Moeldoko Curiga Ada Motif Politik di Balik Pernyataan Agus Rahardjo
Moeldoko mencurigai pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo memiliki motif politik. Ia menyampaikan bahwa obyek dan subyek hukum dalam kasus korupsi KTP-el sudah jelas.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menanggapi mengemukanya isu pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo terkait dengan kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan bekas Ketua DPR Setya Novanto. Moeldoko mencurigai adanya motif politik di balik pernyataan Agus Rahardjo.
Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan Kompas TV, beberapa waktu lalu, Agus Rahardjo menyebutkan bahwa Presiden Jokowi di tahun 2017 meminta KPK menghentikan kasus Setya Novanto yang terjerat korupsi pada proyek pengadaan KTP-el yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2 triliun. ”Saya melihat ini ada motif tertentu, setidaknya ada motif politik,” ujar Moeldoko di Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Soal pengakuan Agus, sebelumnya juga telah dibantah oleh Presiden Joko Widodo yang menekankan bahwa saat itu dia menyampaikan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang ada. ”Saya imbau kepada masyarakat untuk melihat isu dan situasi ini secara bijak dan cerdas,” tambah Moeldoko.
Moeldoko justru mempertanyakan kenapa kasus tersebut dipersoalkan kembali sekarang. ”Kita tahu persoalan ini dimulai tahun 2017, kenapa baru sekarang dan saat situasi negara sedang menghadapi situasi perpolitikan yang cukup meningkat,” ujarnya.
Selanjutnya, Moeldoko juga menyampaikan bahwa obyek dan subyek hukum dalam kasus tersebut sudah jelas. Saat ini, Setya Novanto sudah ditetapkan hukuman penjara selama 15 tahun atas kasus korupsi KTP-el. ”Kebijakan Presiden Joko Widodo dalam penegakan (hukum) persoalan korupsi sangat clear dan jelas, tidak pernah pandang bulu dan sangat tegas,” kata Moeldoko.
”Checks and balances”
Ketika dimintai tanggapannya, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan bahwa kasus ini berada di panggung depan sehingga susah untuk tidak mengaitkan bahwa tidak ada motif politik di tengah kompetitifnya kontestasi pilpres. ”Apalagi kejadiannya sudah berselang lama sehingga wajar ada pernyataan yang mengungkap bahwa ini memiliki tendensi menyudutkan Istana,” ucapnya.
Sementara, di panggung belakang, mengemuka tarik-menarik kepentingan antara Istana dan kekuatan di luar Istana. Kekuatan di luar Istana menganggap bahwa pihak Istana terlalu hegemonik dan perlu diminimalkan secara bertahap kekuasaannya. ”Setidaknya agar checks and balances tetap bergulir sebagaimana mestinya dan publik semakin terlibat dalam kompetisi pilpres ini,” tambah Agung.