Reformasi birokrasi tidak bisa jalan sendiri. Reformasi birokrasi harus diikuti dengan reformasi hukum.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perilaku koruptif birokrasi masih sangat kental terjadi dan belum ada perbaikan serius dalam sistemnya. Di sisi lain, pengawasan terhadap sistem birokrasi juga lemah. Akibatnya pelayanan terhadap masyarakat terhambat.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, perilaku koruptif terjadi karena banyak birokrat yang bukannya sibuk melayani masyarakat, tetapi lebih sibuk memenuhi kebutuhan politisi. Ia mengatakan hal tersebut dalam bedah buku dan diskusi publik ”Membangun Visi Presiden untuk Reformasi Birokrasi” yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Depok, Rabu (10/1/2024).
Hadir sebagai pembicara, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro; Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Dwiyanto Indiahono; serta perwakilan tim pemenangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024, yaitu Wakil Ketua Dewan Pakar Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Amin Subekti; anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Mulya Amri; serta Piter Abdullah dari Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Djohermansyah mengatakan, sistem birokrasi kerap terbentur dengan perilaku senior yang konservatif. Padahal, posisi aparatur sipil negara (ASN) saat ini banyak diisi oleh generasi milenial yang fleksibel dan menginginkan perubahan cepat. ”Tantangan kita adalah membawa orang muda ini mau masuk dalam sistem reformasi birokrasi,” ujarnya.
Di sisi lain, banyak birokrat yang berperilaku koruptif. ”Pengisian jabatan dilakukan secara terbuka. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibubarkan sehingga sistem elite tidak bisa dijaga. Mereka yang mengisi jabatan terbuka kemudian menekan anak buah. Ini seperti lingkaran setan,” ujar Djohermansyah.
Berdasarkan data KASN, terdapat 2.496 ASN yang tersangkut kasus korupsi, pelanggaran nilai dasar dan etika sebanyak 148 orang, serta pelanggaran netralitas sebanyak 1.588 orang.
Selain itu, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 449 kepala daerah dan wakil kepala daerah, 503 anggota DPR dan DPRD, 27 kepala lembaga/menteri, serta 5 ketua umum partai politik yang tersangkut kasus korupsi. Praktik korupsi ini menjadikan demokrasi di Indonesia bersifat prosedural daripada berbasis substansi dan hasil.
Pengisian jabatan dilakukan secara terbuka. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara dibubarkan sehingga sistem elite tidak bisa dijaga. Mereka yang mengisi jabatan terbuka kemudian menekan anak buah. Ini seperti lingkaran setan.
Djohermansyah menyebutkan sejumlah tantangan lain dalam reformasi birokrasi, seperti perencanaan, pengalokasian anggaran, dan implementasi program yang tumpang tindih. Selain itu, masa jabatan pemerintah daerah berbeda-beda.
”Dampaknya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) disusun tidak nyambung dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kalau pilkada serentak berjalan baik dan lancar, ada harapan pembangunan kita mulai sinkron pada 2025,” katanya.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 30 Juni 2023 terdapat 4.282.429 aparatur sipil negara, terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sebanyak 78 persen dari jumlah itu atau sebanyak 3.328.942 orang berada di daerah. Sementara 22 persen di antaranya atau sebanyak 953.487 orang merupakan ASN pusat.
Sebanyak 50 persen ASN merupakan generasi milenial/Y (usia 30-47 tahun), 40 persen merupakan generasi X (usia 48-59 tahun), 5 persen merupakan generasi Z (usia maksimal 29 tahun), dan 4 persen merupakan baby boomer (usia 60 tahun ke atas).
Menurut rencana, pemerintah akan menambah jumlah ASN dengan membuka calon ASN tahun 2024. Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa terdapat rekrutmen calon ASN sebanyak 2,3 juta formasi pada tahun ini (Kompas.id, 5/1/2024).
Generasi milenial
Kehadiran kalangan milenial memberikan tantangan dan peluang dalam pembenahan sistem birokrasi di Indonesia.
Menurut Dwiyanto Indiahono, generasi milenial menyukai pekerjaan yang fleksibel, memberikan tantangan, serta bisa mengembangkan karier dan kemampuan. Hal ini bertentangan dengan sistem birokrasi Indonesia yang identik dengan hierarki dan prosedural. ”Anak-anak muda enggak suka didikte. Mereka punya sikap egaliter dan diberi tantangan,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Dwiyanto, ini menjadi tantangan bagi reformasi birokrasi di Indonesia untuk bisa mengajak anak muda terlibat dalam reformasi birokrasi dan di sisi lain memastikan adanya pengembangan karier dan kemampuan untuk mereka.
Bagi Siti Zuhro, reformasi kepemimpinan yang bisa membawa anak muda untuk melakukan perubahan dibutuhkan. ”Anak-anak muda tidak sabar melihat birokrasi yang stagnan. Harus ada cara berpikir dan budaya baru. Semakin kita ingin lari kencang, justru semakin jalan di tempat. Ini memalukan anak muda,” katanya.
Menurut Siti, dibutuhkan kepemimpinan dari elite politik dan pejabat untuk mampu memberikan substansi yang baik dalam sistem reformasi birokrasi. ”Ini keprihatinan kita dari rezim ke rezim. Setiap mau maju, berhenti lagi, mundur lagi. Sudah ada rancangan besar, eh tiba-tiba berhenti. Pesan saya, siapa pun nanti yang menang (dalam Pemilu 2024) jangan mengacak-acak birokrasi,” ujarnya.
Piter Abdullah dari Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengatakan, reformasi birokrasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5 persen menjadi 7-8 persen per tahun. ”Banyak yang bilang target itu tidak realistis. Saya melihat mindset kita harus berubah bahwa kita bisa apabila melakukan sesuatu secara sungguh-sungguh,” katanya.
Piter menyebutkan, reformasi birokrasi tidak bisa jalan sendiri. Reformasi birokrasi harus diikuti dengan reformasi hukum sehingga target pembangunan bisa tercapai.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Dewan Pakar Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Amin Subekti, pemanfaatan teknologi sangat menunjang reformasi birokrasi. Pemanfaatan teknologi itu harus dilakukan di dalam pemerintahan dan juga untuk pelayanan publik.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Mulya Amri, mengatakan, rencana digitalisasi layanan publik yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tidak bertentangan dengan rencana penambahan ASN.
”Digitalisasi memang memungkinkan kebutuhan jumlah SDM menjadi lebih sedikit. Tetapi, kalau kita lihat, masih ada kebutuhan SDM di daerah dengan lahirnya daerah-daerah otonom baru. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya negara bisa berjalan optimal apabila peningkatan SDM diikuti dengan rencana digitalisasi pemerintah,” katanya.