Ketua Umum PP Muhammadiyah dan PBNU Beraudiensi dengan Paus Fransiskus di Vatikan
Jadi nomine Zayed Award, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PBNU beraudiensi dengan Paus di Vatikan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf, kemarin, bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan. Mereka bertemu dengan Paus pada waktu yang berbeda.
Berdasarkan Siaran Pers Kedutaan Besar Vatikan yang diterima Kompas, Rabu (24/1/2024) malam waktu Indonesia, disebutkan, Haedar Nashir dan KH Yahya Cholil Staquf datang ke Roma dan beraudiensi dengan Paus atas undangan Zayed Award for Human Fraternity.
Pada akhir tahun lalu, Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dinominasikan sebagai salah satu penerima Zayed Award.
Penominasian itu dibahas para juri pada awal Desember lalu di Roma. Salah satu jurinya adalah Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI, yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan. Juri lainnya Jayed Award 2024 adalah Kardinal Leonardo Sandri (Prefect Emeritus of the Holy See Dicastery for Oriental Churches), dan Rebeca Grynspan Mayufis (Secretary General of the United Nation Conference on Trade and Development/UNTAC).
Selain itu, ada juga Rabbi Abraham Cooper (Chair of the US Commission on International Religious Freedom), Irina Bokova (Mantan Director General of UNESCO), dan Mohamed Abdelsalam (Secretary General of Zayed Award for Human Fraternity and Secretary General of the Muslim Council of Elders).
Haedar tiba di Roma pada Rabu (24/1) pukul 05.45 waktu setempat, didampingi istrinya, Siti Noordjannah Djohantini; serta Kepala Kantor PP Muhammadiyah dan Abdoel Malik R. Ia bersama tim Zayed kemudian beraudiensi dengan Paus pukul 08.00 di Dell'Aula Paolo VI. Aula ini diresmikan penggunaannya pada 30 Juni 1971 oleh Paus Paulus VI.
Sementara Yahya Cholil Staquf tiba di Roma pukul 09.45 waktu setempat, dan dijadwalkan bertemu Paus Fransiskus pada hari Kamis (25/1).
Zayed Award untuk mengapresiasi individu dan entitas yang berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban manusia dan hidup berdampingan secara damai.
Zayed Award for Human Fraternitydidirikan pada 4 Februari 2019 sebagai kelanjutan dari pertemuan antara Imam Besar Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, yang menghasilkan Deklarasi Abu Dhabi yang disebut Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan.
Zayed Award diadakan untuk mengapresiasi individu dan entitas yang berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban manusia dan hidup berdampingan secara damai.
Sebuah pengakuan
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mukti mengatakan, pihaknya menyampaikan terima kasih atas penghargaan kemanusiaan Zayed Award untuk Muhammadiyah. Penghargaan tersebut merupakan rekognisi atas peran yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah.
Dengan penghargaan tersebut, Muhammadiyah berusaha untuk terus berkiprah bagi persaudaraan dan kemanusiaan yang sejati. ”Penghargaan yang digagas oleh Grand Syeikh al-Azhar dan Paus itu sendiri sudah merupakan bukti bagaimana dua agama besar dunia—Islam dan Katolik—dapat bekerja sama,” ujarnya melalui Whatsapp.
Penghargaan yang digagas Grand Syeikh al-Azhar dan Paus itu merupakan bukti bagaimana dua agama besar dunia—Islam dan Katolik—dapat bekerja sama.
Contoh kerja sama lintas iman dan penghargaan Zayed Award, menurut Mukti, dapat mendorong kerja sama serupa di level akar rumput dan level global sehingga dapat berkontribusi dalam membangun dunia yang damai. Langkah-langkah persaudaraan dan perdamaian akan terus ditebar oleh Muhammadiyah.
Anugerah ini diharapkan memberikan pengaruh kepada dunia, khususnya dunia Islam terhadap pendekatan Islam oleh NU dan Muhammadiyah.
”Dihubungi secara terpisah, Ketua PBNU Ahmad Suaedy menyambut baik karena penghargaan itu inisiatif internasional. Pada dua atau tiga tahun lalu, NU dan Muhammadiyah diajukan oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Universitas Gadjah Mada untuk menerima nobel perdamaian lantaran peran kedua organisasi keagamaan tersebut dalam mencegah radikalisme dan kekerasan.
”Anugerah ini diharapkan akan memberikan pengaruh kepada dunia, khususnya dunia Islam terhadap pendekatan Islam oleh NU dan Muhammadiyah. Pendekatannya, kan, ke dialogis, damai, akomodatif terhadap pengaruh lokal ataupun internasional. Menurut saya, itu yang penting,” ujarnya.
Menurut Ahmad Suaedy, ada rangkaian panjang, mulai dari visi agama itu sendiri di mana tidak lagi berbasis pada idiologi, tetapi juga kemanusiaan. Islam sebagai ideologi dan identitas tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran. Persaudaraan, dialog, dan toleransi menjadi ukuran baru yang ditawarkan.
Yang menarik bahwa NU dan Muhammadiyah basisnya berbeda, baik keilmuan maupun sejarah. Namun, keduanya bertemu dalam satu titik. ”Maaf ya, kalau di negara lain, kan, sering bentrok karena agama cenderung dijadikan basis ideologi dan identitas sehingga antar-Islam sendiri cenderung bentrok,” ucapnya.
Apa yang dilakukan NU dan Muhammadiyah bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain, tidak hanya di dunia Islam sendiri, tetapi juga negara barat bahwa Islam bukan sebagai agama yang identik dengan kekerasan. (WER)