Penggunaan Pasal Pencucian Uang Masih Sedikit, Persepsi Penegak Hukum Disamakan
Hakim Agung Kamar Pidana Jupriadi mengakui selama ini perkara TPPU yang ditangani Mahkamah Agung memang masih sangat kurang. Penyidik dan penuntut umum rata-rata sudah puas hanya dengan mengungkap tindak pidana asal.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak samanya persepsi di antara penegak hukum dan majelis hakim soal tindak pidana pencucian uang membuat pasal pencucian uang masih sedikit diterapkan terutama dalam kasus korupsi. Terkait hal itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK membuat buku saku penanganan perkara TPPU untuk menyamakan persepsi di antara penegak hukum. Ke depan diharapkan pasal TPPU lebih banyak diterapkan untuk menimbulkan efek jera terhadap koruptor.
Buku Pintar Penanganan Perkara TPPU itu diluncurkan PPATK di Jakarta, Selasa (12/12/2023). Peluncuran itu dihadiri aparat penegak hukum dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, dan penyidik pegawai negeri sipil kementerian. Adapun dari cabang kekuasaan kehakiman juga dihadiri perwakilan dari Mahkamah Agung.
Deputi Strategi dan Kerja Sama PPATK Tuti Wahyuningsih saat acara peluncuran buku pintar mengatakan, pasal TPPU masih jarang diterapkan karena aparat penegak hukum masih cukup puas dengan tindak pidana asal saja. Padahal, untuk memberikan efek jera, misalnya pada koruptor, lebih efektif dengan penerapan TPPU. Dengan TPPU, aset yang disamarkan atau disembunyikan kepemilikannya bisa dirampas untuk dikembalikan ke kas negara.
”Memang harus ada extra miles (usaha ekstra) yang dilakukan karena memang dasarnya selama ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang belum sedetail itu,” kata Tuti.
Setelah Indonesia menjadi anggota tetap kelompok kerja aksi keuangan untuk pencucian uang atau Financial Action Task Force (FATF), Indonesia memang berkomitmen untuk lebih gencar dalam pemberantasan TPPU. PPATK mendapatkan dukungan penuh dari Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dukungan Komite dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dinilai signifikan karena PPATK memiliki kewenangan terbatas.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2022 yang diterbitkan Indonesia Corruption Watch, dari 405 kasus korupsi yang disidik oleh Kejaksaan Agung, hanya lima kasus yang menggunakan pasal pencucian uang. Adapun dari 36 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya empat yang menggunakan instrumen pasal pencucian uang.
Koordinator Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Lila Agustina mengatakan penyidik membutuhkan waktu untuk dapat membuktikan tindak pidana pencucian uang. Perkara TPPU memiliki karakteristik khusus sehingga memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak luar, termasuk PPATK, bank, dan sebagainya.
”Pembuktian dikatakan sulit karena dari modus operandi banyak para tersangka sudah pintar-pintar, kami juga harus mengimbangi. Kedua, membutuhkan kerja keras untuk menelusuri aset tersebut, dan mereka kan menyamarkan, menyembunyikan itu yang harus diungkap,” jelasnya.
Menurut dia, tugas utama dari jaksa adalah meyakinkan hakim dengan bukti-bukti yang valid. Selain itu, jaksa juga harus bisa merebut simpati masyarakat dengan pembuktian yang kuat. Dalam konteks pembuktian perkara TPPU, laporan hasil analisis (LHA) atau laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari PPATK memang bisa menjadi petunjuk awal. Namun, untuk bisa menjadi bukti yang kuat di persidangan, masih dibutuhkan serangkaian proses lebih lanjut.
”Semua harus didukung oleh bukti formil dan materiil, baik itu dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, maupun keterangan tersangka itu sendiri. Kami tidak bisa hanya dengan LHA atau LHP PPATK. Itu harus didukung oleh alat bukti lainnya lagi,” paparnya.
Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Muslim menambahkan, memang muncul banyak pertanyaan dari aparat penegak hukum terkait LHA atau LHP PPATK apakah bisa digunakan sebagai bukti di persidangan. Menurut dia, LHA dan LHP adalah produk intelijen. Selama tidak ada ketentuan yang membolehkan LHA/LHP dapat dijadikan alat bukti di persidangan, produk PPATK itu tidak memenuhi kualifikasi untuk dijadikan bukti. Namun, PPATK dapat melakukan asistensi dalam tindak lanjut LHA/LHP itu untuk penanganan TPPU.
”UU TPPU juga menjelaskan tentang beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mencegah agar hasil tindak pidana tidak beralih. Misalnya, penghentian surat transaksi, pemblokiran rekening, hingga penundaan transaksi dalam waktu tertentu," jelasnya.
Hakim Agung Kamar Pidana Jupriadi mengakui, selama ini perkara TPPU yang ditangani Mahkamah Agung memang masih sangat kurang. Penyidik dan penuntut umum rata-rata sudah puas hanya dengan mengungkap tindak pidana asal (predicat crime) misalnya dalam tindak pidana korupsi. Dengan adanya buku saku penanganan perkara TPPU yang diterbitkan PPATK, ia berharap ke depannya bisa lebih baik lagi.
”Perkara TPPU adalah kejahatan yang menyebabkan kerugian besar dan bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. TPPU juga bisa menjadi sumber untuk melakukan kejahatan lainnya,” ujarnya.
Ia menyebut salah satu alasan masih sedikitnya penerapan pasal TPPU adalah karena sudut pandang penegak hukum yang belum sama dan utuh dalam mengonstruksi TPPU. Di sisi lain modus operandi semakin canggih dan melibatkan aktor lintas negara.
Menurut dia, pemberantasan korupsi ini membutuhkan kerja sama yang solid antaraparat penegak hukum. MA juga telah mengeluarkan aturan turunan seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran MA untuk melengkapi instrumen pemberantasan TPPU.
”Saya berharap dengan terbitnya buku pintar oleh PPATK semoga jadi kontribusi positif untuk menambah referensi penegak hukum,” katanya.