Terus Berdatangan, Presiden Perintahkan Penanganan Bersama Pengungsi Rohingya
Pernyataan Presiden dinilai bisa mengisi kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan Aceh terkait respons atas gelombang pengungsi Rohingya yang masih terus berdatangan hingga kini.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, masih terus berdatangan ke Indonesia. Sebanyak 139 pengungsi Rohingya mendarat di Pantai Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Aceh, Sabtu (2/12/2023). Menanggapi kedatangan pengungsi yang menambah daftar panjang gelombang pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan penanganan secara bersama-sama antara Indonesia dan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).
”Saya telah memerintahkan kepada Menkopolhukam untuk menangani bersama-sama dengan daerah, bersama-sama dengan UNHCR,” ujar Presiden Jokowi ketika memberikan keterangan di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Ketika dimintai tanggapannya, Juru Bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menegaskan bahwa dalam hal penanganan pengungsi Rohingya yang akhir-akhir ini tiba di Aceh, UNHCR menjalin kerja sama dan koordinasi yang erat dengan pihak pemerintah dan otoritas di tingkat daerah dan tingkat Nasional. Koordinasi dengan pemerintah pusat selama ini terjalin dengan baik.
”Indonesia selama puluhan tahun sejak tahun 1970-an telah menjalankan tradisi kemanusiaan yang menerima pengungsi dengan baik dan kami harap untuk terus melihat semangat solidaritas dan kemanusiaan yang sama saat ini dan di masa mendatang,” ujar Mitra, Senin (4/12/2023).
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyambut positif pernyataan Presiden yang memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD untuk menangani bersama-sama pengungsi Rohingya dengan Pemerintah Aceh dan UNHCR. Hal tersebut dinilai bisa mengisi kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan Aceh terkait respons atas gelombang pengungsi Rohingya yang masih berdatangan.
Berdasarkan data yang ada, setidaknya ada 3.000-an pengungsi Rohingya yang meninggalkan Cox’s Bazaar. ”Yang sudah ke Aceh sudah hampir separuh. Artinya masih ada kemungkinan besar pengungsi terus berdatangan ke Aceh,” kata Usman.
Presiden diharapkan bisa mengaktifkan koordinasi antarnegara-negara khususnya ASEAN agar dapat bekerja sama menangani pengungsi Rohingya. Selama ini, ASEAN dinilai belum mampu mengatasi krisis di Myanmar.
Yang sudah ke Aceh sudah hampir separuh. Artinya masih ada kemungkinan besar pengungsi terus berdatangan ke Aceh.
Hingga kini, pihak militer masih berkuasa di Myanmar sejak kudeta 2021 dan pelanggaran hak sasi manusia (HAM) di sana masih marak terjadi. Myanmar juga masih menolak solusi-solusi yang ditawarkan ASEAN, termasuk konsensus lima poin.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang digelar di Jakarta pada September lalu belum menghasilkan kemajuan dalam penyelesaian krisis di Myanmar. Kecaman-kecaman kolektif ASEAN hingga tidak mengundang pemimpin Myanmar ke KTT ASEAN juga percuma. Hal ini tetap tidak menghentikan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap ribuan warga sipil sejak kudeta.
Standar Ganda
ASEAN belum secara efektif memenuhi perannya yang kolektif dan efektif sebagai titik fokus dalam menangani masalah-masalah politik regional di Asia Tenggara, terutama Myanmar. ”Ini bukan tanggung jawab Indonesia saja, melainkan juga tanggung jawab bersama ASEAN. Prinsip non-intervensi dan kurangnya kerja sama dari militer Myanmar menghambat penyelesaian atas krisis di Myanmar,” ucap Usman.
Usman menilai, ada indikasi standar ganda Indonesia atas krisis di Myanmar. Di sisi lain, tangan kanan memberi bantuan kemanusiaan dan diplomasi politik lewat ASEAN. Namun, tangan kiri menyuplai senjata kepada militer. Faktor inilah yang turut membuat krisis di Myanmar menjadi berlarut-larut.
”Sebaiknya harus ada penyelidikan dari pihak-pihak berwenang, apakah itu Komnas HAM atau pihak lainnya atas dugaan pasokan senjata ke Myanmar yang melibatkan tiga BUMN, seperti yang telah disinggung Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman,” ujar Usman.
Usman juga menyoroti prinsip dasar ASEAN tentang non-intervensi dalam urusan dalam negeri anggotanya, khususnya terkait kejahatan atas kemanusiaan. Prinsip ini justru menghalangi kemampuan ASEAN untuk mengekang atau memaksa perubahan sikap militer Myanmar terhadap warga sipil. Prinsip ini dapat menjadi penghalang bagi upaya intervensi kolektif langsung ASEAN agar militer Myanmar tidak lagi merepresi, membunuh, dan mengebom rakyatnya.
Selain itu, sikap negara-negara anggota ASEAN atas militer Myanmar yang kurang solid juga menjadi pengganjal. Ada negara-negara anggota ASEAN yang berhubungan erat dengan pemerintah militer Myanmar dan ada yang menolak untuk berpartisipasi dalam dialog dengan Myanmar selain melalui mekanisme ASEAN.
Hal ini yang membuat pendekatan diplomasi yang dikedepankan Indonesia sebagai Ketua ASEAN tidak mencapai hasil yang diinginkan. Negosiasi dan pendekatan diplomatik bisa jadi tidak cukup kuat untuk memaksa junta militer Myanmar mengakhiri kejahatan kemanusiaan. Hingga kini, ribuan warga sipil Myanmar menjadi korban kejahatan kemanusiaan militer Myanmar dan jutaan warga lainnya terancam jiwanya.
”Itu yang harusnya menjadi fokus bagi semua pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah Indonesia, bila ingin turut membantu mengatasi krisis di Myanmar. Ini bukan soal pencitraan dan siapa yang sukses atau gagal, tapi bagaimana mengakhiri kejahatan kemanusiaan di Myanmar,” ucapnya.