Enggan Dimanfaatkan, Anak Muda Berupaya Hindari Manuver Politisi
Banyak anak muda tak mau jadi kuda tunggangan politisi. Mereka memilih kritis, termasuk kepada sesama anak muda yang berpolitik.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, FRANS PATI HERIN
·5 menit baca
Andika (27), tukang ojek daring, bersama penumpangnya sedang berjuang menembus kemacetan jalanan di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta. Sudah semenit, sepeda motor baru bergeser 5 meter. Di tengah kemacetan itu, di layar telepon muncul panggilan dari pengurus salah satu partai politik.
”Lagi di jalan, nanti telepon lagi,” katanya langsung mengakhiri panggilan. Tanpa ditanya penumpang, pemuda itu langsung meluapkan kekecewaannya. ”Dekat pemilu baru menelepon, dari dulu ke mana saja,” ujarnya. Ditelepon berkali-kali, ia tak mau jawab.
Jumat (27/10/2023) itu, di tempat tinggal Andika, di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, akan digelar tatap muka warga setempat dengan tim sukses dari salah satu parpol. Pria yang menelepon tadi adalah kader partai di level kelurahan yang ingin mengajak Andika bergabung ke tim sukses.
Dengan alasan masih sibuk kerja, Andika memilih tidak hadir. Hingga kini, ia masih dikejar cicilan utang pembelian sepeda motor sebesar Rp 500.000 per bulan. Awal tahun ini, ia membeli motor untuk ojek setelah kontraknya sebagai pekerja alih daya di perusahaan penyedia makanan diputus.
Makin ke sini, ia merasa beban hidupnya kian berat. Pemilu yang dia ikuti sebagai pemilih sebanyak dua kali, yakni Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan Pemilu Legislatif serta Pemilihan Presiden 2019, tak jua memberikan perubahan berarti bagi dirinya.
”Kayak sekarang. Macetnya enggak bisa diatasi. Harga barang tambah mahal. Enggak ada yang bener. Pusing pokoknya,” ujarnya sambil terus berusaha keluar dari jebakan kemacetan. Butuh waktu hampir 20 menit, ia baru tiba di tujuan sekitar Karet Bivak yang sejauh 3 kilometer dari Palmerah.
Dalam dua momentum politik itu, ia mengaku aktif memenangkan calon tertentu. Terlebih lagi, calon dimaksud dalam kampanyenya selalu menggunakan pendekatan ke kelompok anak muda. Ia mengaku tersihir. Kala itu ia yakin anak muda akan membawa perubahan.
Setelah selesai pemilu, tim sukses yang dulu selalu berkomunikasi dengan dirinya hilang kabar. Mereka kini datang lagi dengan janji-janji baru, sementara Andika sudah telanjur tidak percaya lagi mereka. Ia tidak ingin lagi terlibat dengan urusan politik untuk merebut kekuasaan.
Kendati demikian, pria lulusan SMA di Jakarta itu akan menggunakan hak pilihnya. Lantaran sudah punya pilihan, ia kini menutup telinga dengan berbagai propaganda politik, termasuk tim sukses yang sengaja menggunakan isu anak muda. ”Saat kampanye banyak yang palsu. Calon didandani biar terkesan memihak rakyat. Kalau saya, cukup lihat rekam jejak,” ucapnya. Rekam jejak itu ia peroleh dari media.
Ia pun mengajak anak muda untuk menggunakan hak pilih dengan tetap lebih kritis terhadap informasi yang diterima. Pemuda jangan mau dibohongi oleh permainan politik dari tim sukses dan para calon yang menggunakan isu berbasis anak muda. Pemuda jangan mau dimanfaatkan.
Pada Pemilu 2024 nanti, suara anak muda sangat menentukan. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan bahwa 204,8 juta pemilih masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Dari jumlah itu, 56 persen berasal dari kaum muda atau yang usianya di bawah 40 tahun.
Rinciannya, dari generasi milenial (25-39 tahun) 68,8 juta orang (33,6 persen) dan generasi Z (17-24 tahun) 46,8 juta pemilih (22,9 persen) (Kompas, 17/7/2023).
Cenderung transaksional
Tak hanya di Jakarta, Abdul Gafur R Sarabiti (28), pemuda dari Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, juga mengaku didekati pengurus partai politik. Ia diminta ikut memenangkan calon tertentu. Pendekatan dilakukan melalui keluarga dan juga jaringan organisasi.
Gafur dianggap bisa memengaruhi orang. Semenjak mahasiswa, ia terlibat dalam berbagai aksi yang membela kepentingan masyarakat. Ia kini memimpin komunitas yang bergerak di bidang kebudayaan. Ia dianggap punya banyak pengikut.
Gafur menolak ajakan itu dengan alasan masih ingin fokus dengan komunitas. ”Saya bilang kepada mereka bahwa saya tidak berpikir ke politik praktis. Saya fokus pada urusan kebudayaan karena di sini saya merasa dibutuhkan. Saya merasa memberi manfaat,” tuturnya.
Bagi dia, anak muda harus melek politik, tetapi jangan hanya dibatasi pada ruang lingkup politik kekuasaan. Pasalnya, sudah terbukti politik kekuasaan yang dilakoni banyak anak muda masih jauh dari ideal. Banyak politisi muda minim prestasi, bahkan ada yang tersandung kasus korupsi.
Di sisi lain, banyak anak muda malah balik memanfaatkan masa kampanye untuk kepentingan jangka pendek. Mereka menyodorkan proposal bantuan kepada calon dengan jaminan kemenangan. Tak tanggung-tanggung, mereka meminta sejumlah uang dan barang.
”Saya pernah ikut rapat caleg dengan salah satu perkumpulan di Jakarta. Perkumpulan itu minta empat mobil untuk operasional dan itu dipenuhi oleh caleg. Jaminan mereka adalah kemenangan,” kata Muksin (38), seorang pemuda yang dijumpai di Jakarta, Sabtu (28/10/2023).
Muksin yang tergabung dalam perkumpulan itu berpandangan, politik adalah transaksi. Mereka harus menerima imbalan sebelum menjatuhkan pilihan. Sebab, berdasarkan pengalaman, setelah terpilih, banyak pejabat yang lupa dengan janji-janjinya.
Airlangga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga, memandang anak muda diajak ikut dalam politik praktis merupakan bagian dari pendidikan politik sekaligus aktualisasi hak politik anak muda. Namun, anak muda perlu memperhatikan sejumlah hal agar tidak hanya menjadi instrumen untuk kepentingan politik pihak tertentu.
”Karena selama ini yang terjadi di proses politik adalah partai atau tim pemenangan menampilkan figur muda di garis depan, tetapi minim gagasan yang mengartikulasikan kepentingan kaum muda,” kata Airlangga dari Surabaya, Minggu (29/10/2023).
Airlangga menjelaskan, anak muda menghadapi persoalan dalam lingkup lapangan kerja. Setelah mendapat pekerjaan pun, mereka berhadapan dengan persoalan ketimpangan sosial yang tinggi. Alhasil, ekspektasi mereka tentang kemakmuran itu tidak sejalan dengan yang mereka terima. Anak muda juga harus bergelut dengan masalah kebutuhan pokok, rumah terjangkau, perubahan iklim, dan adaptasi ke dunia digital.
Karena itu, Airlangga melanjutkan, anak muda yang diajak terlibat politik praktis perlu jeli membaca kekuatan politik yang sejalan dengan kepentingan mereka. ”Jangan sampai mereka menjadi alat untuk manuver politik ketinggalan zaman yang bertentangan dengan nilai yang mereka anut karena pada akhirnya persepsi tentang anak muda yang bisa tercederai,” tuturnya.