Pemerintah menunggu naskah RUU Jakarta yang mengusulkan gubernur ditunjuk presiden. Usulan itu menuai penolakan warga Jakarta.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih menunggu surat dan naskah Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ yang telah disepakati menjadi RUU usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Substansi yang diusulkan dalam RUU tersebut belum dibahas bersama dengan pemerintah, tidak terkecuali pasal mengenai penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ oleh Presiden menjadi polemik di tengah masyarakat karena dianggap melemahkan demokrasi.
Ketentuan penunjukan Gubernur Daerah Khusus Jakarta diatur dalam Pasal 10 Ayat (2) Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Dalam pasal tersebut disebutkan, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana mengatakan, RUU DKJ merupakan RUU usul inisiatif DPR. Sebagaimana diketahui, usul tersebut disepakati dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/12/2023), yang sekaligus menutup masa persidangan II tahun sidang 2023—2024. DPR baru akan memulai kembali masa sidang pada 16 Januari 2024.
”Kita tahu bahwa DPR sudah menetapkan di dalam rapat paripurna, sidang paripurna kemarin. Saat ini pemerintah menunggu surat dari DPR yang biasanya disertai dengan rancangan atau draf dari RUU itu,” kata Ari di Gedung Utama Sekretariat Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Setelah menerima surat dan naskah RUU, Presiden Joko Widodo baru akan menunjuk sejumlah menteri untuk membahas dan membuat rancangan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari RUU DKJ. Penyusunan DIM disebut bakal dilakukan secara terbuka untuk menerima masukan masyarakat. Setelah itu, Presiden akan menerbitkan dan mengirimkan surat presiden mengenai persetujuan pembahasan RUU kepada DPR.
Terkait dengan pasal penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ oleh Presiden, kata Ari, hal tersebut belum dibahas di internal pemerintah. Sebab, pemerintah pun belum menerima naskah RUU. ”Belum dibahas karena drafnya belum kami terima,” ujarnya.
Substansi yang ada di RUU tersebut sepenuhnya dirumuskan oleh DPR, belum dibahas bersama dengan pemerintah.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Harian Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Yudia Ramli mengatakan, RUU DKJ merupakan RUU usul inisiatif DPR. Substansi yang ada di RUU tersebut sepenuhnya dirumuskan oleh DPR, belum dibahas bersama dengan pemerintah. Oleh karena itu, pihaknya masih menunggu pembahasan bersama DPR, tidak terkecuali mengenai Pasal 10 Ayat (2) yang mengatur soal penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden.
”Kami masih menunggu untuk mendapatkan penjelasan secara utuh terkait muatan RUU dimaksud,” kata Yudia.
Kendati demikian, ia menegaskan, Kemendagri berpendapat bahwa mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta melalui pemilihan kepala daerah secara langsung sebaiknya tetap dilakukan. Sebab, hal tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Panitia Kerja RUU DKJ dari Badan Legislasi DPR, Mardani Ali Sera, mengatakan, fraksinya menolak RUU DKJ. Salah satunya karena ada pasal yang mengatur penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden. ”Kami bisa bersetuju bahwa DKJ adalah otonomi satu tingkat, hanya memilih DPRD provinsi. Namun, kalau gubernurnya diangkat, itu berarti mengebiri hak demokrasi warga Jakarta,” tuturnya.
Selain itu, menurut Mardani, RUU DKJ juga mengandung muatan yang memperlemah konsep otonomi daerah. Hal itu berada di Pasal 20 RUU DKJ yang mengatur bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan khusus Provinsi DKJ wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat.
”Itu melemahkan otonomi daerah. Mestinya (RUU DKJ) kian menghormati demokrasi rakyat dan otonomi daerah,” katanya.
Menuai penolakan
Kalangan anggota DPRD DKI Jakarta dan kelompok forum warga kota juga menolak ketentuan presiden menunjuk gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, menyatakan, warga Jakarta mampu memilih gubernur dan wakil gubernurnya.
”Biaya pilkada bukan alasan karena 8,25 juta pemilih di Jakarta itu tidak ada artinya dengan pemilih provinsi lain yang jumlahnya 28 juta lebih pemilih. Sangat aneh jika sekarang timbul kembali sentralistik,” tutur Gilbert.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo menyatakan, RUU DKJ jauh dari demokrasi dan menunjukkan arogansi kekuasaan presiden.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo menyatakan, RUU DKJ jauh dari demokrasi dan menunjukkan arogansi kekuasaan presiden. ”Nanti gubernur lebih tunduk kepada presiden. Bukan kepada jutaan warganya,” ujar Ari.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman menyampaikan, warga Jakarta patut mempertanyakan tujuan penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden, apakah untuk memperkuat efektivitas pelayanan publik atau tujuan lain karena tidak ada jaminannya.
Herman mengingatkan, dua tahun terakhir ini ada banyak penunjukan penjabat kepala daerah yang prosesnya berjalan tidak transparan dan tak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini, menurut dia, jangan sampai terjadi di Jakarta.