Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden atas Usul DPRD, Demokrasi Pun Dinilai Dipreteli
RUU Daerah Khusus Jakarta disepakati jadi usul inisiatif DPR. Di RUU itu diatur salah satunya soal gubernur-wagub yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan Presiden atas usul DPRD. Proses ini dinilai preteli demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang atau RUU Daerah Khusus Jakarta disepakati menjadi usul inisiatif DPR. Dalam RUU itu salah satunya diatur mengenai gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul DPRD. Proses ini menuai kritik karena bertentangan dengan konstitusi dan mempreteli demokrasi.
Keputusan RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi usul inisiatif DPR diambil dalam Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2023-2024, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023). Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi PKS, Hermanto, mengatakan, salah satu yang disoroti oleh fraksinya ialah mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Jakarta. Menurut PKS, usulan pemilu gubernur, wakil gubernur, bupati wali kota, dan wakil wali kota perlu dipertahankan untuk mewujudkan demokrasi secara lebih konsisten.
”Sebagai alternatif, dapat mengusulkan mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD jika yang ingin dikedepankan adalah pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan kestabilan politik,” ujar Hermanto.
Baca Juga: MK Diharapkan Lebih Tegas Mengoreksi Kesalahan Legislasi di DPR
Dalam Pasal 10 Ayat (2) draf RUU DKJ disebutkan, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Di Ayat (3), masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Salah satu yang disoroti oleh fraksinya ialah mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Jakarta. Menurut PKS, usulan pemilu gubernur, wakil gubernur, bupati wali kota, dan wakil wali kota perlu dipertahankan untuk mewujudkan demokrasi secara lebih konsisten.
Selain itu, dalam pandangan fraksinya, Hermanto mengungkapkan bahwa penyusunan RUU DKJ tergesa-tergesa dan terkesan ugal-ugalan. Seharusnya, RUU itu sudah lebih dahulu ada sebelum adanya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) karena penerapan UU Pemerintah Daerah pada Jakarta membutuhkan banyak penyesuaian dan membutuhkan masa transisi yang panjang.
Kemudian, terkait dengan batasan waktu, Fraksi PKS mempertanyakan, mampukah DPR bersama pemerintah dan DPD menyeselesaikan penyusunan RUU DKJ tepat waktu. UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022. Dengan mengacu pada Pasal 41 Ayat (2), batas waktu penyelesaian RUU DKJ paling lambat hingga 14 Februari 2024.
”Problematika waktu yang mendesak, apalagi dalam tahun politik, tentu membahayakan bagi Jakarta dengan berbagai kompleksitas permasalahannya,” kata Hermanto.
Menurut Hermanto, RUU DKJ juga belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Ketiadaan atau rendahnya partisipasi masyarakat ini akan menyebabkan lemahnya legitimasi UU tersebut dan mempertaruhkan substansi peraturan.
Proses pembahasan UU Cipta Kerja dan UU IKN menjadi contoh proses yang terburu-buru dalam waktu yang singkat, serta minim partisipasi berpengaruh terhadap rendahnya kualitas undang-undang.
”Proses pembahasan UU Cipta Kerja dan UU IKN menjadi contoh proses yang terburu-buru dalam waktu yang singkat, serta minim partisipasi berpengaruh terhadap rendahnya kualitas undang-undang,” tutur Hermanto.
Mempreteli demokrasi
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pun berpandangan bahwa substansi RUU DKJ berbahaya dan membuat demokrasi mundur. Hal ini terutama karena RUU DKJ bakal mengatur mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur dan wakil gubenur Jakarta oleh Presiden.
Ia menjelaskan, mengacu pada status provinsi yang diatur dalam Pasal 3 draf RUU DKJ, Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan daerah otonom pada tingkat provinsi. Dengan demikian, sebagai daerah otonom di tingkat provinsi, Jakarta harus mempunyai DPRD dan gubernur yang dipilih secara demokratis.
Klausul ”gubernur dipilih secara demokratis” ini memiliki dua tafsir. Pertama, gubernur dipilih oleh DPRD seperti masa sebelum Reformasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Kedua, gubernur dipilih langsung oleh rakyat seperti masa pasca-Reformasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena itu, lanjut Djohermansyah, tidak ada ruang gubernur ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Jika hal tersebut yang terjadi, akan langsung dianggap bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Dalam pasal itu diatur, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis.
Jadi, kalau gubernurnya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden, itu bertentangan dengan konstitusi dan, kalau dimaknai secara prinsip demokrasi, itu mempreteli demokrasi di Jakarta yang sudah tumbuh berkembang sejak sebelum ataupun sesudah Reformasi.
”Jadi, kalau gubernurnya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden, itu bertentangan dengan konstitusi dan, kalau dimaknai secara prinsip demokrasi, itu mempreteli demokrasi di Jakarta yang sudah tumbuh berkembang sejak sebelum ataupun sesudah Reformasi. Nah, itu rawan dan gampang sekali. Kalau RUU DKJ itu menjadi UU dan diuji ke Mahkamah Konstitusi, pasti langsung dianggap bertentangan karena menabrak konstitusi,” papar Djohermansyah.
Walaupun terdapat klausul ”penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur memperhatikan usul atau pendapat DPRD”, bagi Djohermansyah, itu akan menjadi percuma. Jika hanya memperhatikan usul dari DPRD, itu tidak akan sepenuhnya dipakai oleh Presiden. ”Ini sama kasusnya seperti penunjukan banyak penjabat. Banyak usul dan saran DPRD tidak diakomodasi,” ucapnya.
Di sisi lain, klausul ”penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur memperhatikan usul atau pendapat DPRD” ini justru mengebiri peran DPRD. Sebab, DPRD adalah wakil rakyat. DPRD pada masa sebelum Reformasi bahkan mempunyai hak untuk memilih kepala daerah.
”Jadi, kuat posisinya. Lalu, dia juga punya fungsi pengawasan kepada pemerintah daerah, hak budget, dan pembentukan legislasi lokal. Kok, sekarang DPRD ini tidak ada sama sekali hak memilihnya. Mereka hanya bisa usul dan saran, tetapi juga belum tentu dipakai usul dan sarannya,” tutur Djohermansyah.
Ia khawatir, jika kelak gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk oleh Presiden, legitimasi kepala daerah itu akan sangat lemah, bahkan tidak ada sampai ke bawah. Sebab, kepala daerah itu bukan pilihan rakyat. Kemudian, jika Presiden asal angkat atau copot gubernur, itu diyakini akan mengganggu stabilitas dan efektivitas pemerintahan.
Padahal, jika dibandingkan dengan kota global, pemerintahannya harus stabil dan pemimpinnya harus memiliki legitimasi yang kuat. Contoh, New York, Tokyo, Seoul. Semua pemimpin di daerah-daerah itu dipilih langsung oleh rakyat dan tidak ada yang ditunjuk oleh Presiden.
Jakarta, sebagai daerah yang mempunyai kekhususan, saat ini pusat perekonomian nasional dan kota global, juga menuntut kepemimpinan yang punya legitimasi kuat sehingga bisa menjalankan roda pemerintahan dengan efektif.
Lagi pula, Jakarta, sebagai daerah yang mempunyai kekhususan, saat ini pusat perekonomian nasional dan kota global, juga menuntut kepemimpinan yang punya legitimasi kuat sehingga bisa menjalankan roda pemerintahan dengan efektif.
Baru sekadar usulan
Ketua Panitia Kerja (Panja) DPR RUU DKJ Achmad Baidowi menyampaikan, RUU ini masih didasari usulan DPR. Panja belum mengetahui sikap pemerintah. Untuk itu, seluruh substansi RUU masih akan dibahas secara lebih detail dalam rapat bersama panja pemerintah nantinya.
”Bisa saja pemerintah tidak setuju. Namanya sebuah opsi, sebuah pendapat itu memang didiskusikan satu sama lain. Namanya politik, ya, kompromi, apakah nanti terjadi sebuah kesepakatan, ya, itulah nanti yang dihasilkan. Kesepakatan itu apakah menolak ataupun menerima. Jadi, masih fleksibel. Ini baru sebatas usulan,” ujar Baidowi.
Bisa saja pemerintah tidak setuju. Namanya sebuah opsi, sebuah pendapat itu memang didiskusikan satu sama lain.
Terkait klausul ”penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur memperhatikan usul atau pendapat DPRD”, Baidowi mengungkapkan bahwa sebenarnya di awal memang ada keinginan untuk meniadakan pilkada dan langsung penunjukan gubernur oleh Presiden sehingga memberikan kekhususan kepada Jakarta dan membedakannya dengan daerah-daerah lain. Ini didasari pada Pasal 18B UUD 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Namun, Panja DPR menyadari ada konstitusi yang harus dihormati, yakni Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Untuk menjembatani antara keinginan politik yang menginginkan kekhususan, yakni gubernur ditunjuk oleh Presiden, dan agar tidak juga melenceng dari konstitusi, jalan tengahnya adalah gubernur Jakarta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD.
Jadi, DPRD akan bersidang, siapa nama-nama yang akan diusulkan. Itu proses demokrasinya di situ. Jadi, tidak sepenuhnya proses demokrasi hilang karena demokrasi itu tidak harus bermakna pemilihan langsung. Pemilihan tidak langsung juga bermakna demokrasi.
”Jadi, DPRD akan bersidang, siapa nama-nama yang akan diusulkan. Itu proses demokrasinya di situ. Jadi, tidak sepenuhnya proses demokrasi hilang karena demokrasi itu tidak harus bermakna pemilihan langsung. Pemilihan tidak langsung juga bermakna demokrasi. Jadi, ketika DPRD mengusulkan, ya, itu proses demokrasinya. Karena itu, tidak semuanya hilang begitu saja,” tutur Baidowi.
Baca Juga: Atur Tegas Mekanisme Demokratis Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Alasan lainnya adalah didasari pada pengalaman DKI Jakarta yang membutuhkan biaya yang cukup mahal karena perolehan hasil pilkadanya harus mencapai 50 persen plus 1 suara, sebagaimana pemilihan presiden. Menurut Panja DPR RUU DKJ, lebih baik anggaran yang besar itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan untuk pembangunan.
Alasan ketiga ialah banyak aset nasional milik pemerintah pusat masih berada di Jakarta sehingga masih perlu campur tangan dari pemerintah pusat. ”Jangan bayangkan ketika ibu kota pindah ke IKN itu tiba-tiba Gedung DPR ini langsung pindah. Tidak. Gedungnya, ya, masih di sini, kementerian juga masih ada di sini, terus mau diapakan? Mau dilepas begitu saja, kan, tidak mungkin. Jadi, masih ada keterkaitan antara IKN dan Jakarta. Itulah yang kemudian membuat kita win-win solution-nya seperti itu,” katanya menegaskan.