Presiden Instruksikan Terobosan Luar Biasa untuk Perang Lawan Narkoba
Penanganan narkotika akan dilakukan secara ”extraordinary”, sama dengan pelaksanaan penanganan terhadap inflasi dan ”stunting”. Penanganan narkoba akan difokuskan di total 10 daerah, salah satunya Sumatera Utara.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka untuk membahas penanganan masalah narkoba di Tanah Air. Peningkatan prevalensi kasus penyalahgunaan narkoba menyebabkan lembaga pemasyarakatan atau lapas menjadi kelebihan kapasitas. Penanganan narkoba pun akan dilakukan secara exstraordinary atau luar biasa.
Dalam rapat tersebut, Presiden mendorong jajarannya untuk mencari sebuah langkah terobosan dalam mengatasi penyalahgunaan narkoba. ”Pada siang hari ini saya ingin mengajak kita semua untuk mencari sebuah lompatan terobosan agar kejahatan luar biasa ini bisa kita kurangi, kita selesaikan dengan baik,” kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (11/9/2023).
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat peningkatan prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2021 sebesar 0,15 persen sehingga menjadi 1,95 persen atau 3,66 juta jiwa. ”Hal ini juga menyebabkan over kapasitas di lapas kita,” tambah Presiden Jokowi.
Untuk itu, Presiden meminta seluruh jajarannya melakukan penegakan hukum yang tegas dan memberikan efek jera kepada para pelaku. ”Karena kita tahu juga banyak oknum aparat penegak hukum kita yang juga terlibat di jalurnya, ini menjadi catatan dan tindakan tegas harus diberikan kepada mereka,” ujarnya.
Terkait dengan rehabilitasi bagi para pengguna narkoba, Presiden mengapresiasi usulan terkait penggunaan Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) sebagai salah satu tempat untuk rehabilitasi. Hal ini terutama karena Lapas juga sudah penuh. Meski demikian, Presiden menyampaikan bahwa penggunaan tempat tersebut masih harus dikalkulasi secara matang.
”Pada siang hari ini saya ingin mengajak kita semua untuk mencari sebuah lompatan terobosan agar kejahatan luar biasa ini bisa kita kurangi, kita selesaikan dengan baik. ”
”Di setiap Kodam, saya kira punya kapasitas kurang lebih 500-an yang bisa direhab di situ, tapi nanti kita bicarakan juga anggarannya seperti apa,” ujar Presiden.
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait penanganan narkoba di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Pada rapat tersebut, Presiden Jokowi juga menekankan pentingnya mencegah penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. Presiden meminta jajarannya untuk fokus dalam menyelesaikan masalah penyelundupan narkoba di sejumlah provinsi dengan kasus narkoba tertinggi.
”Ini saya kira agar kita fokus, saya nanti juga memutuskan kita kerjakan tidak di semua provinsi dulu, mungkin lima besar, provinsi lima besar yang narkobanya paling tinggi kita fokuskan di situ atau sepuluh besar nanti kita putuskan setelah berbicara di sini. ”
”Ini saya kira agar kita fokus, saya nanti juga memutuskan kita kerjakan tidak di semua provinsi dulu, mungkin lima besar, provinsi lima besar yang narkobanya paling tinggi kita fokuskan di situ atau sepuluh besar nanti kita putuskan setelah berbicara di sini,” kata Presiden.
Ketika memberikan keterangan pers di Kantor Presiden seusai ratas yang dipimpin Presiden Jokowi, Kepala BNN Petrus Golose menegaskan bahwa Presiden sudah memberikan arahan ke jajaran di bawahnya. ”Penanganan narkotika akan dilakukan secara extraordinary, sama dengan pelaksanaan penanganan terhadap inflasi dan stunting,” ujar Petrus dengan didampingi Kapolda Sumatera Utara dan Pangdam Sumut.
Para menteri mengikuti rapat terbatas terkait penanganan narkoba di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Wilayah Prioritas
Salah satu daerah yang menjadi prioritas dalam penanganan narkoba ini adalah Sumut yang memiliki jumlah tahanan yang sangat tinggi di Lapas. Dengan demikian, jumlah pengguna narkoba yang harus direhabilitasi di Sumut juga sangat banyak. Selain Sumut, penanganan narkoba difokuskan ke 9 daerah lain sehingga total 10 daerah. ”Pelaksanaan ini dilaksanakan extraordinary, tetap dalam bingkai penegakan hukum kemudian pencegahan dan rehabilitasi yang sesuai UU,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Eliasta Meliala, menegaskan bahwa peningkatan prevalensi pengguna narkoba jangan direspons dengan penegakan hukum dan jangan diakhiri dengan langkah inkapasitasi terhadap pengguna. Jika direspons dengan penegakan hukum, maka melebihi kapasitas Lapas dan pemburukan kondisi para pengguna justru akan terjadi.
”Bukankah adiksi narkoba sekarang disamakan dengan pandemi. Makin meluas pandemi, ya, langkah-langkah menghentikannya secara kesehatan juga makin kuat. Seiring dengan itu, langkah-langkah hukum terhadap pengedar ataupun aparat yang terlibat juga makin kuat. ”
Peningkatan prevalensi pengguna narkoba seharusnya diikuti peningkatan kegiatan rehabilitasi. ”Bukankah adiksi narkoba sekarang disamakan dengan pandemi. Makin meluas pandemi, ya, langkah-langkah menghentikannya secara kesehatan juga makin kuat. Seiring dengan itu, langkah-langkah hukum terhadap pengedar ataupun aparat yang terlibat juga makin kuat,” kata Adrianus.
Menurut Adrianus, rencana penggunaan Rindam sebagai lokasi rehabilitasi bisa saja dilakukan. Namun, rehabilitasi di Rindam ini harus dilakukan secara sistematis. Selain itu harus dilandasi dengan penjelasan ilmiah sehingga pengguna narkoba benar-benar bisa terehabilitasi dengan optimal.
Psikolog forensik, Reza Indragiri, justru menyoroti belum efektifnya rehabilitasi bagi pengguna narkoba di Indonesia. Pemerintah diminta lebih fokus dalam langkah mencegah penyebaran penyalahgunaan ke masyarakat yang lebih luas. ”Sejumlah kasus kekambuhan yang dialami sekian banyak tokoh justru memberikan kesan bahwa rehabilitasi tidak efektif mengubah tabiat dan perilaku pengguna,” ujar Reza.
Berbeda dengan Adrianus, Reza justru berpendapat bahwa langkah inkapasitasi perlu dilakukan. ”Incapacitation menjadi satu-satunya filosofi penghukuman yang masuk akal, yakni penjahat harus dipisahkan dari calon penjahat. Masyarakat yang sehat harus dipagari dari masyarakat yang sakit. Penyalahguna masuk penjara, orang bersih bebas merdeka,” tambahnya.
Bagi pengedar, pemerintah tak perlu melakukan pendekatan rehabilitatif dan langsung melakukan hukuman punitif. ”Lapas penuh, itu narasi yang berorientasi pada diri pelaku (narapidana). Saya anggap kurang fair jika lagi-lagi masyarakat (calon korban) justru dinomorsekiankan saban kali pemerintah bicara tentang bagaimana memperlakukan narapidana,” kata Reza. (WKM/INA)