Sejumlah Pasal Karet di UU ITE Akan Dicabut Saat KUHP Baru Berlaku
Sejumlah pasal karet dalam UU ITE tak lagi berlaku setelah KUHP baru berlaku pada Januari 2026.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengatakan, setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru berlaku pada Januari 2026, sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik akan dicabut. Namun, Koalisi Serius Revisi UU ITE berharap pembentuk undang-undang fokus pada penghapusan pasal karet lainnya karena regulasi itu seharusnya untuk mengatur tata kelola internet, bukan mengekang kebebasan sipil.
Eddy OS Hiariej saat diskusi ”Membedah Revisi UU ITE 2.0” yang digelar Amnesty International Indonesia, Senin (11/9/2023), mengatakan, saat rapat pembahasan revisi UU ITE, pihaknya diundang Komisi I DPR untuk menjelaskan penyelarasan pasal-pasal UU ITE dengan ketentuan perundangan lainnya. Pasal 27 dan 28 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang UU ITE yang mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian tidak lagi berlaku karena dicabut.
”Hal yang menjadi kekhawatiran di Komisi I DPR adalah jika terjadi kekosongan hukum selama masa transisi tahun 2026. Padahal, menurut pemerintah tidak ada kekosongan hukum karena ada UU lainnya seperti KUHP lama, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga UU Pornografi,” terang Eddy.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu menyebut, saat rapat bersama DPR itu juga muncul permintaan dari Komisi I agar hal itu dimasukkan dalam draf terbaru. Perubahan itu, lanjutnya, sudah dirumuskan oleh pemerintah tetapi belum dibahas kembali. Untuk pembahasan revisi UU ITE, leading sector-nyaadalah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemenkumham hanya dilibatkan dalam pembahasan untuk memastikan revisi UU itu tidak bertentangan satu sama lain.
”Jangan lagi ada perumusan pasal-pasal yang sama yang telah diatur di KUHP baru,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu mengatakan, pasal-pasal yang sudah diatur ketentuannya dalam KUHP baru seharusnya tidak lagi dimasukkan di revisi UU ITE. Apalagi, jika substansi norma yang diatur di pasal itu masih bermasalah. Ini tidak sesuai dengan semangat menjaga kebebasan sipil, dan demokratisasi. Ia mengkritik rumusan pasal di revisi UU ITE masih buruk sehingga pengaturan tindak pidana konvensional masih lebih bagus saat dibahas di KUHP.
”Beberapa rumusan pasal seperti ujaran kebencian itu lebih bagus di KUHP baru. Urusan pidana itu biarlah diatur di KUHP saja. UU ITE penting untuk mengatur tata kelola internet dan semangat mengatur transaksi elektronik saja,” kata Erasmus.
Menurut dia, kejahatan konvensional yang sudah ada sebelum perkembangan komputasi seperti tindak pidana kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan, dan ujaran kebencian tidak perlu lagi diatur di revisi UU ITE. Sebab, hal itu sudah ada di UU lain, seperti KUHP baru, UU TPKS, dan UU Pornografi. Yang lebih penting diatur di UU ITE adalah kejahatan yang muncul karena adanya teknologi komputer seperti mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses sistem informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
Beberapa rumusan pasal seperti ujaran kebencian itu lebih bagus di KUHP baru. Urusan pidana itu biarlah diatur di KUHP saja. UU ITE penting untuk mengatur tata kelola internet dan semangat mengatur transaksi elektronik saja
”Revisi UU ITE harus berfokus pada transaksi elektronik dan tata kelola internet. Sebab, selama ini kita tahu banyak jatuh korban kriminalisasi karena selain substansi pasalnya yang tidak jelas, implementasinya pun juga buruk,” terangnya.
Pembahasan tertutup
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti soal tertutupnya pembahasan revisi UU ITE tersebut di DPR. Koalisi masyarakat sipil berharap pembahasan dilakukan secara terbuka dengan mengedepankan prinsip partisipasi masyarakat yang bemakna. Partisipasi masyarakat yang bermakna penting dilakukan agar aturan mendapatkan legitimasi di masyarakat. Sehingga, ketika masyarakat terdampak pada aturan itu bisa mengerti dan memahami dampak dari diterapkannya undang-undang tersebut.
”Banyak yang telah menjadi korban pasal multitafsir UU ITE. Jangan sampai pembahasan kali ini tertutup. Masukan dan saran dari masyarakat sipil ataupun profesional harus diserap pemerintah,” kata Usman.
Wamenkumham Eddy Hiariej sepakat bahwa pembahasan UU memang harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Permintaan untuk pembahasan revisi UU ITE secara terbuka itu akan disampaikan kepada Komisi I. Ia berharap DPR selaku inisiator RUU tersebut membuka komunikasi dan partisipasi publik terhadap masyarakat.
Sebelumnya diberitakan, DPR menargetkan pembahasan substansi materi revisi UU ITE selesai pada akhir September ini. Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan masih ada sejumlah pasal yang harus dibahas, seperti perjudian dan pornografi. Belum ada titik temu antara DPR dan pemerintah terkait isu tersebut. Meskipun demikian, ia memprediksi substansi materi revisi UU ITE akan selesai akhir September ini (Kompas.id, 8/9/2023).