Laksamana Sukardi Ungkap Tawaran ”Biaya Kompensasi” dari DPR agar Kasus VLCC Tak Berlanjut
Melalui "Belenggu Nalar", mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi buka-bukaan terkait kasus VLCC yang ikut menyeretnya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi mengungkap adanya tawaran ”biaya kompensasi” dari DPR agar kasus dugaan korupsi kapal tanker VLCC yang ikut menyeretnya pada 2004 dihentikan pengusutannya. Tawaran itu berikut rentetan peristiwa lain yang terus menyudutkannya, membuatnya tergerak untuk mengingatkan semua pihak bahwa hukum bisa dimanfaatkan oleh siapa pun yang memiliki kepentingan tertentu.
Hal tersebut terungkap dalam peluncuran buku berjudul Belenggu Nalar karya Laksamana Sukardi, di Jakarta, Senin (15/1/2024).
Secara umum, buku terbitan Penerbit Buku Kompas setebal 214 halaman tersebut mengisahkan upaya kriminalisasi terhadap Laksamana saat masih menjabat Menteri BUMN (1999-2004). Kala itu, ia sempat terjerat kasus korupsi penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) Pertamina.
Agenda bedah buku itu turut dihadiri oleh Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum, dan pengacara Petrus Selestinus.
Laksamana mengatakan, dirinya terus menerima serangan politik setelah tak lagi menjabat Menteri BUMN pada 2004. Sesuai judul bukunya, Belenggu Nalar, menurut dia, ada pihak yang pikirannya terbelenggu dalam konsep menggunakan segala cara agar tetap berkuasa.
”Ternyata ada pihak yang tidak mau berpikir, melanggar mandat undang-undang tidak peduli. Mereka memaksakan kehendak melalui Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memenjarakan saya,” ujarnya.
Itu merupakan a state crime, kejahatan negara karena menyangkut lembaga tinggi negara.
Adapun kasus penjualan dua tanker oleh PT Pertamina itu awalnya diselidiki oleh KPK pada 2004. Hasilnya adalah KPK belum berhasil membuktikan adanya unsur memperkaya diri dan kerugian negara yang dilakukan oleh Laksamana. Sebab, belum ada harga pasar atau pembanding yang wajar dari kapal VLCC sehingga penanganan kasus belum bisa naik ke tahap penyidikan.
Setelah itu, penjualan kapal VLCC diusut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang kemudian hasilnya dibawa ke Panitia Khusus (Pansus) DPR. Kejaksaan Agung kemudian mengambil alih kasus tersebut dari KPK.
Bahan kajian DPR, kata Laksamana, merujuk temuan KPPU yang menyatakan ada kerugian negara berkisar 20 juta dollar AS-56 juta dollar AS atau setara dengan Rp 180 miliar-Rp 504 miliar pada waktu itu. Laksamana bahkan sempat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Pada akhirnya, kasus ditutup oleh Kejaksaan Agung setelah putusan Majelis Peninjauan Kembali menganulir putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). MA menyatakan, tidak ada pelanggaran hukum dan kerugian negara. Dengan demikian, keputusan DPR yang didasari keputusan KPPU juga tidak memiliki kebenaran hukum.
Sebelum kasus itu bergulir di Kejaksaan Agung, menurut Laksamana, DPR sempat menawarinya ”biaya kompensasi” agar kasusnya tidak berlanjut. Namun, Laksamana menolak dan terus menempuh jalur hukum.
”Itu merupakan a state crime, kejahatan negara karena menyangkut lembaga tinggi negara. Ini memprihatinkan, walau sudah reformasi, kejadian ini bisa terjadi,” tuturnya.
Dari peristiwa itu dia belajar, hukum bisa dimanfaatkan oleh siapa pun yang memiliki kepentingan tertentu. Ia khawatir hal itu juga bisa menimpa anak-anak bangsa lainnya. Apalagi, ia sudah menerima penghakiman dari publik dan media saat ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu dinilai turut memengaruhi moral para penegak hukum.
Nama baik
Petrus Selestinus, yang saat itu menjadi pengacara Laksamana, menyebutkan, aparat penegak hukum hanya kurang pada aspek perbaikan nama baik kliennya. Sebab, Laksamana sudah telanjur dihakimi publik atas nama pemberantasan korupsi.
”Bayangkan dari 2004, 2005, 2006, 2007, terus-menerus pemberitaan tentang Pak Laksamana dan kawan-kawan melakukan korupsi. Jejak digital itu sulit dihapuskan,” ungkapnya.
Anas Urbaningrum menjelaskan, sistem dan fondasi perpolitikan Indonesia belum mapan. Karena itu, kuasa politik menjadi pengaruh yang melewati batas-batas demokrasi. Dalam konteks tersebut, aktor politik kadang mengabaikan logika, etika, dan loyalitas.
”Pemegang kuasa politik merasa bisa melakukan apa saja. Maka, kasus yang diceritakan Laksamana, ada lahannya. Tidak ada yang bisa menandingi mereka,” terangnya.
Ia berharap pemegang kuasa politik tidak memanfaatkan hukum untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya. Sebab, hal itu akan mendorong perilaku yang berujung pada penyingkiran lawan politik.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum berpidato di Lapangan Silang Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (15/7/2023).
Menurut Tri Agung Kristanto, buku Belenggu Nalar relevan sebagai bacaan karena sesuai dengan kondisi bangsa terkini. Pasalnya ia melihat sebagian aktor politik terbelenggu nalar atau pikirannya. Mereka kerap mengemas kebijakan dengan memanfaatkan institusi negara agar terlihat sebagai proses demokrasi.
Buku itu juga diumpamakan Tri Agung melalui pepatah Jawa, sapa sing salah bakal seleh. Artinya, siapa pun yang salah seharusnya tahu diri dan meminta maaf. Akan tetapi, jika yang salah tidak berhenti, dia akan terbukti salah dan dipermalukan.
”Hari ini juga kita tunggu, apakah akan ada salah yang terungkap di negeri ini,” paparnya.