Politik Uang Tak Mempan untuk Mahasiswa
Meski tak mempan, kemampuan ekonomi dari pemilih muda itu masih memengaruhi keberpihakannya kepada politik uang.
JAKARTA, KOMPAS — Survei Praxis mencatat sebanyak 53,95 persen mahasiswa tidak akan memilih kandidat yang bermain politik uang. Metode tersebut diklaim kian tak efektif untuk mempengaruhi pilihan mahasiswa. Namun, masih ada mahasiswa dari kalangan tak mampu yang menerima dan memilih kandidat dengan politik uang.
Survei berlangsung pada 1-8 Januari 2024 yang secara spesifik menyasar mahasiswa berusia 16-25 tahun dengan jumlah 1.001 orang. Sampel diambil lewat metode nonprobabilitas yang melibatkan referensi dari responden. Tingkat kepercayaan mencapai 98 persen dengan margin of error plus minus 3 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dari survei terlihat 42,96 persen responden akan menerima uang, tetapi tidak memilih kandidat dengan politik uang. Sebanyak 10,99 persen responden tidak menerima dan tidak memilih kandidat tersebut, sedangkan 20,08 persen responden memilih kandidat yang bermain politik uang. Adapun 25,97 persen responden lain tidak menjawab atau tidak tahu.
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo, saat memaparkan hasil survei di Hotel Sotis, Jakarta, Senin (22/1/2024), mengatakan, penggunaan politik uang oleh peserta pemilu tidak lagi berpengaruh terhadap pilihan mahasiswa. Pilihan mereka lebih terpengaruh lewat kegiatan kampanye informatif dan sumber informasi terpercaya.
”Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka (mahasiswa). Walaupun begitu, masyarakat juga mulai menormalisasi politik uang,” ujar Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) itu.
Temuan Praxis lainnya menemukan 65,73 persen mahasiswa pesimistis terhadap hilangnya politik uang dalam pemilu nasional. Kondisi ini turut memicu toleransi politik uang karena dianggap sebagai hal yang wajar. Publik juga memandang pemilu sebagai pesta sehingga dinilai wajar apabila pesertanya membagi-bagikan barang.
Di tengah asumsi bahwa anak muda akan cenderung menerima uang serta memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya.
Meski tak mempan, kemampuan ekonomi dari pemilih muda itu masih mempengaruhi keberpihakannya kepada politik uang. Sebanyak 15,94 persen dari kalangan kelas atas, 19,89 persen kelas menengah, dan 29,21 persen dari kelas bawah mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat pemberinya.
”Berkaca pada hal itu, mungkin, sebesar atau sekecil apa pun yang diberikan peserta pemilu dominan masih memengaruhi kalangan tidak mampu,” tambahnya.
Baca juga: Politik Uang dan Komoditas ”Suara Rakyat”
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, menjelaskan, hasil survei ini mematahkan asumsi pemilih muda mudah terpengaruh politik uang. Sikap itu juga diikuti pesimistis terhadap pemberantasan politik uang. Namun, mereka juga kian toleran terhadap hal tersebut.
”Di tengah asumsi bahwa anak muda akan cenderung menerima uang dan memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya,” tuturnya.
Kreator konten sekaligus Co-Founder Malaka Project, Ferry Irwandi, menyebutkan, mahasiswa melihat praktik politik uang melalui sudut pandang kritis. Mereka sadar uang sejumlah, misalnya Rp 200.000 untuk lima tahun ke depan, tidak sebanding dengan karakter dan program kerja kandidat.
Politik uang, lanjut Ferry, kian rentan terhadap mahasiswa dengan ekonomi menengah ke bawah. Pasalnya, mereka tengah berjuang memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga menghadapi realita dan tantangan ekonomi yang tidak dialami kelas sosial lainnya.