42,3 Persen Responden Khawatir Ada Ancaman karena Beda Pilihan Politik
Sebanyak 42,3 persen responden jajak pendapat ”Kompas” khawatir mendapat ancaman pihak lain yang beda pilihan politik.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS
·3 menit baca
Publik menaruh perhatian pada peristiwa ancaman hingga kekerasan yang dialami sejumlah pendukung partai politik ataupun relawan pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Atensi publik ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 15-17 Januari 2024 dengan melibatkan 510 responden di 34 provinsi.
Lebih dari 70 persen responden mengakui menemukan konten pemberitaan terkait aksi kekerasan kepada pendukung, simpatisan, atau relawan dari berbagai media.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebagian besar publik mengetahui hal itu melalui pemberitaan dari media sosial (47,9 persen) dan tayangan berita di televisi (17,8 persen). Sebagian kecil mengetahui peristiwa itu berdasarkan cerita dari orang di sekitarnya.
Hampir setengah dari responden (42,3 persen) mengaku khawatir dirinya, keluarga, ataupun orang di sekitarnya mendapatkan ancaman dari pihak lain yang berbeda pilihan politik. Hasil ini patut diperhatikan lebih dalam meskipun masih lebih banyak yang merasa tidak khawatir atau biasa saja (57,1 persen).
Dalam kurun hampir dua bulan ini setidaknya pendukung atau relawan dari setiap pasangan capres-cawapres sudah ada yang menjadi korban. Berbagai aksi kekerasan, ancaman, ataupun intimidasi yang terjadi seakan tidak pernah absen dalam tiap masa kampanye hingga pemilu.
Pada Pemilu 2019, Bawaslu mencatat sedikitnya ada 66 tindak kekerasan antarpendukung pasangan calon (paslon). Kasus-kasus itu terjadi di Sumatera Barat (9 kasus), Papua Barat (8), Kalimantan Selatan (6), serta di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara (masing-masing 4 kasus).
Secara teoretis, pemilu adalah cara demokratis menyelesaikan perselisihan sosial politik dan membuat keputusan kolektif serta konstruktif. Karena itu, loyalitas, kepatuhan, dan ekspresi politik dalam demokrasi sesungguhnya tidak boleh dibayang-bayangi ancaman, apalagi kekerasan.
Reproduksi kekerasan dalam bentuk apa pun akan merusak sendi-sendi demokrasi. Tanpa kebebasan bersikap dan menentukan pilihan politik, demokrasi berpotensi berubah menjadi tirani.
Sebenarnya, di tataran normatif, publik sudah menyadari bahwa ancaman terhadap tiap-tiap pasangan capres dan cawapres tidak dapat dibenarkan. Mayoritas responden (99,3 persen) tidak setuju tindakan ancaman dari pihak mana pun ditujukan kepada tiap capres, sekalipun yang tidak mereka dukung atau pilih di pemilu.
Begitu juga ketika responden ditanya pandangannya terhadap perlakuan intimidasi kepada sesama pendukung, relawan, ataupun simpatisan paslon. Hampir seluruhnya tidak menyetujui adanya ancaman dan aksi kekerasan kepada pendukung paslon mana pun. Meski begitu, masih saja ada yang menjawab setuju jika pendukung paslon lainnya menerima tindakan intimidatif.
Bahwa masih ada kemungkinan segelintir masyarakat yang memaklumi tindak kekerasan terhadap orang lain yang berbeda pilihan politik, hal ini memprihatinkan. Nuansa intimidasi, ancaman, dan kekerasan dapat mengikis marwah demokrasi.
Terlebih pemilu tahun ini berpotensi berjalan di atas maraknya pembelahan sosial dan mengerasnya kubu-kubu politik. Bahkan, lini masa media sosial saat ini sudah menunjukkan adanya ujaran kebencian dan kekerasan verbal yang diunggah warganet di konten-konten kampanye setiap tim sukses.
Jalan damai
Meski khawatir terhadap ancaman dari kelompok yang berbeda pilihan politik, sebagian besar responden (73,1 persen) dalam jajak pendapat ini yakin tidak ada bentrokan antarpendukung di masa kampanye hingga pemilu nanti. Hasil ini dapat dibaca sebagai harapan akan terselenggaranya pemilu damai tahun ini.
Maka, harapan pemilu damai juga perlu menjadi perhatian pemerintah, penyelenggara pemilu, aparat keamanan (TNI/Polri), hingga tiap-tiap tim pemenangan capres-cawapres. Setiap pasangan calon juga memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas sosial, minimal pada pendukung masing-masing. Gaya kampanye yang menyerang hingga merendahkan calon lain harus diakhiri karena para pendukung menjadikan para capres dukungannya sebagai teladan dalam hidup berpolitik.
George Ward dalam artikelnya, ”Happiness and Voting: Evidence from Four Decades of Elections in Europe” (2019), mencoba mengkaji hubungan antara kebahagiaan dan perilaku memilih dalam pemilu. Kesimpulannya, orang-orang yang lebih bahagia cenderung terlibat penuh dan sukarela dalam partisipasi politik. Mereka akan terlibat dengan damai dan mendukung dengan gembira prakarsa-prakarsa sosial serta secara signifikan akan menjalankan pemilu damai, tanpa intimidasi dan kekerasan.
Penelitian dari Ward juga berlaku sebaliknya. Pemilu yang damai akan berdampak signifikan terhadap kepuasan dan kebahagiaan masyarakat secara luas. Pertanyaannya, mampukah pemilu kali ini dapat berada di jalan yang damai? Sebab, hakikat pemilu pada akhirnya tidak bisa direduksi semata-mata sebagai jalan untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan. Pemilu tanpa ancaman dan kekerasan tak kalah penting untuk diwujudkan.