Para pendiri bangsa tidak hanya sekadar melukiskan bahwa Indonesia itu beraneka ragam. Lebih itu dari itu, para pendiri bangsa juga sadar bahwa keanekaragaman itu harus dijamin oleh keadilan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Kebinekaan disadari menjadi kekayaan tak ternilai dari bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun, kesadaran mengenai keberagaman itu semestinya tidak menjadi jargon belaka, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia tak hanya memiliki beragam suku, tetapi juga bahasa dan budaya. Selama 78 tahun, Indonesia yang memiliki 714 suku dengan lebih dari 1.000 bahasa tetap bisa bersatu karena bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan tetap terjaga karena masyarakat dengan beragam latar belakang suku dan budaya saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, kebinekaan bukan sekadar pentingnya warga bangsa saling menghormati meski berbeda latar belakang. ”Lebih dari itu, kebinekaan harus bisa memastikan agar struktur yang ada bisa membersamai yang papa, yang tertindas, terpinggirkan dan tersudutkan oleh struktur sosial, ekonomi bahkan struktur hukum,” kata Usman dalam dialog kebangsaan ”Spirit Bhineka Tunggal dan Suksesi Kepemimpinan Nasional” yang diselenggarakan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-78 Republik Indonesia dan HUT Ke-61 TVRI, akhir Agustus lalu.
Usman menjelaskan, kebinekaan memerlukan keadilan sosial dan hak asasi manusia sebagai nyawa. Dalam konteks suksesi kepemimpinan ke depan, hal yang penting dilakukan adalah mengingatkan pemimpin agar memikirkan keadilan sosial.
Ketua Dewan Pers 2010-2016, Bagir Manan, sependapat dengan Usman. Menurut Bagir, para pendiri bangsa tidak hanya sekadar melukiskan bahwa Indonesia itu beraneka ragam. Lebih itu dari itu, para pendiri bangsa juga sadar bahwa keanekaragaman itu harus dijamin oleh keadilan. Sebab, esensi dari kebinekaan adalah untuk keadilan.
”Kalau masih membicarakan masalah kebangsaan, mengapa kita tidak memusatkan pada bagaimana mengisi ide, bagaimana rakyat Indonesia menjadi sejahtera,” ujar Bagir.
Mengutip kata-kata Bung Karno, Rektor Universitas Multimedia Nusantara Ninok Leksono mengatakan, kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju kemakmuran. Namun, hal itu dirasa masih jauh dari harapan karena kesenjangan terlihat nyata di kehidupan sehari-hari.
Kalau masih membicarakan masalah kebangsaan, mengapa kita tidak memusatkan pada bagaimana mengisi ide, bagaimana rakyat Indonesia menjadi sejahtera.
Menurut Ninok, tujuan kemakmuran tersebut tidak tercapai karena tidak adanya konsensus bersama sebagai bangsa. Mengambil contoh India yang berhasil mendaratkan wahana ruang angkasanya, Chandrayaan-3 di dekat kutub selatan Bulan meski masih memiliki banyak penduduk miskin, Ninok menekankan pentingnya konsensus bersama sebagai bangsa.
”Dulu menyebut ada proses inovasi dan nilai tambah tapi kita tidak pernah sampai pada itu. Jadi mohon ke depan pemimpin-pemimpin kita menyadari hal ini selain isu-isu yang basic selain pembangunan investasi sumber daya manusia,” harap Ninok.
Menurut sutradara Garin Nugroho, cita-cita pendiri bangsa tidak berjalan karena warga negara ditempatkan sebagai yang disebutnya sebagai warga konsumen, warga penonton, warga diva dan warga algoritma. Dengan demikian, pertimbangan politik, ekonomi, pendidikan, dipertimbangkan dalam perspektif warga tersebut, yakni sebagai konsumen atau penonton.
Dalam kondisi itu, kata Garin, seorang pemimpin harus bisa memadamkan perspektif itu, bukan malah mendompleng untuk kemenangan politik atau menciptakan keadilan yang semu. Untuk itu diperlukan keberanian seorang pemimpin untuk berani membangun nilai-nilai publik yang memakan waktu panjang dan bertahap serta secara ekonomi tidak menghasilkan keuntungan.
”Kita harus melihat lagi bagaimana kita membangun nilai-nilai masyarakat sipil yang sehat dan produktif, termasuk membangun komunikasi publik yang diremehkan karena tidak menghasilkan uang. Padahal, modal sosial kita besar dan itu yang menghidupkan bangsa ini,” kata Garin.
Terkait dengan situasi kekinian bangsa ini, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid berpandangan, saat ini ruang perjumpaan untuk menggagas keindonesiaan terasa sangat parsial. Sementara, saat ini perspektif mengenai mayoritas dan minoritas semakin meningkat di level daerah.
Seiring dengan itu, terjadi pergeseran pandangan dalam keberagamaan masyarakat Indonesia. Jika dulu keberagamaan bersifat substantif dan inklusif, kini menjadi eksklusif. Tidak hanya itu, ajaran agama justru diupayakan untuk diformalkan.
”Indonesia cuma gagasan. Maka, kalau kebinekaannya itu diseragamkan, maka pasti hilang nadinya Indonesia,” kata Alissa.
Komitmen pemimpin
Honorary Chairman Dewan Pimpinan Pusat Ikadin Todung Mulya Lubis menggarisbawahi bahwa kemajemukan Indonesia merupakan harga mati dan tidak bisa dikompromikan. Dalam konteks suksesi kepemimpinan, maka kepemimpinan nasional ke depan harus berkomitmen terhadap kemajemukan. Hal itu berarti seorang pemimpin tidak bisa memiliki cacat terkait isu sektarian.
Senada dengan pembicara lain, Todung juga mengingatkan bahwa kemajemukan menjadi sulit dijaga dalam situasi kesenjangan yang ekstrem. Oleh karena itu, dia mendorong agar negara kesejahteraan bisa diwujudkan.
Dalam kesempatan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah selama beberapa tahun terakhir berupaya melakukan banyak hal terkait isu keadilan sosial. Menurut Prastowo, situasi paradoks terkait hal itu adalah ketika pemerintah berupaya mengejar pertumbuhan, maka terdapat pihak yang dikorbankan di sana.
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di sekitar 5 persen selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Prastowo menyampaikan, munculnya kesadaran bersama bahwa pertumbuhan inklusif menjadi bagian yang lebih penting. Prastowo memberikan contoh mengenai pengalaman Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang telah memunculkan solidaritas bersama dan memaksa untuk mengakselerasi berbagai kebijakan meski di sisi lain memperlihatkan kelemahan Indonesia di sektor kesehatan.
”Namun, pertanyaannya, apakah kita bisa mentransformasikannya menjadi modal sosial atau sekadar kebetulan yang hadir lalu berlalu begitu saja. Menurut saya, lebih penting memupuk modal sosial ini menjadi instrumen transformasi ke depan,” ujar Prastowo.
Saling menghormati dan menghargai antarsesama warga bangsa dari beragam latar belakang penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, menjaga kebinekaan juga mesti diwujudkan dengan langkah nyata mewujudkan keadilan sosial. Persatuan dalam keberagaman akan terasa kering jika tak disertai dengan keadilan dan kemakmuran bersama rakyat Indonesia.