Konten paling sering muncul bukan hal serius, melainkan kegiatan menarik atau lucu capres-cawapres atau pendukungnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Harian Kompas bersama Asia Research Centre Universitas Indonesia mengadakan diskusi panel bertema ”Manuver Politik dan Pemilu Indonesia 2024” pada 17 November 2023 di Redaksi Harian Kompas, Jakarta. Panelis dalam diskusi itu adalah Prof Vedi R Hadiz dari University of Melbourne, Australia, dan Dr Inaya Rakhmani dari Universitas Indonesia, dengan pembahas Dr Ahmad Khoirul Umam dari Universitas Paramadina dan Dr Muninggar Saraswati dari Swiss German University. Laporan diskusi ini disajikan oleh wartawan Kompas, Nikolaus Harbowo dan Kurnia Yunita Rahayu.
Menjelang Pilpres 2024, ratusan, bahkan ribuan video berbau politik, hilir mudik di aplikasi jejaring sosial video Tiktok. Mayoritas video yang muncul bukan berisi hal-hal yang serius, seperti penyampaian gagasan atau visi-misi, melainkan potongan ”tingkah laku lucu” atau aktivitas menarik dari capres-cawapres tertentu.
Misalnya, belakangan ramai potongan video capres Prabowo Subianto yang sedang berjoget di depan pendukungnya di sela-sela acara pengambilan nomor urut pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2024 di Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 14 November 2023. Dalam momentum yang sama, cawapresnya, Gibran Rakabuming Raka, mengangkat papan bertuliskan ”Gemoy”. Dari sini, Prabowo dikenal dengan ”Pak Gemoy”.
Jauh sebelum itu, pada pertengahan Juni 2022, potongan video yang berisi aktivitas capres Ganjar Pranowo juga masif di ruang daring, terutama Tiktok. Kala itu, Ganjar yang masih menjabat Gubernur Jawa Tengah blusukan ke sebuah daerah di Jateng. Di tengah perjalanan, ia menyapa dua anak yang asyik bersepeda. Salah satu di antaranya mengaku pernah melihat wajah Ganjar di Tiktok, tetapi lupa namanya. Ganjar memperkenalkan diri sebagai Tugiman. Sontak, kedua anak itu tertawa. Nama ”Tugiman” lantas kerap disematkan kepada Ganjar hingga saat ini.
Terkait capres Anies Baswedan, publik lebih mengenalnya kini dengan potongan video berisikan Anies di-selepet sarung oleh Muhaimin Iskandar, cawapresnya. Sebenarnya, awal mula peristiwa ini adalah Anies bertanya kepada Muhaimin apa fungsi sarung. Muhaimin menjelaskan, fungsi pertama untuk sarungan. Kedua, untuk melindungi diri dari cuaca dingin. Saat menjelaskan fungsi ketiga, Muhaimin langsung me-nyelepet Anies. Video yang mengundang tawa ini viral dalam waktu singkat tidak hanya di Tiktok, tetapi juga di Twitter dan Instagram sekitar akhir Oktober 2023.
Hal-hal itu hanya sebagian kecil contoh potongan video yang masif ditemui di ruang daring. Biasanya video-video yang diunggah pengguna media sosial atau para pendukung capres-cawapres tertentu dilengkapi lantunan musik terkini sehingga semakin menarik dan lebih mudah diterima oleh anak muda.
Mereka menyadari, penggunaan media sosial, terkhusus Tiktok, mulai masif akhir-akhir ini. Berdasarkan laporan layanan manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We are Social dalam Digital 2023, yang dirilis April lalu, Tiktok menjadi platform media sosial di urutan empat teratas yang digunakan pengguna media sosial. Aplikasi paling sering digunakan ialah Whatsapp, Instagram, dan Facebook.
Perubahan ”branding”
Fenomena yang terjadi ini sudah terbaca dari kajian sementara yang dilakukan pengajar Departemen Komunikasi Swiss German University, Muninggar Saraswati. Dari kajiannya berjudul ”Penggunaan Tiktok oleh Kandidat Pilpres 2024”, terlihat semua kandidat capres-cawapres ataupun mayoritas pendukungnya mulai menggunakan media baru untuk sarana kampanye, salah satunya Tiktok.
Manfaat Tiktok ini ternyata sungguh terasa. Ada perubahan branding dari beberapa politisi atau capres. Misalnya, Prabowo, yang pertama kali ikut dalam kontestasi pilpres pada 2004, semula selalu menampilkan citra personal seperti nasionalis, tegas, dan kuat. Namun, sekarang Prabowo dan timnya, melalui jogetannya, seakan mencitrakan sebagai ”Pak Gemoy” sehingga lebih bisa selaras atau sesuai harapan pemilih muda.
Begitu pula dua capres lain, yang terlihat dari konten-konten videonya, menunjukkan mereka ingin dikenal sebagai pribadi lucu dan dekat dengan rakyat. Muhaimin lewat nyelepet membangun otentisitas santri serta Ganjar juga belakangan bersama cawapresnya dengan narasi kredibilitas oposisi.
Menentukan pilihan
Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Joko Widodo tergolong sukses memakai media baru dan industri kampanye yang menarik jagat Twitter. Berbagai kegiatan Jokowi kala itu kerap viral di lini masa daring, bahkan hingga ia menjabat presiden.
Namun, jika dilihat, konten Twitter dari waktu ke waktu terlihat begitu riuh dengan aksi saling balas komentar antara satu pendukung dan pendukung yang lain. Bahkan, bukan tidak mungkin di antaranya juga ada penyebaran ujaran kebencian hingga kabar bohong. Ini mungkin saja disebabkan mudahnya penggunaan platform Twitter untuk mengomentari unggahan lain melalui tulisan. Berbeda dengan Tiktok, yang butuh usaha lebih besar jika ingin meng-counter narasi lawan, yakni dengan membuat video.
Dalam kaitan memengaruhi pilihan pemilih, hingga kini belum ada kajian serius mengenai relasi antara viralnya sebuah narasi atau video dan tingkat keterpilihan seorang calon. Namun, satu hal yang pasti, diakui atau tidak, media sosial akan menjadi instrumen politik yang efektif untuk mengonsolidasikan suara atau dukungan atau basis dukungan suara. Media sosial ini semacam bisa menjadi alat ”merecehkan” demokrasi.
Hal ini agaknya memiliki kaitan dengan struktur masyarakat politik di Indonesia yang didominasi masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah bawah. Maka dari itu, materi politik dan demokrasi yang mereka konsumsi tidak didominasi oleh materi-materi yang bersifat substantif.
Namun, di sisi lain, sebetulnya juga ada bagian generasi muda yang kritis dan tidak cukup disapa dengan narasi ”receh”. Ada temuan riset yang juga menunjukkan kalangan pemilih muda memiliki daya kritis. Dengan kata lain, mereka menikmati hiburan konten receh, tetapi juga berpikir untuk menyaring kandidat berdasarkan rekam jejak dan program yang relevan bagi mereka.
Apalagi, sebetulnya generasi muda, baik milenial (kelahiran 1981-1996) maupun zilenial (1996-2006), berhadapan dengan problem riil, bonus demografi yang tidak berbarengan dengan kesempatan kerja sesuai pelatihan yang dibutuhkan untuk menangkap peluang bonus demografi. Di tengah kondisi itu, muncul pertanyaan, apakah di kemudian hari akan tersedia pekerjaan bagi mereka.
Tambahan pula, mereka juga berada dalam struktur ekonomi dan sosial yang timpang, yang senjang. Anak-anak muda yang ingin mendapat mobilitas vertikal dengan membangun cita-cita menjadi bankir atau dokter, misalnya, berhadapan dengan realitas bahwa yang bisa mendapat akses itu mayoritas segelintir orang yang memang sudah punya akses kekayaan turun-temurun sebagai generasi muda dari kelompok menengah.