Persatuan dalam keberagaman seperti ditunjukkan pada peringatan HUT Ke-78 RI di Istana Merdeka, Jakarta, merupakan kekuatan besar Indonesia sekaligus fondasi untuk membangun bangsa.
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia dalam kurun waktu 78 tahun telah berhasil melewati tantangan dan cobaan berkat semangat gotong royong yang merupakan sifat dasar bangsa ini. Persatuan serta kekompakan dalam keberagaman juga menjadi kekuatan besar untuk melewati berbagai tantangan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan, menjadi bangsa yang maju, adil, dan sejahtera.
Kekompakan dalam keberagaman setidaknya terlihat dalam Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Ke-78 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2023). Seluruh peserta upacara mengenakan pakaian adat yang beragam dari daerah-daerah di Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengenakan Ageman Songkok Sikepan Ageng, pakaian khas Kasunanan Surakarta. Adapun Ibu Negara, Nyonya Iriana, mengenakan pakaian adat Bali. Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Nyonya Wury Estu Handayani mengenakan baju adat Koto Gadang khas Sumatera Barat.
Presiden mengungkapkan, keberagaman seperti yang ditunjukkan para peserta upacara merupakan kekuatan Indonesia. ”Seperti yang kita lihat di Istana, keberagaman dipadukan dengan beraneka ragam, bermacam-macam baju adat, yang kita pakai, ya, inilah sebetulnya kekuatan negara kita. Kekuatan Indonesia, ya, di keberagaman yang bisa dipersatukan. Jadi, kalau kita bersatu, solid, kompak, itulah kekuatan besar Indonesia,” papar Presiden.
Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi tahun ini tak hanya dihadiri pejabat dan tokoh bangsa, tetapi juga masyarakat umum. Para tokoh yang hadir di antaranya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri serta mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Jusuf Kalla, dan Boediono.
Bertindak selaku komandan upacara pengibaran bendera pusaka Kolonel Arm Joko Setiyo Kurniawan, Danmen Armed 2/PY/2 Kostrad. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo membacakan naskah proklamasi.
Kekuatan Indonesia, ya, di keberagaman yang bisa dipersatukan. Jadi, kalau kita bersatu, solid, kompak, itulah kekuatan besar Indonesia
Melalui akun resmi Instagram-nya, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa sudah 78 tahun para pejuang dan pendiri bangsa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan dengan cita-cita yang tak berubah sampai hari ini. Cita-cita dimaksud adalah menjadikan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
”Dalam rentang 78 tahun itu, Indonesia melalui rupa-rupa tantangan dan cobaan yang dapat kita lewati berkat semangat gotong royong yang jadi sifat dasar bangsa ini. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Polusi budaya
Sebelumnya, saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (16/8) pagi, Presiden juga menyinggung pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, terutama di tengah perkembangan teknologi informasi. Menurut dia, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa Indonesia mulai hilang.
Hal itu terlihat dari caci maki yang disampaikan melalui media sosial. Kecenderungan itu memperlihatkan bahwa kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah, yang dia sebut sebagai polusi budaya.
Presiden bersyukur tidak semua ikut serta dalam polusi budaya. Di sisi lain, caci maki di media sosial justru membangkitkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas di ruang publik. Bersatu untuk menjaga mentalitas masyarakat sehingga Indonesia bisa tetap melangkah untuk bertransformasi menjadi negara maju.
Pesan soal pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman disampaikan pula oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani dalam pidato pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (16/8/2023) siang. Menurut dia, perbedaan di tengah masyarakat adalah hal alami.
Puan mengingatkan, berkaca dari sejarah, persatuan dan kesatuan adalah fondasi utama dalam membangun bangsa. Persatuan serta gotong royong terbukti menjadi modal penting untuk dapat keluar dari pandemi Covid-19. Tanpa persatuan rakyat, sulit bagi bangsa Indonesia mencapai kemajuan ke depan.
”Bangsa Indonesia hendaknya setia kepada sifat asalnya, yaitu bangsa yang berbeda-beda, tetapi dipersatukan oleh Pancasila, ojo pedhot oyot (jangan lupa pada asalmu),” katanya.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu juga menekankan, seluruh elemen bangsa hendaknya memahami kapan waktunya bertanding dan kembali bersanding. Perpecahan akibat perbedaan pilihan politik pada pemilu tidak seharusnya terjadi.
Demokrasi dan pemilu adalah alat yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Demokrasi juga bertujuan mewujudkan kehidupan rakyat yang bersatu dan tenteram.
Maka, lanjut Puan, penyelenggaraan Pemilu 2024 harus bisa mencapai tujuan tersebut. ”Tidak ada artinya kekuasaan apabila rakyat terbelah menjadi kepingan-kepingan sosial dengan penuh dendam, saling benci, saling dengki,” ucapnya.
Tak sekadar seremoni
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan agar perayaan HUT Ke-78 RI tidak berhenti pada hal-hal yang bersifat seremoni. Peringatan kemerdekaan hendaknya dibarengi dengan pemaknaan kembali nilai-nilai mendasar yang menjadi fondasi bangsa sehingga visi dan misi kebangsaan jelas arahnya serta tidak berbelok.
”Melindungi bangsa dan seluruh Tanah Air Indonesia, memajukan kehidupan, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia, semuanya harus menjadi kewajiban konstitusional. Jangan sampai ada satu warga bangsa dan Tanah Air yang kita abaikan hak-haknya,” katanya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyatakan, ulang tahun kemerdekaan harus dijadikan kesempatan untuk mengingatkan kembali bangsa dan negara ini tentang visi peradaban global yang dirancang para pendiri bangsa. Visi itu berupa komitmen menghapus penjajahan karena kemerdekaan adalah hak semua bangsa, seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
”Kemerdekaan sejatinya adalah tentang kontribusi Indonesia membangun peradaban global,” ujar Yahya.