Ahli Pidana Pencucian Uang Sebut BTS 4G Bakti Kemenkominfo Kasus Besar
Saksi ahli tindak pidana pencucian uang, Ardian Dwi Yunanto, menyebut kasus dugaan korupsi pembangunan menara BTS 4G sebagai kasus besar yang melibatkan banyak pihak.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli tindak pidana pencucian uang menyebut terdakwa Irwan Hermawan melakukan perbantuan dalam perkara dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ahli tersebut juga menilai bahwa kasus ini sebagai kasus besar karena melibatkan banyak pihak.
Hal itu terungkap di dalam sidang dugaan korupsi pembangunan menara BTS 4G Bakti Kemenkominfo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dengan terdakwa Irwan Hermawan, Komisaris PT Solitech Media Sinergy Galumbang Menak Simanjuntak, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Selasa (10/10/2023). Sidang menghadirkan Ardian Dwi Yunanto, pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai saksi ahli tindak pidana pencucian uang.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika yang didampingi hakim anggota Rianto Adam Pontoh dan Mulyono Dwi Purwanto. Dalam persidangan, Ardian memaparkan pengertian tindak pidana pencucian uang, klausul terjadinya pencucian uang, serta penegakan hukum terhadap pidana pencucian uang. Dalam menjelaskan hal tersebut, Ardian memberikan beberapa contoh kasus pencucian uang yang pernah terjadi di Indonesia.
Ketika giliran penasihat hukum terdakwa bertanya kepada saksi ahli, Handika Honggowongso, kuasa hukum Irwan dan Galumbang, membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ahli Ardian yang menyebut Irwan Hermawan sebagai pihak yang melakukan perbantuan. Ketika dikonfirmasi mengenai pihak yang dimaksud Ardian sebagai pihak yang dibantu Irwan tersebut adalah pihak konsorsium pemenang proyek BTS 4G, Ardian tidak mengiyakan.
”Cerita (kasus) ini itu besar. Kita (waktu) itu sempat bertanya, kok (pihak) itu enggak (tersangka), kok itu enggak (tersangka). Kalau menceritakan kasus ini (melibatkan) banyak. Kalau tentang si A dan si B saya sudah lupa, tapi kasus ini besar sekali,” kata Ardian.
Di dalam kasus tersebut Irwan dan Galumbang didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Sementara, Irwan juga disebut telah menerima uang Rp 119 miliar.
Dalam penjelasannya, kata Ardian, hasil kejahatan tidak harus selalu dinikmati oleh pelaku. Dalam tindak pidana pencucian uang, ketika pelaku menempatkan uang hasil kejahatan di rekening orang lain, tindakan tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang karena dilakukan dalam rangka menyembunyikan dan menyamarkan uang hasil kejahatan.
Terkait dengan hal itu, kata Ardian, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengklasifikasikan 21 modus pencucian uang. Beberapa modus yang disebut Ardian di dalam sidang adalah menggunakan pihak ketiga, menggunakan rekening orang lain, hingga digunakan untuk melakukan kegiatan yang legal, seperti berbisnis. Namun demikian, tindak pidana pencucian uang tetap mensyaratkan adanya tindak pidana asal.
Terkait hal itu, jaksa penuntut umum menanyakan status uang yang diduga merupakan hasil kejahatan yang kemudian ditempatkan di rekening sebuah perusahaan dan kemudian uang tersebut dialirkan ke perusahaan lain berdasarkan kegiatan fiktif. Terhadap pertanyaan itu, menurut Ardian, jika di dalam kasus tersebut terdapat unsur informasi palsu, modus kejahatannya adalah pemberian informasi palsu.
Namun, jika perusahaan yang melakukan kegiatan fiktif tersebut berperan sebagai perusahaan cangkang, tindakan tersebut sudah masuk ke modus penempatan ( placement) agar semakin berlapis sehingga sulit ditelusuri.
”Polanya adalah placement, layering dan integration. Lalu ada modus memutus. Jadi uang yang sudah ditempatkan tadi kemudian ditarik tunai. Nah, dalam tindak pidana pencucian uang, itu untuk memutus mata rantai di penyedia jasa keuangan, ” tuturnya.
Pada kesempatan itu, penasihat hukum Irwan maupun Galumbang, Maqdir Ismail, menanyakan aset yang didapat jauh sebelum kasus terjadi, tetapi kemudian turut disita oleh penyidik. Terhadap hal itu, jawab Ardian, sepanjang aset tersebut bukan dibeli dengan uang hasil kejahatan, maka aset tersebut mestinya tidak bermasalah. Namun, hal itu kemudian harus dibuktikan terdakwa di pengadilan bahwa aset tersebut memang tidak terkait dengan tindak pidana asal.
Di dalam sidang tersebut, Maqdir mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk memeriksa empat saksi tambahan sebagaimana disebut dalam berita acara pemeriksaan kliennya. Maqdir berharap agar majelis hakim menerbitkan penetapan agar keempat saksi tersebut dapat dihadirkan di persidangan.
Namun, terhadap permohonan itu, majelis hakim belum bisa memutuskan. Sementara, jaksa penuntut umum menyatakan sudah cukup dan tidak lagi mengajukan saksi untuk diperiksa di persidangan. ”Sementara kami belum bisa mengambil keputusan. Silakan sebelum majelis hakim mengambil sikap atas yang dimohonkan, tolong diupayakan untuk kepentingan Saudara terdakwa, ya, ” kata Ketua Majelis Hakim.
Setelah sidang, ketika ditanya tentang empat sosok saksi yang akan diajukan untuk diperiksa, Maqdir menolak untuk menyebutkannya karena menunggu keputusan majelis hakim. Namun, ia menampik bahwa keempat saksi tersebut terkait dengan pihak-pihak yang sebelumnya disebut Irwan telah menerima uang darinya untuk pengamanan kasus.
Adapun, ketika diperiksa sebagai saksi, Irwan membeberkan beberapa pihak yang telah menerima uang dalam rangka pengamanan kasus. Mereka adalah Yunita Rp 11,5 miliar, kepada Nistra sebesar Rp 70 miliar, kepada Sadikin Rp 40 miliar, kepada Edward Hutahaean Rp 15 miliar, serta kepada Windu Aji Sutanto Rp 66 miliar. Dalam persidangan, Nistra disebut sebagai penghubung dengan Komisi I DPR, sedangkan Sadikin disebut sebagai orang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu, Irwan juga mengaku menyerahkan uang kepada Dito Ariotedjo Rp 27 miliar, kepada Feriandi Mirza Rp 300 juta, kepada Berto atau Walbertus Rp 4 miliar, kepada Jennifer Rp 100 juta, dan kepada kelompok kerja proyek menara BTS 4G Bakti Rp 400 juta. Irwan juga memberikan uang kepada Windy Rp 750 juta, kepada Elvano Hatorangan Rp 2,4 miliar, serta untuk membiayai perjalanan dinas keluar negeri Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate.