Gratiskan Biaya Pendidikan SD hingga SMA di Sekolah Negeri dan Swasta
MK diminta untuk memerintah pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggratiskan biaya pendidikan SD hingga SMA.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi meminta pemohon uji materi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk membuat perbandingan empirik situasi pendidikan antara negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat yang sudah menggratiskan biaya pendidikannya dengan di Indonesia. Perbandingan tersebut penting untuk memperkuat argumentasi pemohon yang meminta MK menghapus seluruh komponen biaya pendidikan di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, baik negeri maupun swasta.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat menjadi anggota majelis panel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU Sisdiknas, Selasa (23/1/2024), mengungkapkan, pemohon bisa melakukan studi komparasi mengenai pendidikan di RI dengan negara lain, seperti negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia. Di negara-negara Skandinavia, biaya pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sudah dibebaskan.
”Kenapa dibebaskan. Secara empirik, Tingkat kesejahteraan mereka lebih tinggi dan penduduknya sedikit. Jadi, dengan perimbangan antara pendapatan negara dan biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah pendudukan sedikit tersebut, mereka sudah mampu menggratiskan pendidikan. Bahkan, untuk orang asing yang bersekolah di negara itu bisa diberi beasiswa. Gratis sekolahnya,” kata Arief.
Bagaimana dengan Indonesia? Arief mengatakan, secara empirik jumlah penduduk RI sangat banyak dan tingkat pendapatannya pun hingga kini masih tergolong midle income.
Arief menanggapi permohonan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia/Network Education Watch Indonesia/New Indonesia dan tiga ibu rumah tangga yang anaknya gagal mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Mereka menguji Pasal 34 Ayat (2) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur, ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Kenapa dibebaskan. Secara empirik, Tingkat kesejahteraan mereka lebih tinggi dan penduduknya sedikit. Jadi, dengan perimbangan antara pendapatan negara dan biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah pendudukan sedikit tersebut, mereka sudah mampu menggratiskan pendidikan. Bahkan, untuk orang asing yang bersekolah di negara itu bisa diberi beasiswa. Gratis sekolahnya.
Tak punya kekuatan mengikat
Para pemohon didampingi oleh tim kuasa hukum dari Indonesia Human Right Comitte for Social Justice (IHCS), di antaranya Janses E Sihalolo dan Arif Suherman.
Dalam kesempatan itu, tim kuasa hukum meminta MK untuk menyatan Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: ”Wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar dilaksanakan di sekolah negeri ataupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.
Bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar di swasta, bukan karena keinginan anak-anak tersebut, melainkan karena keterbatasan zonasi maupun daya tampung sekolah negeri sehingga dengan terpaksa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri harus sekolah di swasta. Akan tetapi, banyak anak-anak yang putus sekolah karena biaya mengingat pendidikan dasar di swasta dipungut biaya atau tidak gratis.
Pemohon menilai, ketentuan tersebut telah menimbulkan diskriminasi pada anak. Bentuk diskriminasi tersebut adalah anak-anak yang mengikuti pendidikan di sekolah negeri bisa tanpa dipungut biaya atau gratis, sedangkan anak yang mengikuti pendidikan di sekolah swasta harus dipungut biaya.
”Bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar di swasta bukan karena keinginan anak-anak tersebut, melainkan karena keterbatasan zonasi maupun daya tampung sekolah negeri sehingga dengan terpaksa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri harus sekolah di swasta. Akan tetapi, banyak anak-anak yang putus sekolah karena biaya mengingat pendidikan dasar di swasta dipungut biaya atau tidak gratis,” kata kuasa hukum pemohon, Arief.
Bertentangan
Pemohon pun kemudian menyajikan angka anak putus sekolah, baik SD, SMP, maaupun SMA/SMK. Di tahun 2022/2023, siswa putus sekolah tingkat SD sebanyak 40.623 siswa, SMP 13.716 orang, SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang. Jumlah tersebut belum termasuk tahun-tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, pemohon menilai, ketentuan Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan sejumlah pasal di konstitusi, yaitu Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28B Ayat (2), Pasal 20C Ayat (1), dan lainnya.
Arief meminta agar pemohon memperkuat uraian pertentangan norma di UU Sisdiknas dengan konstitusi dari aspek filosofis, teoretis, empirik, dan studi komparasi. Ia juga meminta agar uraian kerugian konstitusional para pemohon diperbaiki. Sebab, kerugian yang didalilkan (terutama untuk pemohon perorangan) masih sebatas kerugian ekonomi karena harus mengeluarkan sejumlah biaya saat menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
Kerugiannya bukan kerugian ekonomi. Saya tidak bisa sekolah karena bayarnya mahal, itu bukan kerugian konstitusional. Tapi, tunjukkan ini berakibat pada adanya kerugian konstitusional.
”Kerugiannya bukan kerugian ekonomi. Saya tidak bisa sekolah karena bayarnya mahal, itu bukan kerugian konstitusional. Tapi, tunjukkan ini berakibat pada adanya kerugian konstitusional,” kata Arief.
Senada dengan Arief, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang menjadi ketua majelis panel mengungkapkan agar kerugian konstitusional para pemohon harus diuraikan dengan baik. Ia juga menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Arief sebab yang namanya kerugian konstitusional itu bersifat kumulatif sehingga bukan kerugian ekonomi saja.
”Syarat kerugian konstitusionalnya harus dipertebal lagi agar lebih bagus lagi,” kata Enny.