Berbelit-belit Beri Keterangan, Hakim Sebut Saksi Kasus BTS 4G bagai ”Belut”
Menurut ketua majelis hakim, adanya pihak-pihak yang nekat untuk mengambil pekerjaan pembangunan menara BTS 4G juga menjadi sumber masalah. Ia mengibaratkan tindakan nekat sebagai ”hidup nekat mati muda”.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menyebut salah seorang saksi sebagai ”belut” karena dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Seorang saksi yang mengaku hanya sebagai investor perusahaan konsultan di proyek pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G ternyata juga bertindak sebagai perusahaan rekanan atau subkontraktor dalam proyek tersebut.
”Ealah, belut-belut. Ini asal protes saja, beda dengan (keterangan sebagai) investor tadi. Kalau terus terang dari tadi kan aman-aman saja. Saudara kan tidak terus terang,” kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Fahzal mengatakan ungkapan tersebut ketika jaksa penuntut umum bertanya tentang keterkaitan saksi bernama Lukas Torang Junior Hutagalung (51). Ketika diperiksa majelis hakim, saksi Lukas mengaku sebagai investor sebuah perusahaan, yakni PT Paradita Infra Nusantara, yang bertindak sebagai konsultan dalam proyek pembangunan BTS 4G.
Lukas berinvestasi ke PT Paradita Infra Nusantara setelah mengetahui perusahaan tersebut mendapatkan kontrak pekerjaan konsultan dari Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ia dua kali menyetor modal, yakni Rp 3,5 miliar untuk tahun 2021 dan Rp 5 miliar untuk tahun 2022. Dari situ, selain modalnya kembali, Lukas mendapatkan keuntungan berupa bagi hasil Rp 3,5 miliar dan Rp 5 miliar.
Ketika ditanya hakim, Lukas mengaku mengenal nama-nama pihak yang kini duduk sebagai terdakwa dalam kasus yang sama, seperti Galumbang Menak Simanjuntak, Anang Achmad Latif, dan Irwan Hermawan. Lukas menyebut mereka sebagai teman sepermainan. Bahkan, Lukas pernah memberikan pinjaman kepada PT Telekomunikasi Mandiri Sejahtera (PT TMS) yang kemudian dimasukkan sebagai modal PT TMS ke PT Triple E. Adapun pemilik PT TMS adalah keluarga Irwan Hermawan.
Ketika ditanya tentang keberadaan PT Mangunjaya Eco Dynamic, Lukas mengatakan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan rekanan atau subkontraktor PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (PT IBS), salah satu konsorsium dalam proyek BTS 4G. Ketika ditanya lebih jauh, ternyata Lukas tidak hanya berperan sebagai investor bagi PT Mangunjaya Eco Dynamic, tetapi juga bertindak sebagai kuasa direksi perusahaan tersebut dalam proyek BTS 4G. Menurut Lukas, hal itu dilakukan agar investasi yang ditanamkan tidak digunakan untuk keperluan lain.
”Gara-gara saudara memberikan keterangan yang tidak jujur di awal tadi, jadinya panjang-panjang kan,” kata Ketua Majelis Hakim.
”Yang tidak jujur yang bagian mana, Yang Mulia?” kata Lukas.
”Tadi itu lho, saudara mengatakan tidak tahu apa-apa, cuma investasi aja. Tapi ternyata saudara ikut di dalam proyek sebagai subkontraktor. Apakah saudara jujur keterangan saudara itu?” kata Ketua Majelis Hakim.
”Maaf Yang Mulia, tetapi penjelasan tentang pekerjaan di konsultan, Pak,” kata Lukas.
”Itu keterangan saudara tadi, setor uang saja enggak ikut ke dalam bermain. Tapi saudara ikut tanda tangan? Itu keteranganmu benar atau tidak?” kata Ketua Majelis Hakim kembali.
”Benar, Yang Mulia,” jawab Lukas.
”Benar apanya?” kata Ketua Majelis Hakim.
”Untuk kegiatan konsultan saya hanya sebagai investor, untuk kegiatan subkontraktor, saya tanda tangan kontrak,” jawab Lukas.
”Nah, itu sama saja, kan, cuma berdalih-dalih saja saudara itu. Jadi panjang akhirnya. Sudah,” kata Ketua Majelis Hakim.
Memaksakan diri
Di dalam pemeriksaan terhadap Sekretaris Jenderal Kemenkominfo Mira Tayyiba (50), Mira mengungkapkan, dalam proses perencanaan pembangunan BTS berdasarkan dokumen pertemuan dan surat, tampak adanya upaya untuk menambah anggaran untuk Bakti. Hal itu tampak dari adanya kenaikan anggaran, penambahan target lokasi pembangunan menara BTS, perubahan model layanan dari sewa layanan menjadi pembangunan infrastruktur.
Padahal, Bakti Kemekominfo telah menyampaikan di awal 2020 bahwa pihaknya hanya mampu membangun menara BTS 4G paling banyak di 2.250 lokasi dan itu pun masih belum aktif. Sementara untuk yang sudah aktif (on air), paling banyak hanya di 500 lokasi. ”Kami melihat adanya penambahan ini semua, ini yang menjadi permasalahan yang kemudian terjadi di 2021,” kata Mira.
Menurut Ketua Majelis Hakim, adanya pihak-pihak yang nekat untuk mengambil pekerjaan pembangunan menara BTS 4G juga menjadi sumber masalah. Ia mengibaratkan tindakan nekat sebagai ”hidup nekat mati muda”. Yang terjadi kemudian adalah pekerjaan utama dari penyedia jasa malah dialihkan ke perusahaan rekanan, bahkan pekerjaan itu oleh perusahaan rekanan dialihkan ke perusahaan rekanan lain.
Proyek semakin tidak jelas karena pemenang kontrak mengalihkan atau membeli perlengkapan BTS tidak langsung ke produsen, tetapi ke sebuah koperasi yang dikelola Bakti Kemenkominfo. ”Itulah hal-hal yang menjadi pertanyaan besar kenapa proyek ini gagal. Jadi tidak hanya karena masalah kahar, masalah Covid-19, tetapi tergantung manusianya saja,” kata Ketua Majelis Hakim.