Sejumlah Kalangan Menilai Anwar Usman Sepatutnya Mengundurkan Diri
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menuntut Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatan hakim MK. Ini demi menjaga marwah, martabat, dan kewibawaan MK, serta mengembalikan kepercayaan publik kepada MK.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan menyayangkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK yang tidak menjatuhkan pemberhentian tidak hormat kepada Ketua MK Anwar Usman yang telah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Mereka menilai sepatutnya Anwar Usman mundur sebagai hakim konstitusi.
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan, MKMK dinilai kurang tegas saat menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK terhadap Anwar Usman. Padahal, MKMK sudah menyatakan Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/223 soal syarat usia calon presiden-wakil presiden.
Ketika hakim konstitusi melakukan pelanggaran etik berat seharusnya ia dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatan hakim konstitusi. Ini diatur dalam Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan MK. MKMK dapat secara tegas dengan memecat Anwar Usman sebagai hakim konstitusi.
”Kami menuntut Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatan Hakim MK demi menjaga marwah, martabat, dan kewibawaan MK serta mengembalikan kepercayaan publik kepada MK,” kata Trisno Raharjo dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Rabu (8/11/2023).
Walau demikian, PP Muhammadiyah memahami dan menghormati putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. PP Muhammadiyah juga menghormati putusan MKMK yang menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada hakim konstitusi Arief Hidayat karena ia terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Selain itu, PP Muhammadiyah juga turut menyayangkan sembilan hakim konstitusi yang dinyatakan terbukti melanggar kode etik berupa prinsip kepantasan dan kesopanan dalam penanganan uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Adanya putusan MKMK ini telah menunjukkan bahwa sembilan hakim konstitusi itu bukan sosok negarawan. PP Muhammadiyah mendesak agar mereka dapat menunjukkan sikap negarawan pascaputusan MKMK tersebut.
”Menuntut kepada seluruh hakim konstitusi untuk mengembalikan kewibawaan, keluhuran, dan marwah Mahkamah Konstitusi melalui sikap-sikap kenegarawanan yang dimanifestasikan ke dalam putusan dan sikap-sikap lainnya yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama,” ujar Trisno Raharjo.
Pakar hukum tata negara yang juga salah satu pengadu dalam dugaan pelanggaran etik terkait putusan nomor 90, Denny Indrayana, berpendapat, putusan MKMK masih terjebak hanya menghadirkan keadilan normatif, tetapi gagal melahirkan keadilan substantif. Sebab, MKMK memilih menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK kepada Anwar Usman dibandingkan pemecatan sebagai hakim konstitusi. Ia melihat, MKMK memilih hanya memberhentikan Anwar Usman dari posisi sebagai Ketua MK karena alasan menghindari banding.
”Padahal, aturannya jelas dan tegas pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat. Putusan MKMK yang demikian hanya setengah jalan, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman. Itu pun jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi. Namun, saya tidak yakin, tindakan yang terhormat demikian akan dilakukan Anwar Usman,” kata Denny.
Cacat hukum dan etika
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyatakan, hasil keputusan MKMK itu menjadi tanda bahwa Putusan No 90 mengalami cacat hukum secara prosedural dan substansial. Koalisi masyarakat sipil itu memandang keputusan MKMK juga semakin membenarkan kemunduran demokrasi terjadi di Indonesia.
Kami menuntut Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatan Hakim MK demi menjaga marwah, martabat, dan kewibawaan MK serta mengembalikan kepercayaan publik kepada MK.
”Dengan demikian, majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden cacat secara hukum dan cacat secara etika. Keputusan MKMK sepatutnya tidak hanya memberhentikan Anwar Usman jadi Ketua MK, tapi juga memberhentikannya dari hakim konstitusi,” kata Direktur Imparsial Ghufron Mabruri.
Denny Indrayana menambahkan, membiarkan putusan Perkara No 90 tetap berlaku, tanpa membuka ruang pemeriksaan kembali yang cepat, akan menyebabkan legitimasi Gibran sebagai cawapres akan terus-menerus dipersoalkan. Hal ini karena MKMK telah menyatakan putusan Perkara No 90 itu dilahirkan dari pelanggaran etik Anwar Usman.
Namun, sebelumnya, Komandan Echo Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional Indonesia Maju, Hinca LP Pandjaitan, berpandangan, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK tidak berdampak apa pun terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan batas usia capres-cawapres dan persyaratan cawapres. Karena itu, pasangan Prabowo-Gibran telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum dan mengikuti seluruh rangkaian proses pendaftaran tersebut. KPU juga telah mengambil keputusan bahwa pasangan Prabowo-Gibran menjadi pasangan yang sah.
”Karena itu, kami beritahukan kepada masyarakat Indonesia, tidak ada yang ragu sedikit pun bahwa pasangan ini berlayar dengan baik,” ujar Hinca di Sekretariat Bersama Relawan Prabowo-Gibran, seperti dikutip dari Kompas.id (7/11/2023).
Sehubungan dengan adanya perkara nomor 141 terkait uji materi syarat usia capres-cawapres yang telah didaftarkan beberapa hari lalu di MK, lanjut Hinca, apa pun hasilnya tidak akan memengaruhi proses pencalonan Prabowo-Gibran. Sebab, perkara ini berkenaan dengan hal yang lain dan akan berlaku untuk tahun 2029.
”Dengan demikian, tidak ada lagi keraguan apa pun di masyarakat tentang pasangan calon Pak Prabowo dan Mas Gibran,” kata Hinca.