Pemerintah Belum Setujui Perpanjangan Jabatan Kepala Desa
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah mengusulkan agar revisi UU Desa dibahas setelah Pemilu 2024. Dengan demikian, tarik-menarik kepentingan politik jelang pemilu bisa dihindari.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati dinilai sarat kepentingan politis terkait Pemilu 2024, revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terus diproses. Pemerintah menyetujui banyak perubahan dalam Undang-Undang Desa yang diajukan DPR. Namun, ada pula yang masih harus dibahas. Di antaranya, soal perpanjangan masa jabatan kepala desa dan besaran kenaikan dana desa.
Presiden Joko Widodo memimpin rapat tertutup membahas revisi Undang-Undang Desa di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Hadir dalam rapat yang dimulai pukul 11.00 sampai pukul 12.15 tersebut, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa.
Seusai rapat, Halim menjelaskan, banyak hal dari RUU inisiatif DPR itu yang disetujui. ”Banyak yang disetujui, dari berapa itu, 18 pasal, sudah hampir clear semua. Ada beberapa yang masih didiskusikan,” ujarnya.
Baca juga: Masa Jabatan Kades 9 Tahun Disepakati Berlaku Setelah RUU Desa Disahkan
Mengenai masa jabatan kepala desa yang diusulkan diperpanjang dari enam tahun menjadi sembilan tahun, Halim mengatakan, hal ini masih didiskusikan. Demikian pula berapa periode kepala desa bisa menjabat, pemerintah belum memutuskannya.
Selain itu, DPR juga mengusulkan alokasi dana desa ditingkatkan menjadi 20 persen dari dana transfer daerah. Untuk anggaran, menurut Halim, pemerintah memilih tidak mematok persentase tertentu. ”Tetapi, prinsipnya tiap tahun ada peningkatan dana desa, dan dana yang bergulir ke desa itu definisinya cukup luas. Ada dana desa, dana kementerian/lembaga lain ke desa, PKH (Program Keluarga Harapan), itu juga APBN. Artinya, dana APBN yang masuk ke desa banyak banget. Prinsip bahwa menaikkan dana desa itu sudah komitmen dan selama ini dibuktikan, paling penting supaya APBN tidak kaku, tetap fleksibel, tak perlu ada persentase-persentase,” tambahnya.
Selain pembahasan perubahan UU Desa, peningkatan pelayanan desa terhadap warga desa juga dinilai lebih penting. Adapun kinerja dan optimalisasi kinerja antardesa akan dibahas tersendiri terkait kinerja perangkat desa.
Desa juga mendapatkan ruang untuk melakukan improvisasi pembangunan sepanjang menyentuh dua hal, yakni pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menilai, semestinya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini dilakukan setelah Pemilu 2024. Dengan demikian, tarik-menarik kepentingan politik jelang pemilu bisa dihindari. ”Ini (pembahasan setelah Pemilu 2024), kalau mau serius membenahi desa,” ujarnya, Senin.
Revisi terkait masa jabatan kepala desa dan penambahan anggaran seperti gula-gula yang ditawarkan di tahun politik. Bahkan, tawaran menarik bagi kepala desa ini seakan dimanfaatkan untuk memuluskan pemenangan Pemilu 2024.
Kalau dari substansi, menurut Herman, semestinya yang diperhatikan adalah bagaimana mendorong kualitas kinerja penganggaran, perencanaan, pelaksanaan program, dan pelayanan publik. Karena itu, selain tiga pilar indeks desa membangun, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, KPPOD juga menambahkan satu pilar lain, yakni tata kelola.
”Penambahan masa jabatan tidak menjadi indikator dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di desa. Jadi, tidak relevan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun dengan peningkatan kualitas pelayanan publik di desa,” tuturnya. Perpanjangan masa jabatan kepala desa bahkan disebutnya bisa menjadi bencana apabila kepala desa terpilih tidak berkapasitas dan tidak berintegritas.
Alasan manajemen konflik pascapemilu juga dinilai omong kosong. Sebab, konflik pascapemilu tak hanya terjadi di desa, tetapi juga bisa terjadi di tataran kabupaten/kota, bahkan provinsi. Hal ini tentu tak diselesaikan dengan memperpanjang masa jabatan bupati/wali kota ataupun gubernur.
Justru, kata Herman, perpanjangan masa jabatan ini bisa membuat kontestasi pemilihan kepala desa semakin diwarnai dengan penghalalan segala cara. Potensi konflik di desa semakin besar. Bahkan, banyak kasus, desa pecah setelah pilkada.
Peningkatan dana desa, Herman menilai, sah-sah saja sepanjang tidak terlampau membebani APBN. Dia mengusulkan peningkatan anggaran diberikan sesuai potret kinerja desa. Misalnya, desa yang sudah mampu bergerak dari status tertinggal menjadi sangat mandiri bisa mendapat peningkatan anggaran dan kelonggaran pemanfaatan anggaran. Pendekatan asimetris ini sekaligus menjadi insentif kemajuan desa.
Peningkatan anggaran secara merata tanpa penguatan kapasitas kepala desa dan perangkat desa bisa memperbanyak kasus korupsi. Saat ini saja, KPK mencatat lebih dari 600 kepala desa terjerat kasus korupsi. Hal ini, kata Herman, mengindikasikan lemahnya pengawasan dan inspektorat tidak bekerja optimal. Karenanya, perlu pelibatan semua pemangku kepentingan baik pemerintah dan aparat penegak hukum maupun kelompok masyarakat sipil dan media massa.
Baca juga: Belum Ada Target Waktu RUU Desa Bisa Dievaluasi
Victor Aries Effendy, terpidana korupsi dana desa untuk Kabupaten Tolikara tahun anggaran 2016, ditangkap tim Kejaksaan Tinggi Papua di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Sabtu (17/6/2023). Total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 318,9 miliar.
Adapun untuk mendorong pelayanan publik di desa dan tata kelola desa semakin baik, interaksi desa dengan supradesa ataupun interaksi desa dengan warga perlu diperbaiki. Dalam tataran interaksi desa dan warga, misalnya, Badan Perwakilan Desa semestinya lebih optimal dan bukan dipilih dari orang-orang dekat kepala desa.
Sementara dalam hubungan desa dengan supradesa, seperti pemerintah kabupaten, diusulkan ada pendekatan asimetris. Desa yang masuk kategori unggul dan mandiri bisa mendapatkan kelonggaran dalam pengelolaan desa. Sebaliknya, untuk desa-desa yang masih tertinggal, peran pemerintah kabupaten harus besar untuk memberdayakan desa.
Dengan ini, kata Herman, barulah tagline”Indonesia Membangun dari Desa” sungguh diupayakan. Sebab, pilar-pilar pelayanan publik di desa diperkuat. Sebaliknya, sekadar memperpanjang masa jabatan kepala desa dan menambah anggaran desa menunjukkan tagline”Membangun dari Desa” hanya omong kosong.