Peneliti CSIS Nilai Debat Cawapres Masih Didominasi Gimik, Belum Substansi
Peneliti CSIS mengingatkan, debat bukan hanya masalah elektabilitas, melainkan juga pengetahuan untuk masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti Centre for Strategic and International Studies atau CSIS menilai, strategi debat keempat Pilpres 2024 masih didominasi oleh gimik (gimmick) atau sesuatu yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian. Debat belum mengutamakan konten. Hal tersebut membuat sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan hidup jauh dari pembahasan serius.
Adapun debat yang dihadiri cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar; cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka; dan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, berlangsung di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024) malam. Debat mengangkat tema pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, serta desa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal, mengatakan, ada yang tidak berkorelasi antara strategi dan konten perdebatan. ”Kalau kita lihat, debat didominasi oleh gimik, terutama cawapres nomor urut 2 menunjukkan sikap agresif dan kurang mencerminkan etika yang baik. Ada istilah keluar, tetapi tidak bisa dieksplorasi,” ujarnya, dalam CSIS Media Briefing ”Menanggapi Debat Keempat Capres-Cawapres” yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (22/1/2024).
Hadir pula sebagai pembicara, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan; peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Dandy Rafitrandi; dan Research Associate Climate Research Unit CSIS, Via Azlia Widiyadi.
Menurut Nicky, strategi mengeluarkan istilah dan konsep-konsep yang terlihat canggih sengaja dibuat oleh cawapres untuk menarik suara dari kelompok tertentu, memiliki unsur menghibur, dan ada kecenderungan sengaja dibuat untuk menjatuhkan lawan debat. Dampaknya adalah isu-isu riil dan krusial terkait lingkungan hidup, seperti polusi udara dan pengelolaan sumber daya air, tidak muncul. Berbagai kebijakan yang menjadi kata kunci pembangunan berkelanjutan juga tidak keluar.
Baca juga: Di Debat Keempat Pilpres, Tingkat Kematangan Sikap Cawapres Terlihat
Ia mencontohkan, topik mengenai etika lingkungan, perlindungan terhadap masyarakat adat, dan penegakan hukum untuk menyelesaikan pertambangan ilegal tidak tereksplorasi dengan baik. Padahal, seharusnya cawapres mampu menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan masalah pertambangan ilegal, reforma agraria, pembenahan tata kelola administrasi, dan perlindungan masyarakat adat.
Nicky menyayangkan terlewatnya topik-topik penting dalam debat tersebut. ”Perdebatan itu adu gagasan, bukan adu gimik,” katanya.
Deni Friawan juga menyayangkan sejumlah topik serius terlewat dari debat karena cawapres sibuk adu gimik. Padahal, menurut dia, debat adalah ajang masyarakat mendapat pengetahuan mengenai arah pembangunan bangsa.
”Ini bukan cuma masalah elektabilitas. Bagaimana debat bisa memberikan materi pengajaran kepada masyarakat adalah hal yang harus diperhatian. Kalau hanya soal elektabilitas, kapan Indonesia maju,” katanya.
Hilirisasi
Deni menyoroti sejumlah topik debat, seperti pengelolaan sumber daya alam dan hilirisasi; pengembangan desa dan pertanian; serta ketahanan pangan. Ia sepakat dengan pernyataan cawapres mengenai sumber daya alam Indonesia yang melimpah, baik di sektor pertanian, perikanan, maupun pertambangan. ”Tetapi, bukan berarti semua masalah pengelolaan sumber daya alam diselesaikan dengan cara hilirisasi,” katanya.
Menurut Deni, berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan pengelolaan sumber daya alam ditentukan oleh banyak hal, bukan hanya dengan cara hilirisasi. Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam juga ditunjang oleh ketersediaan energi, infrastruktur, sumber daya manusia berkualitas, pasar luas, iklim usaha, dan kepastian hukum. Selain itu, meskipun sumber daya alam Indonesia melimpah, negara ini bukan satu-satunya produsen utama pada sejumlah komoditas.
”Untuk komoditas nikel dan tembaga, kita memang produsen utama. Tetapi, aluminium, bukan kita produsen utamanya. Kebijakan buruk hanya membuat banyak investor luar negeri kabur dan tidak mau investasi di Indonesia,” kata Deni.
Ia menyebutkan, keberhasilan dan hilirisasi perlu memperhatikan perkembangan teknologi dan adanya barang substitusi. Ekspor komoditas kayu lapis dan rotan pada era Orde Baru, misalnya, secara jangka pendek menguntungkan Indonesia. Tetapi, secara jangka panjang kebijakan itu merugikan karena membuat harga melonjak.
Menurut dia, kebijakan hilirisasi harus bisa memprediksi ke mana pasar dan teknologi bergerak. Sebab, kegagalan prediksi itu membuat maksud baik hilirisasi bisa berubah menjadi sebaliknya. ”Hilirisasi yang ugal-ugalan dan serampangan juga membuat banyak aturan dilanggar. Perlu ada titik tengah antara kepentingan hilirisasi dan kelestarian lingkungan,” katanya.
Terkait isu pengembangan desa, menurut dia, urbanisasi adalah keniscayaan. Oleh karena itu, cawapres seharusnya mampu menunjukkan kebijakan yang mendorong transformasi struktural yang baik dan berkualitas. ”Seharusnya cawapres menjelaskan bagaimana masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari perubahan itu, bagaimana mengatasi polusi dan kemacetan,” katanya.