Praktik demokrasi di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, belum berhasil mengatasi ketimpangan. Namun, demokratisasi tetap menghasilkan kebaikan bagi masyarakat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demokrasi sudah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti kebebasan berekspresi. Namun, secara struktural, demokrasi masih belum mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial ekonomi. Butuh daya tahan memperjuangkan hal itu dalam jangka waktu panjang agar demokrasi benar-benar mewujudkan keadilan sosial ekonomi masyarakat.
”Ada dua preposisi saya yang saling berkaitan. Pertama, bahwa demokrasi di Asia Tenggara tidak berhasil mengatasi masalah ketidakadilan sosial. Kedua, pada gilirannya demokrasi tidak bisa bekerja dengan baik dalam konteks ketidakadilan sosial yang tajam,” kata Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute University of Melbourne Vedi R Hadiz dalam diskusi panel yang diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Asia Research Centre (ARC) Universitas Indonesia di Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini Direktur ARC Universitas Indonesia Inaya Rakhmani. Adapun pengajar di Departemen Komunikasi Swiss German University, Muninggar Saraswati, dan Managing Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam menjadi penanggap.
Menurut Vedi, fenomena demokrasi dan masalah ketidakadilan sosial itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina. Peralihan kekuasaan hanya menghasilkan pergantian elite yang memiliki akses terhadap institusi terkait. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, pemimpin fokus pada upaya mempertahankan akses terhadap sumber daya untuk melanggengkan kekuasaan.
Di Indonesia, misalnya, demokratisasi sejak Reformasi 1998 memang menghasilkan institusi-institusi pendukung demokrasi. Akan tetapi, berbagai institusi itu tetap dikuasai pihak-pihak yang terafiliasi dengan oligarki di masa Orde Baru. Dalam konteks ini, menjelang pergantian kepemimpinan, para elite hanya menampilkan akrobat politik yang membuai masyarakat.
Padahal, di balik itu ada pertarungan yang lebih fundamental, yakni kompetisi intraoligarkis yang melibatkan bukan hanya politisi dan birokrat, melainkan juga pengusaha dan militer. Pertarungan itu untuk mengakumulasi sumber daya publik bagi kepentingan mereka.
”Akibatnya, reformasi tidak bisa memutarbalikkan kecenderungan yang dimulai pada dekade terakhir Orde Baru dalam hal peningkatan ketidakmerataan sosial,” ucap Vedi.
Ketidakmampuan demokrasi mengatasi ketimpangan sosial itu, lanjut Vedi, terlihat dari tren rasio gini Indonesia yang cenderung meningkat.
Data Badan Pusat Statistik, rasio gini Indonesia dalam rentang tahun 2002-2020 berada di kisaran 0,3 hingga 0,4.
Artinya, kata Vedi, demokratisasi yang dilakukan selama ini hanya meneruskan ketimpangan yang telah terjadi di masa sebelumnya. ”Demokrasi tidak berhasil menyelesaikan masalah ketidakadilan sosial. Ketidakadilan itu justru dilanggengkan oleh demokrasi,” katanya.
Pola serupa, lanjut Vedi, juga terjadi setelah gerakan demokrasi yang terjadi di Filipina pada 1986 dan di Thailand pada 1997. Alih-alih menghasilkan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, peralihan kekuasaan yang terjadi di Filipina justru mengembalikan keluarga tradisional yang berasal dari masa kolonial ke pucuk pimpinan negara. Di Thailand, gerakan demokrasi juga telah membawa kelompok pengusaha yang mengambil keuntungan dari demokrasi dan desentralisasi lewat politik uang.
Meski demikian, menurut dia, demokratisasi tetap menghasilkan kebaikan untuk masyarakat. Contohnya soal kebebasan berekspresi yang semakin membaik. Sayangnya, nilai positif itu tetap tak bisa dirasakan seluruh masyarakat karena persoalan ketimpangan yang belum bisa dituntaskan.
Namun, itu bukan berarti tidak ada harapan. Menurut Vedi, dibutuhkan daya tahan terutama dari kalangan masyarakat sipil untuk terus mempersiapkan diri mengisi ruang-ruang kekuasaan ketika terjadi krisis di internal rezim. Kesiapan masyarakat sipil ini krusial, karena kembalinya kelompok oligarki Orde Baru di periode awal reformasi menjadi pimpinan institusi demokrasi terjadi karena ketidaksiapan masyarakat sipil mengisi posisi tersebut.
”Semua orang yang menginginkan terwujudnya demokrasi yang bisa menghapuskan ketimpangan itu, ya, harus tahan banting,” kata Vedi.
Inaya Rakhmani menuturkan, untuk mewujudkan demokratisasi yang lebih baik, juga diperlukan kerja sama antarkelompok masyarakat sipil, misalnya media dan akademisi, untuk menjadi kompas dalam menentukan arah masa depan bangsa. Hubungan timbal balik di antara berbagai pihak itu bisa menjadi pendorong nalar kritis publik di tengah perkembangan demokrasi saat ini.
”Penting kerja sama intergenerational dan institutional. Kita tidak mungkin bergerak sendiri-sendiri. Jadi, perlu kekompakan supaya ada hubungan timbal balik, dan pelan-pelan ada proses dialektis, sehingga masyarakat dan kampus harapannya kukuh,” ujar Inaya.
Kemunduran demokrasi
Ahmad Khoirul Umam melihat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Hal ini terlihat dari penggunaan instrumen demokrasi untuk melemahkan demokrasi. Misalnya, melekatkan stigma radikal pada kelompok kritis; narasi demokrasi tidak berjalan efektif; demokrasi menciptakan kebebasan yang eksesif; serta narasi strong leadership yang menyesatkan; penjinakan gerakan mahasiswa; dan upaya membuat agar gerakan masyarakat sipil terfragmentasi; serta narasi militer yang bekerja lebih efektif ketimbang birokrat sipil.
”Jadi, ada upaya pelemahan demokrasi dengan instrumen demokrasi sendiri. Ironisnya, hal itu terjadi secara sistematis,” kata Umam.
Muninggar Sri Saraswati berpandangan, semua pihak pada akhirnya memang harus rasional bahwa demokrasi pada 2024 tidak terlalu menggairahkan. Namun, ia berharap, ada ruang yang bisa diulik dengan adanya kolaborasi antara media, akademisi, serta masyarakat sipil agar kualitas demokrasi tak kian terpuruk. ”Meski kehilangan optimisme, jangan sampai kita kehilangan harapan yang baik di masa mendatang,” kata Muninggar.