Kalangan sejarawan hingga aktivis HAM menilai upaya nonyudisial bagi korban pelanggaran HAM berat oleh pemerintah harus diikuti penulisan ulang sejarah RI. Tanpa itu, penggelapan kebenaran masih berlangsung.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah sejarawan, pendidik, aktivis, dan pegiat hak asasi manusia meminta negara untuk menulis ulang sejarah resmi negeri ini tanpa menutupi adanya kekerasan politik di masa lalu dan penyimpangan kekuasaan negara. Kebenaran atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu perlu diungkapkan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab konstitusional pemerintah untuk melakukannya.
Selain itu, penulisan ulang sejarah merupakan salah satu rekomendasi dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk oleh pemerintah.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, dalam jumpa pers untuk menyikapi pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM berat masa lalu, Selasa (29/8/2023), mengungkapkan, ada urgensi mengapa pelurusan sejarah perlu dilakukan saat ini. Ini juga bagian dari rangkaian peristiwa yang dimulai dari pembentukan tim PPHAM, kemudian pengakuan yang dinyatakan Presiden terkait 12 peristiwa pelanggaran HAM berat pada Januari lalu, yang diikuti dengan penerbitan instruksi presiden (inpres) terkait pelaksanaan dan pemantauan pelaksaan rekomendasi PPHAM.
”Apa yang terjadi di bulan Januari lalu dengan adanya pengakuan dan penyesalan dari negara itu seperti secercah sinar yang masuk yang kemungkinan peluang itu akan menutup lagi. Belum pernah dalam sejarah 50 tahun terakhir di Indonesia, pemerintah mengakui secara terbuka,” kata Marzuki.
Kekhawatiran bahwa tidak ada tindak lanjut pengungkapan kebenaran terkait dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut membuat urgensi untuk penulisan ulang sejarah RI kian terasa. Ada celah hingga bulan Januari atau Februari 2024 untuk melakukan hal tersebut. Tanpa adanya penulisan ulang sejarah, maka penggelapan kebenaran masih berlangsung.
”Ada kemungkinan kebenaran akan ditutup kembali oleh pemerintah mendatang, yang harus menangani masalah yang timbul akibat pilpres,” katanya.
Kekhawatiran bahwa tidak ada tindak lanjut pengungkapan kebenaran terkait dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut membuat urgensi untuk penulisan ulang sejarah RI kian terasa.
Namun, keinginan adanya penulisan sejarah ulang itu tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, pemerintah tidak akan mengeluarkan sejarah versi resmi pemerintah. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menyediakan dana untuk penelitian sejarah dan mempersilakan setiap orang untuk menuliskannya. Dengan demikian, tidak menjadi persoalan apabila nantinya muncul berbagai versi terhadap peristiwa bersejarah seperti tragedi 1965.
”Saya tidak setuju negara menulis sejarah. Karena ganti pemerintah sejarah beda-beda kok. Oleh karena itu, negara akan menyediakan penelitian untuk penulisan sejarah. Tulis. Siapa saja. Jangan satu pihak,” kata Mahfud dalam pertemuan dengan para eksil peristiwa 1965 di Amsterdam, Belanda, Minggu (27/8/2023).
Semestinya negara menulis sejarah secara resmi
Sejarawan Asvi Warman Adam tidak sependapat dengan Mahfud. Menurut dia, negara harus menulis sejarah secara resmi; sejarah nasional. Pemerintah Orde Baru pun menuliskan sejarah nasional Indonesia yang menjadi pegangan bagi para guru mengajar atau pegangan penulisan bahan ajar di sekolah. ”Perbaikan dan penulisan ulang sejarah itu penting sehingga harus ditulis oleh negara karena itu menjadi pegangan pengajaran sejarah untuk masa mendatang,” katanya.
Adapun penulisan ulang atau revisi terhadap buku babon sejarah yang disusun Orde Baru, Sejarah Nasional Indonesia, perlu dilakukan pada beberapa jilid. Misalnya, untuk jilid 7 perlu dimasukkan berbagai versi tentang peristiwa 1965, kemudian jilid 8 ditambahkan dengan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diakui dan disesalkan oleh kepala negara.
”Mungkin tak hanya 12, tetapi ada kasus lain seperti peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Kuda Tuli (27 Juli 1996), peristiwa Timor Timur. Itu bisa dimasukkan. Saya beranggapan penambahan dua bab itu bisa dilakukan dalam waktu beberapa bulan,” ungkap Asvi.
Ratna Hapsari yang pernah bergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia mengaku menemukan banyak kesulitan ketika mulai mengajar sejarah, khususnya tentang masalah 1965. Sebab, pengajaran mata pelajaran sejarah tidak lepas dari kurikulum yang sudah memiliki batasan-batasan atau rambu-rambu mana yang boleh diajarkan dan mana yang tidak.
”Dengan kondisi seperti sekarang ini di mana media sosial sudah sedemikian terbuka, siswa mudah mengakses kebenaran di luar mata pelajaran. Ini jadi bikin dilema,” katanya.
Desak buka laporan PPHAM
Ia juga mendesak pemerintah untuk membuka laporan lengkap PPHAM yang diserahkan kepada Presiden pada Desember 2022. Selama ini yang dibuka ke publik hanyalah ringkasan (executive summary) lima halaman.
”Kita tahu bahwa Presiden mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tetapi tentang apa, bagaimana latar belakangnya, kejadiannya di mana, pelakunya siapa, tidak diketahui,” ujarnya.
Ia juga mengkritik pidato Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus lalu yang tidak lagi menyinggung tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Pertanyaannya, apakah penyelesaian kasus tersebut sudah tuntas, minimal pelaksanaan rekomendasi PPHAM.
Mendesak pemerintah untuk membuka laporan lengkap PPHAM yang diserahkan kepada Presiden pada Desember 2022.
Menanggung beban masa lalu untuk kepentingan politik
Direktur Amnesty International Usman Hamid pesimistis bahwa negara akan mengungkap kebenaran dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut dia, Presiden Jokowi memang bukan bagian dari masa lalu, melainkan ia menanggung beban masa lalu untuk memenangkan kepentingan politiknya. Itu dilakukan antara lain dengan berkompromi dengan menempatkan orang-orang yang memiliki catatan dalam kasus-kasus pelanggaran masa lalu di dalam pemerintahannya.
”Sebenarnya kita patut mempertanyakan tingkat kesungguhan dan ketulusan dari pengakuan dan penyesalan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu,” katanya.
Faktor lain yang menambah rasa pesimistis akan terkuaknya kebenaran sejarah di masa pemerintahan Jokowi adalah terkait dengan waktu. ”Kalau presiden bersungguh-sungguh, makai a harus menyediakan waktu sejak awal tahun pemerintahan. Namun, waktu itu tahun pertama pemerintah memprioritaskan pemilihan ekonomi, lalu tahun kedua, tahun ketiga, dan tahun keempat (baru dibicarakan lagi). Menjelang pemilu. Suka tidak suka itu membuktikan bahwa isu ini jadi komoditas politik,” katanya.