DPR Belum Juga Bersikap atas Dugaan Intervensi Presiden di Kasus KTP-el
DPR masih mencermati perlu atau tidak hak interpelasi atau meminta keterangan dari pemerintah diajukan terkait dugaan intervensi Presiden Jokowi di kasus korupsi KTP-el.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski wacana untuk menggulirkan hak interpelasi sudah mulai muncul, Dewan Perwakilan Rakyat belum memutuskan menggunakan hak tersebut untuk mendalami pernyataan Agus Rahardjo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019, terkait dugaan intervensi Presiden Joko Widodo dalam penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik.
Urgensi penggunaan hak tersebut dinilai masih perlu dicermati. Meski demikian, pemanggilan terhadap Agus Rahardjo tengah dipertimbangkan.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, DPR menjunjung supremasi hukum. Oleh karena itu, menanggapi adanya dugaan intervensi Presiden Joko Widodo terhadap penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), ia pun berkomitmen untuk mengedepankan supremasi hukum serta menjalankan prinsip tersebut dengan baik dan benar.
Puan tidak memungkiri wacana penggunaan hak interpelasi sudah muncul dari beberapa anggota DPR. Akan tetapi, hal itu belum diputuskan. ”Bahwa kemudian ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu (hak interpelasi), itu merupakan hak anggota. Kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak,” kata Puan di sela-sela rapat paripurna penutupan masa persidangan II tahun 2023—2024 di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Sebelumnya, wacana penggunaan hak interpelasi dikemukakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil. Menurut dia, pernyataan Agus Rahardjo terkait dugaan intervensi Presiden pada penanganan kasus korupsi KTP-el merupakan hal serius. DPR bisa menggulirkan hak interpelasi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pernyataan tersebut.
Tak hanya itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, juga menyatakan, Agus perlu memberikan penjelasan lebih rinci mengenai pernyataannya. Penjelasan dimaksud bisa dilakukan dengan pemanggilan oleh DPR atau Agus yang datang ke DPR.
Menurut Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, wacana untuk memperjelas pernyataan Agus boleh-boleh saja untuk dikembangkan. Ia pun tidak memungkiri bahwa usul untuk memanggil Agus sudah mulai dipertimbangkan. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk membahasnya.
”Ya bisa saja (dibahas dan dipertimbangkan untuk segera memanggil Agus), kan, kami punya rapat internal,” kata Bambang.
Kendati demikian, ia mempertanyakan sikap dan motif Agus yang baru mengemukakan dugaan intervensi tersebut saat ini. Semestinya, menurut Bambang, hal itu disampaikan saat penanganan kasus korupsi KTP-el masih berjalan. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya tidak ada keraguan atau kekhawatiran bagi Agus untuk menyampaikannya sejak lama.
”Kenapa enggak dulu gitu lho, sekaligus pada saat itu terjadi. Pada saat kejadian (bertemu Presiden), pulang, press conference, atau ngomong dengan pimpinan (KPK lainnya),” ujar Bambang.
Dugaan intervensi Presiden dalam penanganan kasus korupsi KTP-el muncul setelah Agus mengungkapkannya dalam acara Rosi di Kompas TV, Kamis (30/11/2023) malam. Saat itu, Agus menyampaikan pernah dipanggil Presiden Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Pemanggilan itu sempat membuatnya heran, karena pimpinan KPK lain tidak dipanggil, apalagi saat memasuki Kompleks Istana Kepresidenan ia tak melewati jalur umum.
Ketika bertemu pun, kata Agus, Presiden langsung marah dan meminta dia menghentikan penyidikan salah satu tersangka kasus korupsi KTP-el, yakni mantan Ketua DPR Setya Novanto. Namun, Agus tidak menuruti permintaan itu karena surat perintah dimulainya penyidikan kasus KTP-el sudah terbit tiga minggu sebelumnya.
Masih di acara Rosi, Agus juga mengaitkan keengganannya untuk menghentikan penyidikan dengan revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Melalui revisi tersebut, KPK yang semula lembaga independen menjadi berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.
Pintu pemakzulan
Ketua Umum Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa mengungkapkan, pengakuan Agus telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Pernyataan itu perlu diklarifikasi dan dibantah secara langsung oleh Presiden Jokowi jika memang tidak benar. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, pengakuan Agus tersebut dapat menjadi pintu terjadinya impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
Menurut dia, Presiden belum memberikan bantahan langsung. Presiden justru mempertanyakan motif Agus dalam mengungkapkan dugaan intervensi penanganan kasus korupsi KTP-el. Meskipun benar bahwa Setya Novanto sudah dihukum 15 tahun, apabila benar yang diungkapkan oleh Agus, artinya perbuatan yang sebenarnya tidak patut tersebut sudah terjadi.
”Tindakan presiden seperti yang diungkapkan Agus harus clear dulu, benar atau tidak. Dan harus yang bersangkutan yang membantahnya. Karena dalam penyelenggaraan pemerintahan harus mendasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik,” tegas Viktor.
Apalagi, tambahnya, Setya Novanto terbukti korupsi. Ia pun mengandaikan apabila saat itu Agus mengikuti permintaan presiden untuk menghentikan kasus Setya Novanto, artinya kasus megaproyek pengadaan KTP-el tidak akan terbongkar.
Viktor mengutip ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Menurut Viktor, definisi perbuatan tercela belum jelas secara normatif. Sebab, belum ada undang-undang yang mengatur tentang kepresidenan seperti halnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur tentang aktivitas menteri. Namun, bila mengacu pada penafsiran gramatikal, pengertian kata ”tercela” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sangat luas, yaitu patut dicela, tidak pantas.
”Apakah tindakan Presiden itu bukan bentuk ‘perbuatan tercela’ karena dinilai bentuk intervensi atas penegakan dalam upaya pemberantasan korupsi KTP-el,” kata Viktor.
Penafsiran terhadap ”perbuatan tercela” ini, menurut Viktor, yang dapat dijadikan pintu DPR dengan menggunakan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Ayat (4) Huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Hak menyatakan pendapat dapat mengarah pada proses pemakzulan kepada Presiden.