Didukung, Grasi Massal bagi Napi Kasus Narkotika
Masyarakat sipil mendukung rencana pemerintah memberikan grasi massal bagi narapidana narkoba guna mengatasi ”overcrowding” di penjara. Revisi UU Narkotika dan pendekatan kesehatan diusulkan sebagai solusi.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana mengenai pemberian grasi dan amnesti sudah lama digaungkan oleh masyarakat sipil untuk mengurangi kepadatan penghuni (overcrowding) di lembaga pemasyarakatan. Ketika hal itu diwacanakan oleh pemerintah, mereka pun mendukungnya. Kebijakan itu dinilai akan lebih efektif jika didukung kebijakan dekriminalisasi pengguna melalui revisi UU Narkotika.
Berdasarkan data sdppublik.ditjenpas.go.id, per 13 Oktober 2023, jumlah total penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di seluruh Indonesia sebanyak 269.508 narapidana dan tahanan. Padahal, kapasitas sel yang ada di seluruh lapas dan rutan di Indonesia hanya bisa memuat 137.086 orang.
Baca juga: Pemerintah Berencana Berikan Grasi Massal bagi Napi Narkoba
Peneliti Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan, menurut kajian ICJR, masih banyak pasal karet di UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal karet itu kerap digunakan untuk memenjarakan pengguna narkotika. Umumnya mereka dijerat pasal penguasaan, pembelian, dan kepemilikan yang seharusnya hanya untuk peredaran gelap. Di sisi lain, proses revisi UU Narkotika sampai saat ini masih berproses di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
”Dari awal kami mendukung wacana tersebut. Amnesti atau grasi massal berbasis penilaian bagi pengguna narkotika memang bisa menjadi tindakan cepat dan strategis untuk mengatasi masalah overcrowding,” kata Maidina, Jumat (13/10/2023).
ICJR berpandangan, untuk menjamin langkah pemerintah itu, pendekatan yang tepat adalah pendekatan kesehatan melalui asesmen kesehatan pengguna narkotika.
Sebelumnya, wacana pemberian grasi massal bagi narapidana kasus narkoba itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD seusai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Mahfud mengatakan, rencana itu belum dibahas di tingkat kabinet, tetapi sedang dikoordinasikan di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Usulan pemberian grasi massal itu nantinya akan didiskusikan terlebih dahulu dengan Mahkamah Agung.
Pendekatan kesehatan
ICJR berpandangan, untuk menjamin langkah pemerintah itu, pendekatan yang tepat adalah pendekatan kesehatan melalui asesmen kesehatan pengguna narkotika. Seluruh warga binaan pemerintah atau penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) yang terjerat kasus narkoba melalui pasal penguasaan, pembelian, kepemilikan, dan penyalahgunaan harus diasesmen ulang. Latar belakang kasusnya bisa dikaji kembali. Apabila ada indikasi penggunaan dan atau kepemilikan narkoba untuk kepentingan pribadi, maka mereka berhak memperoleh grasi dan segera dikeluarkan dari lapas.
”Pengeluaran juga bisa ditempelkan dengan kebijakan asimilasi di rumah atau lembaga di luar lapas yang sekarang kebijakannya dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS),” imbuh Maidina.
Adapun terkait dengan pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, menurut Maidina, mereka juga harus diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan. Mereka tidak berhak dikenai penghukuman karena hukuman penjara justru tidak mengurangi dampak buruk dari penyalahgunaan narkoba. Rehabilitasi tidak harus berbasis kelembagaan dengan penempatan di lembaga. Rehabilitasi juga bisa berbasis komunitas dan rawat jalan sesuai dengan penilaian kesehatan.
Direktur Program Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengapresiasi usulan Mahfud yang mendorong pemberian grasi oleh Presiden untuk terpidana narkoba. Hanya saja, mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, inisiatif dikeluarkannya grasi adalah dari terpidana. Sebenarnya, undang-undang tersebut memberi celah bagi pemberian grasi yang bukan berasal dari inisiatif terpidana. Pasal 6A UU No 5/2010 mengatur, menteri dapat meminta para pihak (terpidana) untuk mengajukan permohonan grasi demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan.
”Persoalannya sekarang sudah diwacanakan seakan-akan ini menjadi beban presiden. Padahal, secara hukum grasi dimohonkan oleh terpidana dan difasilitasi oleh menteri untuk diajukan ke Presiden,” kata Gatot.
Baca juga: Revisi UU Narkotika Buka Peluang Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas
Namun, apabila pemerintah hendak memberikan grasi massal, Gatot menyarankan agar Presiden mengubah aturan yang ada di UU Grasi dengan menerbitkan Perppu. Selain mengubah prosedur pemberian grasi, perppu tersebut nantinya harus mengatur parameter tambahan siapa saja berhak untuk diberikan grasi. Misalnya, harus berkelakuan baik selama di dalam penjara, bukan termasuk narapidana kejahatan yang berisiko tinggi.
”Penambahan syarat tersebut harus diatur dalam regulasi yang setara dengan undang-undang, yaitu melalui perppu,” ujar Gatot.
Manfaatkan UU Pemasyarakatan
Gatot sebenarnya heran mengapa Menko Polhukam melontarkan wacana pemberian grasi massal. Sebab, tanpa melibatkan Presiden sebagai pihak yang memiliki kewenangan memberikan grasi, pengurangan overcrowding di penjara sebenarnya bisa dilakukan dengan mekanisme biasa yang diatur di dalam UU Pemasyarakatan, yaitu melalui asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti bersyarat.
Tahun lalu pemerintah dan DPR sudah merevisi UU Pemasyarakatan menjadi UU No 22/2022 dengan semangat untuk mengurangi overcrowding yang sudah menjadi persoalan klasik di penjara-penjara Indonesia. UU No 22/2022 direvisi setelah Mahkamah Agung membatalkan ketentuan perlunya menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang selama ini menghambat napi tindak pidana khusus memperoleh hak-hak mereka, yakni remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan lainnya.
”Sebenarnya dengan melaksanakan UU Pemasyarakatan terbaru, Kementerian Hukum dan HAM dapat mencari alternatif, dalam arti menggunakan kewenangan menteri untuk mengeluarkan terpidana,” kata Gatot.
Lagi pula, praktik tersebut sebenarnya sudah dilaksanakan oleh Kemenkumham ketika selama dua tahun (2012-2014) mengeluarkan 40.000 hingga 60.000 melalui percepatan integrasi napi ke masyarakat melalui pemberian PB dan CB. Selain itu, tambah Gatot, selama pandemi Covid-19 berlangsung sejak 2020, 2021, hingga 2022, Kemenkumham juga berhasil mengeluarkan paling tidak 120.000 narapidana melalui program yang sama (asimilasi rumah, asimilasi kerja, pembebasan bersyarat, dan cuti bersyarat).
Dibandingkan dengan pemberian grasi massal, Gatot menilai pemberian hak-hak napi seperti pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, asimilasi dan lainnya bisa dilakukan dengan lebih terukur. Sebab, Kemenkumham sendiri yang melakukan pemetaan terhadap narapidana mana saja yang sudah memenuhi syarat. Misalnya sudah menjalani separuh atau sepertiga masa tahanan, berkelakuan baik dan lainnya.
Hal lain yang krusial untuk menangani pengguna atau pecandu narkotika adalah dengan dekriminalisasi. Dekriminalisasi adalah penghapusan sanksi pidana.
Baca juga: 76 Persen Lapas Kelebihan Penghuni
Dekriminalisasi
Maidina menambahkan, hal lain yang krusial untuk menangani pengguna atau pencandu narkotika adalah dengan dekriminalisasi. Dekriminalisasi adalah penghapusan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan, yaitu penggunaan dan penguasaan narkotika untuk kepentingan pribadi. Menurut Maidina, dekriminalisasi akan mengubah pendekatan penyalahgunaan narkotika dari diskursus penegakan hukum ke persoalan kesehatan.
Hal tersebut akan membawa sejumlah manfaat seperti terkendalinya tingkat pengguna narkotika sehingga dapat mengakses layanan kesehatan. Model itu juga bisa meringankan beban sistem peradilan. Dekriminalisasi juga bisa diselaraskan dengan sanksi administratif atau model lain di luar pidana.
”Jika seluruh kebijakan itu diterapkan aparat penegak hukum dapat lebih berfokus pada peredaran gelap narkotika dalam rezim kejahatan terorganisasi. Bukan malah menyasar pengguna narkotika dengan pendekataan pemidaaan yang terbukti gagal dan perlu segera dikembalikan pada pendekatan kesehatan,” jelas Maidina.
Wacana yang digulirkan pemerintah itu juga sudah sesuai dengan rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum. Pada September lalu, hasil laporan dan rekomendasi tim memaparkan jumlah warga binaan pemasyarakatan melonjak drastis dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia.
Ketua Tim Percepatan Reformasi Hukum Sugeng Purnomo menjelaskan, agenda prioritas dan rencana aksi yang disusun oleh tim memang pemberian grasi massal bagi seluruh narapidana atau penyalah guna narkoba yang memenuhi syarat serta WBP pelaku tindak pidana ringan. Program itu akan dijalankan oleh Kemenko Polhukam dengan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung, Kementerian Sekretariat Negara, Kemenkumham, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Narkotika Nasional.