Saat Presiden Jokowi Lebih Utamakan ke Tiga Negara ASEAN daripada Hadiri HUT PDI-P...
Satu dekade terakhir, saat menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI, hingga Presiden RI, Jokowi selalu hadiri HUT PDI-P.
Hampir satu dekade kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo tak pernah absen pada peringatan hari ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun, tahun ini menjadi berbeda karena Presiden untuk pertama kalinya tidak hadir di acara hari ulang tahun ke-51 partai bersimbol moncong putih kepala banteng itu karena berkunjung ke Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam.
Meskipun pada Minggu (14/1/2024) sore ini Presiden Jokowi sudah kembali ke Istana Bogor, sejumlah kalangan melihat kunjungan tersebut tak memiliki urgensi yang mengharuskan kepala negara mengunjungi tiga negara di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Pasalnya, saat kunjungan tersebut, partai yang mengusungnya itu tengah menggelar hajatan ulang tahun yang diadakan setiap tanggal 10 Januari setiap tahun.
Benarkah Jokowi menghindari undangan dan kehadirannya di peringatan ulang tahun partai yang telah merekomendasikan dirinya, putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya Bobby Nasution sebagai Presiden RI, Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, dan Wali Kota Medan, Sumatera Utara, seperti sekarang ini? Atau, memang ada tugas mahapenting negara yang prioritas harus diembannya terlebih dahulu sehingga Presiden Jokowi terpaksa melupakan partai dan meninggalkan Tanah Air?
Seusai memimpin sidang kabinet paripurna bersama jajaran anggota Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/1/2024), Presiden Jokowi yang tak lama langsung bertolak memulai rangkaian kunjungannya ke Filipina, Vietnam, dan Brunei pada 9-14 Januari ini tentu punya alasan.
”Kunjungan terakhir saya ke tiga negara ini sudah lebih dari lima tahun lalu dan sudah dikunjungi oleh beliau-beliau ke Indonesia mungkin tidak sekali, dua kali, tiga kali. Bahkan, ada yang lima kali, baik perdana menteri maupun presidennya,” ujar Presiden Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Menurut Presiden, tahun ini Indonesia dan Filipina merayakan 75 tahun hubungan diplomatik. ”Filipina merupakan mitra penting Indonesia, juga produk alutsista (alat utama sistem persenjataan Indonesia) banyak yang dibeli Filipina, serta investasi Indonesia di Filipina juga cukup signifikan,” kata Presiden Jokowi lagi.
Alasan itu tentu penting dan mungkin tidak mengada-ada dari sisi tugasnya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Meski demikian, para pemimpin negara-negara ASEAN itu, termasuk yang ditemuinya, seperti diketahui belum lama mengunjungi Indonesia pada September 2023 saat menghadiri KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta dan Labuan Bajo, NTT, Mei 2023.
Perkuat relasi bilateral
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang sudah lebih dulu tiba di Manila, Filipina, pada Selasa (9/1/2024) pagi menyebutkan, Presiden akan melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. Filipina merupakan negara pertama yang menjadi tujuan kunjungan Presiden sebagai bagian dari perayaan hubungan diplomatik Indonesia dan Filipina yang telah berlangsung 75 tahun.
Setelah dari Filipina, Presiden Jokowi bertolak ke Vietnam. Vietnam merupakan salah satu mitra strategis perdagangan Indonesia sehingga target pencapaian untuk perdagangan diharapkan bisa terdongkrak. Seusai dari Vietnam, Presiden berkunjung ke Brunei Darussalam untuk memenuhi undangan pernikahan putra Sultan Hassanal Bolkiah, yaitu Pangeran Mateen, selain bertemu dengan pengusaha-pengusaha Brunei.
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto berpikiran positif bahwa kunjungan Presiden ke tiga negara ASEAN itu pasti sangat penting. ”Pak Presiden Jokowi sejak awal, kan, menyatakan ada tugas ke luar negeri, ya itu yang dihormati PDI Perjuangan,” kata Hasto di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sehari setelah Presiden terbang ke Filipina, negara ASEAN pertama yang dikunjungi Presiden.
”Apakah itu kebetulan atau tidak? Ya, Istana yang menjawab,” lanjutnya.
Saat disinggung status Jokowi di PDI-P, Hasto menyatakan bahwa sampai saat ini kekuatan PDI-P ialah rakyat. ”Bagi kami itu, rakyat sumber kekuatan PDI Perjuangan. Kekuasaan itu bukan di elite, kemenangan itu bukan di elite, melainkan ditentukan oleh dukungan rakyat Indonesia,” ucapnya.
Sumber Kompas di Istana sempat mengungkapkan, ”Bagaimana mau diundang jika sekitar bulan lalu sudah diinfokan bahwa Presiden pada 9-14 Januari akan melakukan kunjungan resmi ke tiga negara ASEAN. Ulang tahun PDI-P tanggal 10 Januari, kalau sudah dijadwalkan ke ASEAN pada 9-14 Januari, ya jelas, orang bisa mengatakan,’menghindari HUT PDI-P’.”
Tak ada urgensi
Pengajar dan pengamat hubungan internasional, yang juga pendiri lembaga penelitian independen Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, mengatakan, pihaknya tidak melihat ada urgensi yang mengharuskan Presiden Jokowi ke Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Apalagi, kunjungan kerja tersebut dilakukan beririsan dengan perayaan HUT PDI-P.
”Kalau beliau peduli ASEAN, harusnya ke Laos karena Laos menjadi Ketua ASEAN tahun ini. Padahal, pada 2017, Perdana Menteri Laos sudah ke Jakarta dan tanda tangan MoU dengan Indonesia. Atau minimal ke Malaysia karena ada agenda penting untuk dikawal sampai 2025 saat Malaysia jadi ketua,” kata Dinna. Presiden Jokowi sebelumnya pada awal September 2016 sudah berkunjung ke Laos untuk menghadiri KTT ASEAN di Vientiane.
Dinna menilai, Filipina memang merupakan mitra penting Indonesia. ”Tetapi, 75 tahun hubungan bilateral tidak harus dirayakan pada hari ulang tahun PDI-P. Perayaan macam itu bisa minggu depan, bahkan bulan depan juga masih oke. Toh, kalau seremonial belaka, mengapa sekarang? Sebagai presiden yang diusung PDI-P, selayaknya Joko Widodo datang meskipun tidak diundang,” tambah Dinna.
Kunjungan Presiden di Brunei Darussalam untuk menghadiri perkawinan putra mahkota sultan juga dinilai tidak perlu dilakukan dalam format kunjungan kenegaraan. ”Biasanya acara seperti itu justru kunjungan informal untuk tunjukkan kedekatan pribadi antarkepala negara,” kata Dinna.
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, Selasa (9/1/2024), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, menjelaskan, kunjungan Presiden Jokowi, salah satunya ke Brunei, memang untuk memenuhi undangan pernikahan Pangeran Brunei Abdul Mateen. Namun, pada dasarnya kunjungan Presiden adalah kunjungan kenegaraan.
”Sifatnya kunjungan bilateral ya, kunjungan kenegaraan untuk memenuhi undangan dari Sultan Brunei dan juga membalas (kunjungan) Sultan Brunei ke Indonesia, mempererat hubungan persahabatan, kerja sama antarnegara, ditambah lagi kemungkinan ada acara-acara di luar itu yang jadi bagian dari kunjungan kenegaraan,” tuturnya kepada wartawan.
Ari menambahkan, kunjungan kenegaraan ke Filipina, Vietnam, dan Brunei pada 9-14 Januari sudah direncanakan beberapa bulan lalu dan melibatkan Kementerian Luar Negeri. ”Adapun undangan untuk menghadiri HUT PDI-P hingga kini belum ada,” ujar Ari.
Ia menambahkan, Presiden Jokowi masih berkomunikasi dengan baik dengan PDI-P maupun semua tokoh politik. Namun, Ari mengaku belum tahu apakah akan ada ucapan selamat ulang tahun dari Presiden kepada PDI-P. Hingga kini, belum ada permintaan rekaman pemberian selamat ulang tahun dari Presiden. ”Dengan semua tokoh politik, dengan semua tokoh partai, komunikasi Presiden bagus sekali, dan kita harap ini juga bisa menjaga suasananya, ya,” tutur Ari.
Relasi dengan ASEAN
Berdasarkan catatan dari arsip Kompas, relasi dengan negara-negara sekawasan di Asia Tenggara dinilai sangat penting. Sejak awal Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga 1966, Soekarno, Presiden pertama RI, berjuang agar Indonesia tetap ada dan langgeng berdiri sebagai negara kesatuan RI, apalagi saat itu kondisi politik, ekonomi, dan keamanan masih morat-marit. Di tengah kondisi Tanah Air seperti itu, politik luar negeri yang bebas aktif tercatat berusaha dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan segala plus dan minusnya.
Waktu itu, solidaritas negara-negara Asia Tenggara masih jauh dalam pikiran para pemimpin negara, termasuk Soekarno meski dia sudah menggalang melawan kolonialisme di kawasan Asia dan Afrika lewat pertemuan Konferensi Asia Afrika sebagai awal lahirnya Gerakan Nonblok di Bandung pada 1955. Negara di kawasan Asia Tenggara sendiri pun saat itu sebagian juga masih harus berjuang agar melepaskan diri dari kolonialisme.
Malaysia, misalnya, negara tetangga di sebelah utara Kalimantan, yang akan merdeka, dianggap Presiden Soekarno justru akan menjadi boneka kolonialisme Inggris. Karena itu, Presiden Soekarno mendeklarasikan komando Ganyang Malaysia untuk menjaga wilayah Indonesia di utara Kalimantan agar tidak menjadi tempat bercokolnya kolonialisme Inggris. Soekarno bahkan berani keluar dari PBB saat Malaysia, yang ditolak kemerdekaannya karena dikhawatirkan bakal menjadi boneka Inggris, diangkat PBB menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Presiden Soeharto punya pandangan utama terhadap kerja sama dan solidaritas negara-negara di Asia Tenggara, yang notabene menjadi negeri jiran dari Indonesia. Indonesia, pada periode awal Soeharto, boleh dibilang sebagai ”kakak tertua” di kawasan Asa Tenggara sehingga bagi Presiden Soeharto, ASEAN menjadi prioritas bagi Indonesia dalam menggalang dan meningkatkan hubungan dan kerja sama di antara negara-negara tersebut, saat itu ataupun di masa yang akan datang.
Tak heran jika sejak memimpin Indonesia pada 1968, Presiden Soeharto mendorong terbentuknya solidaritas dan organisasi negara-negara di kawasan ASEAN. Ia pun harus bolak-balik bertemu dengan para pemimpin Asia Tenggara, berkunjung menjaga dan memperkuat relasi negara-negara ASEAN, bahkan menjadi pemimpin ASEAN sebagai ”kakak tertua" di kawasan.
Dalam sejarahnya, pada periode awal ASEAN, pada tahun 1967 Indonesia tercatat mulai aktif dalam perannya untuk pembentukan ASEAN. Hanya saja, dalam masa tersebut Indonesia mengalami penurunan kondisi ekonomi sehingga tidak dapat melanjutkan partisipasinya secara aktif. Selain itu, rasa percaya yang kurang antarnegara juga menghambat pertumbuhan ASEAN.
Selanjutnya, pada masa perkembangan kedua ASEAN pada tahun 1976, Indonesia kembali mulai terlibat aktif. Saat itu, Presiden Soeharto menilai bahwa Indonesia telah mencapai stabilitas di bidang ekonomi dan keamanan nasional. Dengan perannya yang determinan, KTT pertama ASEAN diputuskan dilaksanakan di Bali. Inilah inisiatif Presiden Soeharto sebagai komitmen sebagai "kakak tertua" di ASEAN. Dalam pertemuan perdana di Bali, dihasilkan Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat. Presiden Soeharto merelakan Indonesia sebagai tempat berdirinya Sekretariat ASEAN di kawasan Jakarta Selatan.
Presiden Soeharto, yang kemudian berkuasa hingga 1998, membiasakan diri setelah terpilih di MPR selalu menyempatkan berkunjung ke negara-negara ASEAN, di awal periode kepemimpinan lima tahun sebelum memulai pemerintahannya. Tak tercatat berapa banyak dan seringnya Presiden Soeharto berkunjung ke negara-negara ASEAN tersebut, demikian pula sebaliknya bagi para pemimpin ASEAN ke Indonesia.
Kunjungan ASEAN jadi prioritas
Komitmen Presiden Soeharto terhadap ASEAN kemudian diteruskan oleh para presiden penggantinya. Sayangnya, setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada Mei 1998 dan dimulainya era reformasi, Presiden BJ Habibie tak bisa meneruskan langkah Presiden Soeharto. Kondisi negara yang kalang kabut pascaterpaan krisis multidimensi politik, ekonomi, hukum, dan keamanan membuat Presiden Habibie berkonsentrasi mengurus kondisi dalam negeri. Akibatnya, di era Presiden Habibie, ASEAN untuk sementara boleh disebut "terlupakan”.
Saat menjabat sebagai Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kerap dinilai paling sering melakukan kunjungan ke luar negeri. Negara yang pertama dikunjunginya tak lama setelah dilantik adalah negara-negara ASEAN sebelum ke Amerika Serikat, Jepang, dan lainnya.
Dalam diskusi"Gus Dur dan Ekonomi Politik Internasional” yang digelar Jaringan Gusdurian, Minggu (13/12/2020), mantan juru bicara Gus Dur, Yahya Cholil Staquf, yang kini Ketua Umum PBNU, menuturkan, saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur mengunjungi 13 negara sekaligus secara maraton dalam waktu satu minggu. ASEAN jadi prioritas awal kepemimpinannya.
Ketika menggantikan Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri juga memulai memperkuat relasinya dengan berkunjung ke negara-negara ASEAN sebagai prioritas. Kunjungan ke Manila, Filipina, mengawali kunjungan resminya ke sembilan negara anggota ASEAN. Presiden Megawati mengadakan pertemuan dengan Presiden Gloria Arroyo di Manila, lalu melanjutkan perjalanan ke Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, Thailand, Brunei, Singapura, dan Malaysia.
Selama seminggu, sejak awal Desember 2004, setelah dilantik menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama rombongan juga melakukan perjalanan ke luar negeri. Yudhoyono mengunjungi Malaysia dan Thailand. Dalam perjalanan ke Malaysia, Yudhoyono menghadiri KTT Ke-11 ASEAN dan KTT Ke-1 Asia Timur. Adapun di Thailand, Presiden melakukan kunjungan kenegaraan. Kunjungan pada periode berikutnya dilakukan Presiden SBY ke Brunei Darussalam untuk mendapatkan anugerah Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama yang Amat Dihormati dari Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah.
Terkait dengan KTT ASEAN, Presiden Yudhoyono juga datang ke Laos pada pertengahan tahun 2005 dan negara lainnya.
Di awal pemerintahannya setelah dilantik bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Jokowi pada awal Februari 2015 melakukan kunjungan resmi ke beberapa negara anggota ASEAN. Selain Filipina dan Brunei, Presiden Jokowi juga berkunjung ke Malaysia.
Khusus Filipina, Presiden mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Filipina waktu itu, Benigno Aquino III, di Manila. Bersama Aquino III, Presiden Jokowi membahas sejumlah masalah kerja sama seperti perbatasan laut dan keamanan, ekonomi, dan pendidikan. Pada April 2017, Presiden Jokowi datang kembali ke Filipina untuk menghadiri KTT ASEAN dan melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Filipina waktu itu, Rodrigo Duterte.
Ke Vietnam, Presiden Jokowi juga tercatat dua kali datang ke negara tersebut. Meski tidak secara khusus, pada November 2017, Presiden Jokowi menghadiri KTT APEC. Berikutnya, pada September 2018, Presiden Jokowi melakukan kunjungan resmi ke Vietnam. Selain melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc, Presiden juga menghadiri pertemuan World Economic Forum on ASEAN.
Demikian pula Presiden Jokowi tercatat baru datang sekali ke Brunei. Waktu itu, awal Februari 2015, Presiden Jokowi melakukan pertemuan bilateral dengan Sultan Hassanal Bolkiah. Selain membahas perdagangan, keduanya juga menyoroti masalah tenaga kerja dan pertahanan di kawasan.Namun, Sultan Bolkiah juga beberapa kali datang ke Indonesia saat KTT dan peningkatan bilateral.
Kini Presiden Jokowi sudah berada di Jakarta dan sisa-sisa karangan bunga ucapan ulang tahun PDI-P masih teronggok di pelataran kantor DPP PDI-P di Jalan Diponegoro dan Sekolah Politik PDI-P di Lenteng Agung, Pasar Minggu, apakah yang akan terjadi kemudian....