut dapat mengatur secara detail mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden.
”Dalam konteks ketatanegaraan, ini semakin menunjukkan pentingnya RUU Lembaga Kepresidenan. Dengan demikian, memang harus diatur secara jelas tentang posisi Presiden di dalam ketatanegaraan, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, yang juga guru besar ilmu perundang-undangan, saat dihubungi, Rabu (24/1/2024).
Pengaturan itu termasuk dalam setiap pergelaran pemilu. Dia mengakui peran sentral Presiden menjadi dorongan bagi banyak pihak sehingga tidak bisa diserahkan lagi kepada aturan di luar hukum, misalnya etik bernegara, kenegarawan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengungkapkan, Presiden boleh berkampanye dan memihak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Yang tidak diperbolehkan adalah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan tersebut.
”Itu, kan, hak demokrasi, hak politik setiap orang. (Hak) Setiap menteri sama saja. Yang paling penting, Presiden itu boleh, loh, kampanye. Presiden itu boleh, loh, memihak. Namun, yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” kata Jokowi, Rabu, di Lapangan Udara TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Menurut Bayu, saat ini memang tidak ada aturan yang secara hitam putih dan secara khusus melarang presiden untuk berkampanye atau memihak salah satu pasangan calon dalam pemilu. Yang ada adalah penafsiran-penafsiran yang dihubungkan antara satu pasal dan pasal yang lain.
”Kalau dilihat memang UU Pemilu itu tidak secara tegas mengatur larangan semacam itu. Karena itu, saya katakan, justru isu ini adalah isu RUU Lembaga Kepresidenan sebenarnya,” ujarnya menambahkan.
Ia mempersilakan para pakar kepemiluan mencermati pasal-pasal di UU Pemilu. Namun, sebagai ahli ilmu perundang-undangan, ia mengatakan, untuk bisa menyatakan ”dilarang atau tidak”, harus disebutkan di undang-undang secara letterlijk dan bukan merupakan hasil penafsiran. Sebab, larangan itu adalah sebuah pembatasan.
”Kita selama ini selalu menyerahkan itu kembali kepada etika kenegaraan, kembali kepada negarawan. Enggak bisa. Bernegara, ya, harus diatur hitam putih,” kata Bayu.
Dalam RUU tersebut nantinya perlu diatur bagaimana posisi presiden apabila hendak mengakhiri masa jabatannya di periode pertama dan menuju periode kedua (mencalonkan diri kembali), atau jika sudah selesai masa dua periodenya. Diatur pula mengenai bagaimana dengan keluarganya, apakah bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres dalam pemilu berikutnya. Semua aspirasi berkenaan dengan lembaga kepresidenan dapat diperdebatkan dengan detail di dalam RUU tersebut.
Ia menyarankan, agar bisa terealiasi, RUU tersebut harus dibahas dan disahkan oleh DPR dan presiden periode sekarang. Sebab, biasanya presiden (baru) akan enggan untuk mewujudkan RUU ini mengingat pada dasarnya rancangan regulasi tersebut berisi pembatasan-pembatasan terhadap jabatan presiden. Jangankan dibahas, kata dia, untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) sudah berat.
Memperpanas situasi politik
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie mengungkapkan memang tidak ada larangan bagi Presiden untuk memihak dan mengampanyekan salah satu pasangan calon. Ia bahkan mencontohkan ketika Presiden Barack Obama di Amerika Serikat ikut mengampanyekan Hillary Clinton yang saat itu mengikuti kontestasi pada Pemilu Presiden AS tahun 2016.
”Seperti Presiden Obama kampanye terbuka untuk capres Hillary di AS tidak dilarang karena budaya politiknya tidak feodal lagi dan institusi demokrasinya sudah kuat dan profesional. Dan, nyatanya rakyat yang berdaulat menentukan pemenangnya Donald Trump. Namun, kalau di Indonesia, sebaliknya. Budaya politik masih feodal dan institusi politiknya belum kuat,” tutur Jimly.
Oleh karena itu, meskipun tidak ada aturan hukum yang dilanggar, akan lebih baik apabila pemihakan dan kampanye yang dilakukan Presiden untuk mendukung salah satu paslon akan lebih baik dan bijaksana tidak dilakukan.
”Karena itu, untuk Indonesia, kini mudaratnya pasti lebih banyak dan makin memperpanas keadaan dengan sikap pro-kontra yang tidak terkendali. Meski Presiden secara pribadi tidak berkampanye seperti Presiden Obama, dengan sendirinya rakyat sudah tahu bahwa keluarga Presiden pasti memilih paslon 02,” kata Jimly.
Melihat kondisi tersebut, Jimly menyarankan agar Presiden Jokowi tidak usah dan tidak perlu ikut kampanye secara resmi dan terbuka.