Eksil, Mereka yang Terhalang Pulang dan Terpinggirkan di Negeri Sendiri
Eksil bukan hanya tentang mereka yang terhalang pulang ke Tanah Air karena peristiwa 1965, melainkan juga masyarakat terpinggirkan yang belum menikmati berkah kemerdekaan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Eksil bukan hanya tentang mereka yang terhalang pulang lantaran kehilangan kewarganegaraan akibat terdampak peristiwa 1965. Lebih dari itu, eksil juga tentang mereka yang terpinggirkan dan tidak menikmati berkah kemerdekaan yang sudah 78 tahun berjalan. Siapa pun pemimpin ke depan, itulah salah satu masalah nyata yang harus dihadapi.
Persoalan eksil kembali mengemuka setelah pemerintah menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM). Sebagai tindak lanjut, pemerintah mempermudah layanan keimigrasian bagi para eksil yang ingin kembali ke Indonesia. Para eksil, baik mantan mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di luar negeri maupun pekerja lain, bisa mengajukan visa atau izin tinggal tersebut ke konsulat jenderal (konjen) yang ada di luar negeri tanpa biaya alias gratis.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly bahkan sampai menemui para korban peristiwa 1965 itu di Belanda dan Ceko. Salah satu yang didiskusikan adalah mengenai hak-hak konstitusional para eksil yang harus dipenuhi oleh negara.
Kehidupan para korban peristiwa 1965 itu juga telah diangkat dalam sebuah film berjudul Eksil. Film itu menceritakan tentang orang-orang yang terasing, tidak memiliki kewarganegaraan selama lebih dari 30-34 tahun. Bagaimana mereka hidup terlunta-lunta di luar negeri. Mereka memiliki rasa nasionalisme yang begitu besar, tetapi kesulitan kembali ke Tanah Air.
Para eksil itu dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno untuk tugas belajar. Namun, mereka tidak bisa kembali ke Tanah Air karena dituduh terlibat peristiwa 1965 oleh pemerintah Orde Baru.
”Mereka adalah orang-orangtua yang saya hormati dan sangat pintar. Kalau tidak pintar, mereka tentu tidak dikirim Presiden Soekarno untuk belajar ke luar negeri. Ada yang ahli kimia, teknik, pertanian, ekonomi, dan perencana,” kata Lola Amaria, sutradara film Eksil dalam Obrolan Republik yang dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta, Senin (2/10/2023) sore.
Lola membayangkan ketika selesai tugas belajar, mereka akan pulang ke Tanah Air dengan membangun Indonesia agar lebih maju. Namun, sayangnya, para ahli ini tidak bisa pulang ke Indonesia dan terlunta-lunta di negeri orang setelah adanya peristiwa 1965.
Mereka juga bekerja tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, seorang eksil yang belajar perencanaan keuangan justru bekerja sebagai petugas perpustakaan. Ada pula ahli forensik yang bekerja sebagai pelayan di restoran.
Menurut Lola, mereka sudah lebih dari 34 tahun di luar negeri, tetapi logat mereka masih khas dengan daerah masing-masing. Ada yang berbicara dengan logat Sumatera Barat, lalu Medan (Sumatera Utara), dan Jawa. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa berpuluh tahun mereka di luar negeri tidak menghilangkan cinta mereka terhadap Tanah Air.
”Mereka masih ingat makanan dan tanaman di Tanah Air. Mereka menanam pohon pisang dan kelapa di rumah untuk mengingatkan mereka yang sangat cinta dan rindu Indonesia,” kata Lola.
Tak hanya konteks masa lalu
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menuturkan, terdapat dua konteks saat membicarakan soal eksil. Bukan hanya konteks masa lalu, melainkan juga hari ini.
Konteks eksil di masa lalu, lanjut Usman, dapat digali dari cerita yang ada di film Eksil. Dahulu Presiden Soekarno mengirimkan para putra-putri terbaik belajar di Eropa dengan harapan mereka akan kembali untuk membangun bangsa. Pemerintah Orde Lama juga menugasi putra-putri bangsa sebagai perwakilan RI di sejumlah negara dan menghadiri konferensi internasional atau konferensi trikontinental, termasuk sejumlah konferensi yang merupakan kelanjutan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Bandung 1955.
Mereka yang dikirimkan Soekarno itu merupakan putra-putra yang memiliki kecintaan tinggi terhadap Tanah Air. Menurut Usman, dalam film Eksil itu tergambarkan kecintaan mereka bukan hanya kepada lambang negara seperti bendera Merah-Putih atau Garuda Pancasila, melainkan juga jauh melampaui itu semua.
”Mencintai tanah kelahiran, mencintai manusia, dan mencintai tanaman untuk membawa mereka pada kenangan-kenangan masa lalu,” kata Usman.
Orang-orang eksil itu, lanjut Usman, adalah orang-orang yang terhalang pulang. Mereka terhalang pulang karena peristiwa-peristiwa politik 1965-1966 ini. Orang-orang ini meskipun kehilangan kebangsaanya dan status kewarganegaraan, tetapi cinta itu tidak hilang pada kemanusiaannya.
Hal itu setidaknya terlihat dari salah satu tokoh dalam film Eksil yang mengekspresikan rasa cintanya dengan membantu para mahasiswi generasi baru untuk menggunakan rumahnya sebagai persinggahan gratis (transit). Sepeda-sepeda yang dimilikinya dalam jumlah yang banyak diperkenankan dipakai para mahasiswa-mahasiswi di sana.
Demikian pula sosok-sosok lainnya yang belajar pertanian dan forensik ingin mengabdikan apa yang telah diperoleh untuk diberikan kepada bangsanya. Kecintaan-kecintaan seperti inilah yang patut kita jadikan teladan. Meskipun mereka disingkirkan oleh negaranya dan dihilangkan status kewarganegaraannya, kecintaan mereka terhadap Tanah Air tidak hilang sampai akhir hayat.
”Kecintaannya benar-benar kental pada kemanusiaan. Saya kira cerita ini khas hampir seluruh cerita dari para eksil. Ini penting dijadikan pembelajaran pada masa lalu,” kata Usman.
Kini, menurut Usman, tantangannya adalah seberapa jauh bangsa ini menyelesaikan masalah eksil. Menyelesaikan masalah kebangsaan yang sangat mendasar yang sedemikian lama tidak pernah diperbincangkan dengan sungguh-sungguh.
Budiman Tanuredjo, wartawan senior Kompas, menuturkan, masa depan bangsa ini diukur dari sejauh mana semua elemen masyarakat bisa mengenali masa lalu. Peristiwa yang terjadi di masa lalu mesti menjadi pelajaran agar tidak terulang di masa depan.
Kini, tantangannya adalah seberapa jauh bangsa ini menyelesaikan masalah eksil. Menyelesaikan masalah kebangsaan yang sangat mendasar yang sedemikian lama tidak pernah diperbincangkan dengan sungguh-sungguh.
Isu-isu strategis, termasuk pelanggaran HAM masa lalu, harus diselesaikan oleh para pemimpin bangsa, tak terkecuali para pemimpin yang terpilih pada Pemilu 14 Februari 2024 nanti. ”Tanpa visi yang kuat dari siapa pun calon presiden untuk membangun bangsa ini, seakan bangsa ini menjadi sangat keropos,” ujar Budiman.
”Eksil” lain
Budiman mencoba merefleksikan ”eksil” juga didapati di dalam negeri. Eksil yang dimaksud adalah orang-orang pinggiran yang sampai saat ini belum bisa menikmati berkah dari kemerdekaan. Mereka belum bisa menikmati pembangunan karena para pemimpin bangsa masih Jakartasentris dalam memandang sebuah persoalan.
”Bagaimana kita melihat Asmat, Papua, busung lapar di Asmat karena berbagai problem yang ada. Itu juga eksil-eksil, itulah saudara kita. Itulah yang sebetulnya harus diselesaikan. Terlalu dalam kesenjangan yang ada,” kata Budiman.
Sementara di daerah lain, seperti Martapura, Kalimantan Selatan, masyarakat dengan mudah membeli intan dan permata seharga Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. Fenomena tersebut menggambarkan kesenjangan sosial yang sangat luar biasa.
Sukidi, pemikir kebinekaan, menuturkan, ada sejumlah masalah yang bisa diidentifikasi terkait perlakuan negara terhadap orang hidup dalam keterasingan. Umumnya kecintaan mereka pada Indonesia begitu mengakar kuat dalam pikiran dan hati. Hal ini merupakan suatu fakta harus selalu menjadi pertimbangan negara dalam memperlakukan mereka yang hidup dalam pengasingan.
Ia khawatir kecintaan pada Tanah Air justru dirobek-robek oleh mereka yang beretorika untuk mencintai Tanah Air, tetapi praktiknya korupsi. Menurut Sukidi, korupsi merupakan praktik kejahatan atas nama negara yang justru merobek inti republik.