Ketua MPR Bambang Soesatyo menuturkan, jika terjadi situasi genting yang memungkinkan pemilu harus ditunda pelaksanaannya, perlu dipikirkan terobosan hukumnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan bahwa yang terpenting dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara bukan soal mengubah aturan, tetapi implementasinya. Indonesia sudah empat kali mengamendemen konstitusi. Namun, hal itu belum terbukti membenahi masalah bangsa yang beragam.
”Jangan pernah bermimpi bahwa (permasalahan) negara ini akan selesai dengan mengubah peraturan. Karena masalah kita sebenarnya bukan di peraturan. Tetapi moralitas, integritas, konsistensi, kejujuran, keberanian,” kata Mahfud MD dalam pidato kunci di acara peluncuran buku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo di Jakarta, Minggu (10/9/2023).
Dua buku yang diluncurkan bertepatan dengan hari ulang tahun yang ke-61 Bambang itu berjudul PPHN Menuju Indonesia Emas 2045 dan Bambang Soesatyo News Maker: Satu Dasawarsa The Politician Senayan. Buku pertama dibuat dari hasil disertasi pendidikan doktoralnya, sedangkan buku kedua adalah testimoni dari wartawan yang meliput kegiatannya selama bertugas di DPR dan di MPR.
Mahfud merespons lontaran gagasan dari Bambang Soesatyo terkait pentingnya amendemen konstitusi dilakukan sebagai pintu darurat jika terjadi situasi yang membuat pemilu tidak bisa dilaksanakan sesuai jadwal.
Menurut Mahfud, ide mengatur situasi darurat yang bisa menunda pemilu, maupun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dibahas dalam buku Bambang Soesatyo adalah sebuah keniscayaan. Hal itu mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Tetapi hal itu bukanlah satu-satunya.
”Kehidupan bernegara memang seperti itu, selalu terjadi proses penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan. Ada kebutuhan baru atau eksperimen. Namun, jika perubahan itu belum dilakukan resmi, yang sedang berlaku itu harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen,” tegasnya.
Mahfud juga meminta agar format PPHN apakah perlu dengan amendemen konstitusi atau cukup dengan payung hukum undang-undang, perlu didiskusikan intensif. Sebab, tahun 2002, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pernah dihapus dan digantikan dengan Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Isi dari peraturan itu sama.
Dia kembali menekankan bahwa permasalahan bangsa bukanlah soal mengubah peraturan tetapi moralitas, keberanian, dan konsistensi dalam menghadapi persoalan. Indonesia sudah mengamendemen konstitusi empat kali. Namun, hal itu belum terbukti membenahi masalah bangsa yang beragam.
Situasi Genting
Bambang justru menilai, selama ini UUD 1945 hanya memuat dan menulis masa jabatan anggota DPR, DPD, MPR dan pemerintah selama lima tahun. Jika terjadi situasi genting seperti force majeure yang memungkinkan pemilu harus ditunda pelaksanaannya, perlu dipikirkan terobosan hukumnya.
Aturan itu, kata dia, penting untuk memberikan kepastian hukum bagaimana mengisi kekosongan masa jabatan setelah Presiden dan Wakil Presiden tak lagi menjabat. Sebab, menteri triumvirat yang berwenang menggantikan Presiden ketika terjadi kekosongan kekuasaan, masa jabatannya juga habis mengikuti rezim pemerintah.
Dengan latar belakang itu, politikus Partai Golkar itu menilai harus ada pintu darurat pada konstitusi yang mengatur itu. Mitigasi apabila pemilu terpaksa harus diurungkan karena bencana alam, maupun situasi kedaruratannya harus diatur di konstitusi.
Di sisi lain, dia juga mengingatkan pentingnya PPHN. PPHN sebagaimana GBHN yang dibuat di rezim Orde Baru. PPHN penting dibuat untuk meluruskan kembali arah reformasi dan demokrasi. Menurut Bambang, saat ini demokrasi Indonesia sudah terjebak pada demokrasi Nawar Piro Wani Piro (NPWP).
”Buku ini merupakan kegalauan saya karena Indonesia tidak punya rencana jangka panjang dengan target-target yang jelas. Negara ini juga tidak punya pintu darurat jika ada sesuatu hal yang terjadi. Apakah demokrasi di Indonesia akan dibiarkan seperti ini?,” jelas Bambang.
Sementara itu, politisi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, situasi kedaruratan memang harus diberi jalan dalam konstitusi. Ia sepakat dengan pandangan ilmiah Bambang. Jika sebelumnya diskursus itu dikritik tajam publik karena dianggap ditunggangi agenda gelap perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Sekarang, kata dia, hal tersebut sudah tidak lagi relevan.
”Kalau ini kami pikirkan sebagai diskursus di ruang publik menurut saya sudah saatnya kita pikirkan jalan keluar untuk situasi kedaruratan yang terjadi atau mungkin terjadi di negara kita. Harus ada pengaturan khusus dalam konstitusi,” kata Arsul.