logo Kompas.id
Politik & HukumDana Ilegal Ancam Kualitas...
Iklan

Dana Ilegal Ancam Kualitas Pemilu

Puluhan triliun rupiah dana ilegal yang beredar selama masa kampanye diduga akan digunakan untuk "membeli" suara.

Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI, PRAYOGI DWI SULISTYO
· 3 menit baca
Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan dana kampanye Pemilu 2024, direspons Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisioner KPU, Idham Holik menilai temuan PPATK itu belum bisa disebut sebagai kecurangan pemilu, selama PPATK tidak merinci jumlah transaksi dan nama pemilik rekening.
KOMPAS

Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan dana kampanye Pemilu 2024, direspons Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisioner KPU, Idham Holik menilai temuan PPATK itu belum bisa disebut sebagai kecurangan pemilu, selama PPATK tidak merinci jumlah transaksi dan nama pemilik rekening.

JAKARTA, KOMPAS - Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengenai transaksi mencurigakan hingga puluhan triliun rupiah di rekening calon anggota legislatif dan bendahara partai politik mengonfirmasi penggunaan dana-dana ilegal dalam kontestasi pemilihan umum. Temuan itu perlu ditanggapi serius oleh aparat penegak hukum dan Badan Pengawas Pemilu karena penggunaan dana ilegal hasil kejahatan oleh kontestan pemilu dapat mengancam kualitas dan hasil dari pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

PPATK menemukan peningkatan transaksi keuangan dalam jumlah besar pada rekening bendahara parpol dan caleg peserta Pemilu 2024 selama masa kampanye. PPATK bahkan menemukan 100 transaksi mencurigakan dengan total nilai Rp 51 triliun.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menduga, dana ilegal yang ditemukan PPATK itu salah satunya digunakan untuk pendanaan politik. Bisa jadi uang tersebut dijadikan modal bagi parpol ataupun caleg untuk jual-beli suara (vote buying).

Karena itulah, aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), mesti menindaklanjuti secara serius temuan PPATK tersebut.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, 17 September 2019. Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, 17 September 2019. Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.

”Kalau temuan PPATK ini tidak ditindaklanjuti atau tidak digubris oleh lembaga-lembaga yang berwenang, hal itu akan sangat memengaruhi serta mengancam kualitas dan hasil pemilu. Sebab, ternyata para kontestan menggunakan dana-dana ilegal yang merupakan hasil kejahatan,” kata Zaenur saat dihubungi, Jumat (12/1/2024).

Baca juga: PPATK: Lonjakan Transaksi Ditemukan pada Rekening Bendahara Parpol dan Caleg

Selain aparat penegak hukum, Bawaslu juga perlu menindaklanjuti temuan tersebut. Sebab, menurut Zaenur, dana ilegal itu kemungkinan akan digunakan untuk serangan fajar dan praktik politik uang lainnya.

”Ini nanti ujung-ujungnya adalah akan ada serangan fajar, akan ada amplop yang beredar di masyarakat luas. Maka, ini penting menjadi perhatian bagi Bawaslu untuk mencegah terjadinya vote buying dengan menggunakan dana ilegal yang sebenarnya sudah disampaikan oleh PPATK,” katanya.

Akses kekuasaan

Zaenur mengungkapkan, dana ilegal itu, di antaranya, berasal dari perjudian, narkoba, serta industri ekstraktif, seperti penambangan ilegal (illegal mining) dan penebangan ilegal (illegal logging). Para penyandang dana itu menyalurkan sumbangan agar nantinya mereka leluasa mengakses kekuasaan. Mereka mengharapkan balas jasa dalam beragam bentuk, seperti proyek-proyek, perlindungan kepentingan bisnis, pembelaan, serta akses pada kekuasaan lainnya.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/lneobjpW2N--jLlF8y8C0eTz5u4=/1024x731/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F24%2Fafb0f5ef-17c2-4c2b-bae0-20091892e674_png.png

”Para pelaku industri ekstraktif yang ilegal ini membutuhkan backing, membutuhkan jasa pengamanan, termasuk untuk mengamankan masa depan, sehingga mereka menyisihkan sebagian keuntungan untuk dialirkan ke politik,” tambahnya.

Selain itu, ada pula dana ilegal yang merupakan hasil korupsi. Menurut Zaenur, sumber ini termasuk yang menjadi favorit para politisi. Pengumpulan dana politik melalui korupsi ini salah satunya dilakukan dengan menerima kompensasi atas pengerjaan sejumlah proyek yang sudah dikapling-kapling di antara mereka. Hal ini diperkuat dengan temuan PPATK yang menyatakan bahwa 36 persen dari nilai proyek strategis nasional mengalir ke politisi dan birokrat.

Dua laporan

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan, KPK menerima dua laporan transaksi mencurigakan dari PPATK dalam masa periode Desember 2023 sampai dengan Januari 2024. Namun, ia tidak menjelaskan secara detail laporan PPATK tersebut.

Para pelaku industri ekstraktif yang ilegal ini membutuhkan backing, membutuhkan jasa pengamanan, termasuk untuk mengamankan masa depan, sehingga mereka menyisihkan sebagian keuntungan untuk dialirkan ke politik

Saat ini, lanjut Ghufron, KPK masih mengkaji dua laporan tersebut. KPK membutuhkan waktu lebih lama karena harus menelusuri perbuatan korupsinya, sedangkan transaksi keuangan hanya melihat dari lalu lintas uang di perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan. ”Ketidakwajaran aliran-aliran dana tersebut harus kami buktikan berdasarkan perbuatan korupsi atau tidak,” kata Ghufron.

Ia menjelaskan, KPK harus membuktikan dugaan aliran dana tersebut berbasis suap, gratifikasi, perbuatan melawan hukum, atau menyalahgunakan wewenang.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengungkapkan, saat ini Bawaslu masih mempelajari temuan PPATK tersebut. Sebab, temuan PPATK tentang transaksi mencurigakan itu baru merupakan informasi awal dan bukan sebagai alat bukti.

”Informasi PAPTK bukan alat bukti, melainkan petunjuk untuk dilakukan penelusuran,” katanya.

Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020).

Rahmat Bagja mengakui, PPATK sudah menyampaikan dua kali informasi terkait transaksi mencurigakan. Informasi pertama dinilai Bawaslu sebatas informasi, tanpa alat bukti. ”Tapi, apakah ini berkaitan dengan pemilu atau tidak, itu ada satu-dua yang seperti itu. Menurut PPATK, pelanggaran pemilu, tapi menurut kami tidak. Ada satu yang seperti itu. Yang lain masih data awal, ya, yang kemudian tidak berindikasi ke pemilunya belum terlalu jelas,” ujarnya.

Baca juga: Tindak Lanjuti Data Transaksi Mencurigakan Bendahara Parpol dari PPATK

Berdasarkan informasi PPATK tersebut, Bawaslu menyurati seluruh peserta pemilu agar semua dimasukkan ke dalam laporan awal dana kampanye (LADK). Bawaslu juga meminta agar peserta pemilu tidak melanggar aturan terkait dana kampanye.

Terkait laporan kedua PPATK tersebut, Rahmat Bagja mengungkapkan bakal membahasnya di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk menentukan apakah temuan itu akan ditindaklanjuti atau tidak.

Editor:
ANITA YOSSIHARA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000