Mimpi tentang Indonesia, ”Peringatan Dini” Menyongsong Indonesia 2045
”Mimpi tentang Indonesia” memberikan ”peringatan dini” adanya masalah nyata bangsa ini. Buku ini menyediakan ”ruang” debat bagi calon pemimpin bangsa menyongsong Indonesia 2045.
Mimpi tentang Indonesia memberikan ”peringatan dini” adanya masalah nyata bangsa ini. Buku itu juga menyediakan ”ruang” debat bagi calon pemimpin bangsa dalam mengatasi masalah nyata menyongsong pemilu mendatang dan Indonesia 2045.
Jurnalis senior Kompas dan juga penulis buku Mimpi tentang Indonesia, Budiman Tanuredjo, dalam bedah buku tersebut, Jumat (13/10/2023) malam, menuturkan, berbagai pemikiran pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, yang mendasari karya-karya jurnalistiknya.
Setiap Sabtu, Budiman menulis kolom di harian Kompas yang ia sebut perziarahan jurnalistik. Kolom itu sudah dibukukan dengan judul Simpang Jalan. Buku tersebut menggambarkan bangsa ini berada di simpang jalan. Dari situlah Budiman ”meloncat” mencari mimpi anak-anak muda atau tokoh-tokoh bangsa mengenai Indonesia seperti apa.
Dalam perziarahan jurnalistik, Budiman mengaku berjumpa dengan banyak orang di jalanan, kelompok marjinal yang kemudian dituliskan di kolom-kolom harian Kompas.
Baca juga: Merajut Mimpi Indonesia yang Majemuk
Refleksi realitas sosial
Dalam perziarahan jurnalistik, Budiman mengaku berjumpa dengan banyak orang di jalanan, kelompok marjinal yang kemudian dituliskan di kolom-kolom harian Kompas. Kolom-kolom itu memberikan peringatan dini, yaitu mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi agar bangsa ini tidak mengalami ”pendadakan sosial”.
”Saya merefleksikan realitas-realitas sosial, kemudian coba memberikan peringatan dini bahwa sesuatu bisa terjadi jika tidak dikelola serta menawarkan solusi,” ujarnya.
Kemudian, pandemi Covid-19 menghantam cukup dalam. Pada momen itu, Budiman melihat harus mengembangkan model jurnalisme berbeda. Jurnalisme berbeda itu ia kembangkan menggunakan kanal Youtube dan Spotify, mengajak mengobrol siapa pun.
Wawancara tersebut diolah dengan penyesuaian menjadi buku Mimpi tentang Indonesia. Dalam semua wawancara itu selalu ada empat pertanyaan. Pertama, apa sebetulnya masalah bangsa ini. Jika bertanya kepada seorang dosen, politisi, aktivitas, pebisnis, jawabannya bisa berbeda.
Kedua, apa mimpi mereka soal Indonesia. Ternyata tidak mudah menemukan mimpi-mimpi mereka soal Indonesia. Ketiga, negara mana yang mereka bayangkan menjadi negara ideal. Banyak yang menyebut negara ”Skandinavian Vountry” yang merupakan welfare state atau negara kesejahteraan sebagai negara idaman. Ada pula yang menyebut Amerika, Jepang, dan lain-lain. Ada pula yang tidak bisa menyebut.
Pertanyaan keempat, siapa tokoh baik internasional maupun nasional yang menjadi cita-cita ideal, menjadi idola bagi mereka. Banyak yang menyebutkan seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan dan Barack Obama di Amerika Serikat. Di dalam negeri banyak yang menyebut Soekarno dan Hatta.
Menyongsong Indonesia 2045, ada sebuah kecemasan. Indonesia 2045 sangat bergantung kepada generasi di tahun 2023, kepada orang-orang yang berada di TK, SD, SMP, dan SMA yang jumlahnya 44,19 juta orang. Jika merujuk pada data di Badan Pusat Statistik, yang lulus SMA sebanyak 3,6 juta dan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya 1,3 juta orang.
”Dalam posisi seperti itu, bagaimana Indonesia bisa meloncat ke 2045 dengan tantangan problem digitalisasi, robot, dan artificial intelligence (kecerdasan buatan),” ujarnya.
Baca juga: Merevitalisasi Mimpi Indonesia Merdeka
Bagaimana kita bisa mengatasi isu-isu global yang muncul juga di buku Mimpi tentang Indonesia soal perubahan iklim dan sebagainya. Belum lagi angkatan kerja yang ada 55,43 persen lulusan SMP. Kemudian 39,10 persen didominasi tamatan SD. IQ orang Indonesia rata-rata 78 menjadi sangat rendah. Guru bersertifikat hanya 50 persen. Sebanyak 302 kecamatan belum ada SMP dan madrasah tsanawiyah.
Berdasarkan situasi itu bagaimana kita membawa pada Indonesia 2045. Melalui buku Mimpi tentang Indonesia diharapkan ada agenda perdebatan para politisi, calon presiden pada Pemilu 2024 untuk mengatasi problem-problem itu dengan menjawab sejumlah persoalan riil.
Proses dialektis
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Abby Gina melihat buku tersebut sebuah karya yang penting karena sebagai upaya mempertanyakan situasi kebangsaan hari-hari ini. Abby menangkap nuansa kegelisahan apa yang bisa kita lakukan untuk merespons situasi hari-hari ini yang sebetulnya memprihatinkan dan mengkhawatirkan.
Buku itu juga karya jurnalistik dari proses wawancara podcast. Ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan proses dialektis. Penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melakukan dialog melahirkan pemikiran.
Abby mengaku sangat tersentil dengan narasi pembuka dari penulis yang berbunyi, ”Namanya Pariyem, usianya 67 tahun, profesinya buruh gendong di Pasar Bringharjo Yogyakarta. Ia asli Kulonprogo. Sebagai buruh gendong ia mendapatkan upah Rp 35.000-Rp 50.000 per hari. Ia tidak mungkin pulang-pergi karena upahnya bisa habis di ongkos.”
”Pulang-pergi ke rumah harus ada ongkos Rp 20.000 dan ia memilih tidur di pinggir jalan. Pariyem yang dijumpai wartawan Kompas di Pasar Beringharjo sebetulnya wujud kemiskinan di negeri ini,” tutur Budiman Tanuredjo di dalam pembuka buku tersebut.
Kemiskinan perempuan
Uraian tersebut menunjukkan kemiskinan perempuan di Indonesia atau kalau kita bilang wajah kemiskinan itu sebenarnya adalah wajah perempuan. Ketika menggunakan perspektif keadilan jender atau feminis, kemiskinan ini bukan sesuatu yang netral jender. Kemiskinan berkaitan dengan struktur masyarakat. Perempuan juga cukup tersingkir dari ”ruang” pendidikan.
Inilah wajah kemiskinan Indonesia. Dampak dari ketertinggalan pendidikan atau nilai-nilai yang partriarki masih dirasakan. Bagaimana minimnya investasi pendidikan terhadap perempuan di wilayah tertinggal, perdesaan, dan daerah miskin kota.
Kemiskinan perempuan di Indonesia atau kalau kita bilang wajah kemiskinan itu sebenarnya adalah wajah perempuan.
Baca juga: Peran Perempuan di Dunia Kerja Belum Setara
Dampak dari pendidikan pada partisipasi kerja. Berdasarkan data BPS sepuluh tahun terakhir, tren keterlibatan perempuan dalam pasar tenaga kerja hanya berkisar 50-53 persen, sementara laki-laki pada angka 80-85 persen.
Mereka kebanyakan berada di ruang-ruang seperti kerja-kerja informal atau kerja-kerja pembantu rumah tangga yang banyak kasus kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan sampai kematian.
Kebijakan-kebijakan masih banyak diskriminatif. Kemudian, sangat sulit meloloskan kebijakan berperspektif jender, misalnya terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lalu, sulitnya mendorong diwujudkannya UU Pekerja Rumah Tangga.
Tantangan mencapai Indonesia Emas
Akan sulit mencapai Indonesia Emas atau Indonesia yang dimimpikan ketika secara data 2021 Indonesia berada di urutan kesepuluh di antara negara-negara ASEAN dengan ketimpangan jender paling tinggi. Pada 2023 di indeks ASEAN juga Indonesia berada di posisi kedelapan terkait kemampuan hukum negara ASEAN dalam menjamin kesetaraan jender.
Pemikir kebinekaan, Sukidi, menuturkan, buku Mimpi tentang Indonesia mewarisi tradisi jurnalisme Jakob Oetama. Salah satu ciri utama jurnalisme Jakob Oetama adalah jurnalisme yang didedikasikan untuk Indonesia yang diimpikan para pendiri republik ini.
Ada kegelisahan. Kegelisahan itu disandarkan pada realitas sosial, juga refleksi terhadap nilai. Warisan terbaik Jakob Oetama suatu warisan jurnalisme yang lebih diorientasikan menemukan kembali Indonesia, seperti yang dicita-citakan oleh pendiri republik.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin menuturkan, ada orang yang melihat Indonesia dari luar sebagai peneliti, tetapi tidak terlibat secara sosial. Namun, juga memberikan insight.
Contohnya ada yang mengatakan, Indonesia adalah sebuah bangsa yang hampir tidak mungkin terjadi. Bandingkan dengan beberapa negara di Eropa penduduknya kecil. Indonesia 200-an juta penduduk dari sekian pulau. Ini suatu kemustahilan bagi orang luar.
Buku Mimpi tentang Indonesia, menurut Komaruddin, menjadi penting untuk bagaimana membaca Indonesia dari problem yang kecil tapi sekaligus berada pada titik koordinat di manakah kita berada.