Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri?
Pertahanan menjadi salah satu tema debat calon presiden yang akan digelar pada Minggu (7/1/2024) malam. Kemandirian industri pertahanan dalam negeri menjadi isu krusial. Sudahkan industri pertahanan Indonesia mandiri?
Tema debat ketiga calon presiden yang akan digelar pada Minggu malam nanti adalah pertahanan, keamanan, dan hubungan luar negeri. Salah satu isu krusial yang mungkin dibahas dalam debat nanti malam adalah kemandirian industri pertahanan Indonesia. Seberapa mandiri sebenarnya industri pertahanan Indonesia saat ini? Ini adalah tulisan pertama dari seri tulisan soal industri pertahanan Indonesia.
Sejarah panjang industri pertahanan Indonesia sebenarnya dimulai sejak masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda mendirikan sejumlah bengkel untuk pemeliharaan dan perbaikan alat perang yang mereka miliki. Bengkel senjata yang pertama berdiri di Hindia Belanda adalah Constructie Wingkel (CW). Didirikan di Surabaya pada 1808 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kemudian, pada 1850, CW bersama bengkel munisi Proyektiel Fabriek (PF) dan bengkel pembuatan munisi serta bahan peledak Pyrotechnische Werkplaats (PW) digabung menjadi satu menjadi Artilerie Inrichlingen (AI). Menjelang Perang Dunia I, AI direlokasi ke Bandung. Inilah cikal bakal industri pertahanan untuk matra darat saat ini, yakni PT Pindad.
Selain PT Pindad, Indonesia juga memiliki industri pertahanan dalam negeri untuk matra laut dan udara. Seperti halnya Pindad, PAL Indonesia (Persero) juga bermula dari masa kolonial Hindia Belanda, dari sebuah galangan kapal bernama Marine Establishment (ME) yang didirikan pada 1939 di Surabaya. ME awalnya berfungsi melakukan perawatan dan perbaikan kapal-kapal laut yang digunakan sebagai armada Angkatan Laut Hindia Belanda.
Sementara cikal bakal PT Dirgantara Indonesia juga dimulai pada 1914 ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya. Pada 1930, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Bagian Produksi Pesawat yang menghasilkan pesawat AVRO-AL Kanada. Dari Surabaya, fasilitas manufaktur ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir atau Lapangan Terbang Andir (sekarang Bandara Husein Sastranegara) Bandung.
Pada dekade 1980-an, industri pertahanan Indonesia dikonsolidasikan dalam satu atap di bawah Badan Pengelola Industri Strategis. Tujuannya antara lain agar industri pertahanan Indonesia dapat bersaing di pasar global.
Namun, krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997 ikut merontokkan industri pertahanan Indonesia. Presiden Soeharto ketika itu dipaksa menandatangani letter of intent dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang mensyaratkan penghentian pendanaan negara atas industri strategis.
Salah satu momentum yang paling diingat dari dampak krisis moneter terhadap industri strategis ini adalah penghentian program pembuatan pesawat N250. IMF menyarankan agar proyek pesawat pertama buatan Indonesia tersebut disetop. Padahal, saat itu IPTN telah mampu memproduksi prototipe pesawat yang didesain dapat mengangkut hingga 50 penumpang. Untuk sampai pada tahap produksi, pemerintah ketika itu membutuhkan anggaran hingga 650 juta dollar AS.
Industri pertahanan dalam negeri mulai berbenah kembali di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Yudhoyono lewat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pada 2007 memulai program modernisasi alat utama sistem persenjataan melalui kebijakan minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimum. Kebijakan ini memfasilitasi modernisasi alutsista melalui kemandirian industri pertahanan dalam negeri.
Sejalan dengan itu, pemerintah mulai mengurangi ketergantungan alusista dari luar negeri, antara lain dengan memprioritaskan pembangunan industri pertahanan. Presiden Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono pula disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
UU No 16/2012 menjadi tonggak baru dalam pembangunan industri pertahanan dalam negeri. UU Industri Pertahanan dengan tegas mewajibkan pengguna alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam), yakni TNI, Polri, ataupun kementerian dan lembaga yang diberikan izin, menggunakan alpahankam buatan dalam negeri. Pasal 43 Ayat (1) UU No 16/2012 dengan tegas menyebutkan, ”Pengguna wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produksi dalam negeri.”
Bagaimana jika industri pertahanan dalam negeri belum mampu membuat alpahankam yang dibutuhkan pengguna, utamanya TNI dan Polri? Pasal 43 Ayat (3) UU Industri Pertahanan mengatur, ”Dalam hal Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) belum dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan, Pengguna dan Industri Pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antarpemerintah atau kepada pabrikan.”
UU Industri Pertahanan juga dengan ketat mensyaratkan pengadaan atau akuisisi alpahankam buatan luar negeri. Syarat-syarat yang dalam UU Industri Pertahanan tersebut mengatur agar industri pertahanan dalam negeri dapat berkembang, menerima transfer teknologi, dan menjadi bagian dari rantai pasok industri pertahanan global.
Pasal 43 Ayat (5) UU Industri Pertahanan setidaknya mensyaratkan tujuh hal dalam pengadaan alpahankam produksi luar negeri, yakni belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri; mengikutsertakan partisipasi industri pertahanan dalam negeri; kewajiban alih teknologi; jaminan tidak ada potensi embargo dalam penggunaannya; adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85 persen; kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 35 persen dengan peningkatan 10 persen setiap 5 tahun; serta pemberlakuan ofset diberlakukan paling lama 18 bulan sejak UU Industri Pertahanan disahkan.
Melihat syarat-syarat pengadaan alpahankam produk luar negeri, hal itu menjadi angin segar bagi industri pertahanan Indonesia. Setiap pengadaan alpahankam harus melalui persyaratan tersebut. Bagaimana gambaran industri pertahanan Indonesia saat ini? Terutama sejak pemberlakuan UU Industri Pertahanan lebih dari satu dekade yang lalu? Silakan simak dalam lanjutan tulisan berikutnya.