Anies Baswedan, Diplomasi Berlandaskan Keadilan dan Kemajuan
Agenda perubahan yang diusung Anies Baswedan turut dituangkan dalam gagasan geopolitik Indonesia ke depan.
Indonesia perlu berperan aktif dalam penentuan agenda besar dunia dan umat manusia. Itulah pemikiran politik luar negeri Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar dalam visi-misinya. Tujuannya, memaksimalkan potensi Indonesia di kancah global demi mewujudkan keadilan dan kemajuan masyarakat.
Agenda perubahan yang diusung Anies Baswedan turut dituangkan dalam gagasan geopolitik Indonesia ke depan. ”Kekuatan cerdas berbasis nilai” menjadi konsep pembaruan yang ditawarkan Anies di forum-forum dialog publik. Setidaknya ada dua forum besar, di mana Anies menyampaikan ide geopolitiknya, yaitu ”Pidato Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Strategi Politik Luar Negeri”, oleh Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, Rabu (8/11/2023), dan diskusi panel Conference on Indonesian Foreign Policy 2023, di Jakarta, Sabtu (2/12/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ada empat tantangan global yang menjadi sorotan utama Anies bagi Indonesia, yakni ketegangan global meningkat, ekonomi melambat, urgensi krisis iklim, dan regresi demokrasi. Keempat tantangan besar itu masih memiliki turunan di tiap-tiap tema yang totalnya ada 10 tantangan. Semuanya dikategorikan lagi pada tiga hal, yaitu tantangan yang sudah, sedang, dan akan dialami.
Melihat tantangan saja tampaknya belum cukup bagi Anies untuk mendorong terwujudnya perubahan politik luar negeri Indonesia sehingga ia menambahkan aspek modalitas bangsa. Hal ini terkait konteks situasi negara saat ini dari berbagai laporan penilaian di tingkat global. Anies menyoroti adanya stagnasi dan penurunan dalam Indeks Kekuatan Indonesia di Asia, Indeks Demokrasi, Indeks Persepsi Korupsi, dan Indeks Kebebasan Pers.
Dengan pemetaan yang komprehensif itu, Anies memberikan motif yang kuat agar Indonesia bergerak keluar dari kesibukan dirinya selama ini. Menurut dia, Indonesia masih terjebak pada paradigma kebijakan transaksional yang perlu diubah ke kebijakan berbasis nilai. Strategi diplomasi pragmatis yang saat ini diterapkan harus diganti strategi kekuatan cerdas.
Dalam pandangan Anies, ”nilai” harus diposisikan sebagai fondasi sekaligus mercusuar yang menjadi petunjuk arah diplomasi Indonesia agar tidak melenceng pada kepentingan sempit atau hal-hal yang sifatnya untung-rugi semata. Contohnya ketika terjadi perang Rusia dan Ukraina, Indonesia justru membicarakan pasokan pangan negara di forum internasional. Diplomasi yang pragmatis semacam ini perlu diubah dengan menunjukkan agenda besar Indonesia bagi dunia dalam forum-forum internasional yang mempertemukan para pemimpin dunia.
Meski begitu, Anies tak memungkiri aspek diplomasi ekonomi adalah bagian penting dalam politik luar negeri Indonesia. Ada tujuh poin yang tertuang dalam bagian Agenda Misi ke-7 yang fokusnya pada kerja sama ekonomi di tingkat regional dan global. Di sini, nilai keadilan jadi salah satu poin yang diangkat sebagai landasan kerja sama ekonomi demi menghindari relasi transaksional di pusaran ekonomi global.
Baca juga: Anies Baswedan, Memperkuat Demokrasi, Menyuguhkan Keadilan
Bagi Anies, terangkatnya reputasi Indonesia di mata dunia tidak dapat terjadi dengan sekadar mengharapkan rekognisi cuma dari pihak luar. Indonesia perlu lebih dulu bersikap responsif dan proaktif dengan menawarkan nilai-nilai di hadapan dunia yang penuh ketegangan. Nilai kemanusiaan, keadilan, kesakralan teritorial, kemakmuran, dan ekologis perlu terus digaungkan Indonesia.
Kekuatan cerdas
Anies juga memberikan tawaran penggunaan kekuatan cerdas sebagai sarana mencapai cita-cita reorientasi diplomasi dalam gagasannya. Kekuatan cerdas ini digolongkan Anies menjadi dua pilar utama yang saling menopang, yakni kekuatan tangguh (hard power) dan kekuatan lunak (soft power). Kekuatan tangguh terdiri atas bidang keamanan (pertahanan adaptif), ekonomi (kemajuan dan keadilan), serta ekologi (lingkungan sebagai daya tawar).
Kekuatan lunak, mengandung aspek lingkungan sebagai daya tarik, merek (brand) Indonesia, dan diplomasi proaktif. Bagi Anies, pertimbangan untung-rugi dalam paradigma diplomasi sudah harus terlebih dulu dihilangkan karena fundamentalnya justru terletak pada kesadaran Indonesia sebagai bagian dari warga dunia yang bertanggung jawab atas segala masalah global yang terjadi.
Berlatarkan pengalamannya malang melintang di dunia akademisi, baik sebagai Menteri Pendidikan (2014-2016) maupun Rektor Universitas Paramadina (2007-2015), Anies menyoroti program pertukaran pendidikan dan penelitian. Menurut dia, program pertukaran pendidikan bisa menjadi bukti diplomasi proaktif, terutama ke negara lain yang sedang krisis. Adanya transfer pengetahuan dengan penelitian lintas ilmu dan wilayah juga membuka peluang kemajuan bangsa.
Terkait pertukaran pelajar, belakangan ada isu para pelajar yang mendapat beasiswa pemerintah untuk studi di luar negeri, tetapi tidak kembali untuk mengabdi kepada negeri. Hal ini juga disinggung Anies dan baginya aspek pengalaman untuk berkarya di institusi global haruslah dibuka lebar. Anak-anak bangsa itulah yang nantinya jadi representasi Indonesia dan memiliki kompetensi bersaing dengan tuntutan zaman.
Paparan reorientasi geopolitik Indonesia ditutup Anies dengan menawarkan 10 langkah yang terdiri atas empat prioritas segera serta enam prioritas jangka menengah dan panjang. Sepuluh langkah itu merupakan manifestasi program berdasarkan nilai dan kekuatan cerdas yang sebelumnya telah dijelaskan.
Isu hilirisasi industri tidak luput dari perhatian Anies. Dalam gagasannya, hilirisasi juga harus tetap disertai reindustrialisasi demi kesejahteraan masyarakat sehingga mampu menghasilkan produk-produk mendunia. Ia merujuk strategi Korea Selatan dengan perkembangan industri hiburan yang dinilai berhasil mengangkat budaya dan nilai-nilai negara di kancah internasional.
Anies mampu memberikan gagasan komprehensif tentang arah politik luar negeri Indonesia ke depan, dari konteks saat ini sebagai hulu dan hilirnya pada kemajuan serta keadilan bangsa. Hanya saja, pemikiran geopolitik Anies perlu dilengkapi detail program kerja yang masih belum banyak disampaikan.
Bagaimanapun juga, pemikiran-pemikiran politik luar negeri ini sekaligus menjadi janji Anies di hadapan publik jika nantinya ia dipercaya memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.