Anggota Paspampres dan Dua Rekannya Sudah 14 Kali Peras Penjual Obat Ilegal
Tiga prajurit TNI didakwa terlibat pembunuhan berencana dengan tambahan pembunuhan, penganiayaan, dan penculikan secara bersama-sama yang berujung pada tewasnya Imam Masykur.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa perkara dugaan pembunuhan Imam Masykur, yakni anggota Pasukan Pengamanan Presiden dan dua rekannya sesama prajurit TNI, telah memeras penjual obat ilegal 14 kali. Secara keseluruhan, tiga terdakwa memperoleh uang Rp 151 juta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Imam Masykur, pemuda asal Aceh yang sehari-hari bekerja di toko kosmetik di Kota Tangerang, merupakan salah satu korban tewas akibat tindakan para terdakwa.
Adapun para terdakwa beraksi sejak April 2022 hingga Agustus 2023. Terdakwa Prajurit Kepala (Praka) Riswandi Manik, anggota Paspampres, dan Praka Heri Sandi, memeras penjual obat-obatan ilegal dua kali sebulan. Dari bulan Oktober 2022, terdakwa Praka Jasmowir mulai bergabung bersama dua lainnya.
Mereka beraksi di kawasan Tangerang, Banten, empat kali dengan perolehan Rp 53 juta. Kemudian di kawasan Bekasi dua kali dengan perolehan Rp 20 juta, di Jakarta Timur dua kali dengan perolehan Rp 20 juta, di Jakarta Utara dua kali dengan perolehan Rp 19 juta, di Jakarta Selatan dua kali dengan perolehan Rp 19 juta, dan di Depok dua kali dengan perolehan Rp 20 juta.
”Lalu, pada 12 Agustus 2023 di toko obat wilayah Ciputat dan Jakarta Timur. Hasil penggerebekan toko obat dan kosmetik yang menjual obat-obatan terlarang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup para terdakwa dan tidak ada uang yang tersisa,” ujar oditur militer Letnan Kolonel Upen Jaya Supena saat membacakan dakwaan di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Senin (30/10/2023).
Penganiayaan Imam Masykur, pria asal Aceh, yang menyebabkan Imam tewas berlangsung saat penggerebekan toko obat di wilayah Ciputat. Sebelum itu, para terdakwa menyamar sebagai anggota polisi dengan surat tugas palsu, kemudian menculik Imam. Penculikan Imam diwarnai penolakan oleh warga sekitar, tetapi para terdakwa menunjukkan surat tugas palsu untuk meredakan situasi.
Imam lalu dibawa ke mobil sewaan dan diposisikan duduk diapit Heri Sandi dan Jasmowir. Di mobil, Imam disiksa melalui pukulan tangan, hantaman benda tumpul berupa handy talkie, hingga cambukan kabel listrik. Penyiksaan dilakukan para terdakwa, kata Upen, untuk mengancam Imam agar membayar uang Rp 50 Juta. Selain imam, tiga terdakwa itu juga mengancam keluarga korban agar mengirimkan uang.
Hasil pemeriksaan para terdakwa dan saksi-saksi, mereka terbukti melakukan tindak pidana. Adapun hal itu berupa pembunuhan berencana dengan tambahan pembunuhan, penganiayaan, dan penculikan secara bersama-sama.
”Kalau ibu sayang anak, ibu kirim uang Rp 50 juta. Kalau ibu tidak sayang, saya bunuh dan saya buang anak ibu,” ucap Upen menirukan perkataan Riswandi ke ibu dari Imam.
Karena belum menerima bayaran, para terdakwa berlanjut untuk menggerebek penjual obat terlarang lainnya di daerah Jakarta Timur. Penjual obat juga telah diperiksa sebagai saksi. Para terdakwa juga menyamar dan menculik penjual obat itu. Penyiksaan pun dilakukan terhadapnya.
Pada saat berkeliling dan menunggu bayaran, Imam Masykur merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ia meronta-ronta, beberapa saat kemudian tubuhnya diam tak bergerak. Para terdakwa meminta penjual obat lainnya memeriksa denyut nadi Imam.
Merujuk hasil visum dari RSPAD Gatot Soebroto, pada tubuh Imam ditemukan tanda-tanda kekerasan akibat benda tumpul. Ini terlihat dari tulang rahang bawah yang patah, lecet pada wajah dan leher, hingga memar. Pada pemeriksaan mendalam ditemukan pendarahan pada otak akibat kekerasan benda tumpul di leher Imam.
Para terdakwa, lanjut Upen, panik ketika mengetahui Imam tidak bernyawa lagi. Mereka berupaya membuang jasad Imam ke tempat yang jauh, yakni di Purwakarta, Jawa Barat. Karena itu, mereka menurunkan penjual obat lainnya di salah satu jalan keluar tol. Saat perjalanan menuju Purwakarta, para terdakwa membuang barang bukti secara terpisah.
Atas perbuatannya, ketiga pelaku didakwa primer Pasal 340 Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan lebih subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 328 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sidang pertama dipimpin oleh Ketua Hakim Kolonel Rudy Dwi Prakamto didampingi hakim anggota, Letkol Idolohi dan Mayor Aulisa Dandel. Seusai pembacaan dakwaan, para terdakwa sepakat untuk tidak mengajukan eksepsi sehingga bisa dilanjutkan agenda pemeriksaan saksi.
Meskipun begitu, oditur militer baru bisa menghadirkan saksi pada Kamis (2/11). Rudy menerima alasan dari oditur dan menunda sidang hingga saksi bisa dihadirkan. ”Tidak dihadirkan hari ini atau Rabu karena pemanggilan saksi terlalu mendadak,” kata Upen.
Kepala Oditurat Militer II Jakarta Kolonel Riswandono, seusai sidang, menyampaikan, hasil pemeriksaan para terdakwa dan saksi-saksi, mereka terbukti melakukan tindak pidana. Adapun hal itu berupa pembunuhan berencana dengan tambahan pembunuhan, penganiayaan, dan penculikan secara bersama-sama.
”Sesuai dakwaan, ancaman maksimal hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau paling singkat 20 tahun,” katanya.
Selain itu, para terdakwa juga akan menerima sanksi etik, seperti pemberhentian dari anggota TNI secara tidak hormat. Meskipun demikian, oditurat militer tidak mendalami apakah ada aliran dana dari tiga terdakwa kepada pihak lainnya. Ini mengingat mereka telah beraksi berulang kali dan memperoleh uang hingga ratusan juta.