Tidak Ada Artinya Kekuasaan apabila Rakyat Terbelah
”Tidak ada artinya kekuasaan apabila rakyat terbelah menjadi kepingan-kepingan sosial dengan penuh dendam, saling benci, saling dengki,” ujar Ketua DPR RI Puan Maharani.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat berkomitmen memberikan perhatian pada tahapan Pemilu 2024 yang telah berjalan. Hal itu dipandang penting untuk memastikan penyelenggaraan pesta demokrasi tidak berdampak pada perpecahan masyarakat akibat pilihan politik. Publik diminta tidak lupa pada akar sejarah dan identitas bangsa yang identik dengan persatuan dan gotong royong.
Saat menyampaikan pidato pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8/2023), Ketua DPR Puan Maharani menyinggung soal komitmen DPR untuk memberikan perhatian terhadap tahapan Pemilu 2024 yang telah dimulai sejak pertengahan 2023. Acara itu dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Para anggota DPR, DPD, MPR, serta para menteri Kabinet Indonesia Maju juga hadir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tak hanya itu, para ketua umum partai politik juga menghadiri agenda tersebut. Mereka antara lain Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono.
Puan mengatakan, demokrasi dan pemilu adalah alat yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Lebih dari itu, demokrasi juga bertujuan mewujudkan kehidupan rakyat yang bersatu dan tenteram. Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu 2024 harus bisa mencapai tujuan tersebut. ”Tidak ada artinya kekuasaan apabila rakyat terbelah menjadi kepingan-kepingan sosial dengan penuh dendam, saling benci, saling dengki,” ujar Puan.
Menurut dia, perbedaan di tengah masyarakat adalah hal alami. Akan tetapi, berkaca dari sejarah, persatuan dan kesatuan adalah fondasi utama dalam membangun bangsa. Persatuan dan gotong royong juga terbukti menjadi modal penting bagi Indonesia bisa keluar dari pandemi Covid-19. Tanpa persatuan rakyat sulit bagi bangsa Indonesia mencapai kemajuan ke depan.
”Bangsa Indonesia hendaknya setia kepada sifat asalnya, yaitu bangsa yang berbeda-beda tetapi dipersatukan oleh Pancasila, ojo pedhot oyot (jangan lupa pada asalmu),” kata Puan.
Ia menekankan, seluruh elemen bangsa hendaknya memahami kapan waktunya bertanding dan kembali bersanding. Di tengah konteks tersebut, DPR sesuai dengan kewenangan konsitusionalnya akan mengawal penyelenggaraan pemilu. Hal itu penting untuk memastikan pemilu berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil.
Puan juga mengajak seluruh komponen bangsa bekerja sama membangun demokrasi Indonesia. Menurut dia, sejak reformasi, praktik-praktik penyelenggaraan negara sudah semakin demokratis apabila dilihat dari aspek keterbukaan publik, akuntabilitas, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi. Akan tetapi, itu semua masih harus terus ditingkatkan.
Sebelumnya, saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR, Presiden Joko Widodo juga menyinggung pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, terutama di tengah perkembangan teknologi informasi. Jokowi mengungkapkan, keberadaan media sosial (medsos) tak hanya membuat publik bisa menyampaikan aspirasinya secara terbuka, hal itu juga bisa diketahui secara langsung, bahkan oleh dirinya sebagai Presiden.
Berdasarkan pengamatan Presiden, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa Indonesia mulai hilang. Hal itu terlihat dari caci maki yang disampaikan melalui medsos. Kecenderungan itu memperlihatkan bahwa kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah, yang Jokowi sebut sebagai polusi budaya.
Jokowi bersyukur tidak semua masyarakat ikut serta dalam polusi budaya itu. Di sisi lain, caci maki di medsos justru membangkitkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas di ruang publik. Bersatu untuk menjaga mentalitas masyarakat sehingga Indonesia bisa tetap melangkah maju untuk menjalankan transformasi bangsa untuk menjadi negara maju.
Politik pembangunan
Selain soal pemilu, Puan juga menyinggung soal kinerja legislasi sejak 2019 hingga saat ini. Sejauh ini DPR dan pemerintah telah membahas 64 undang-undang (UU). Dari 64 UU itu, enam antara lain diselesaikan melalui Komisi I DPR, Komisi II (26 UU). Komisi III (6 UU), Komisi V (1 UU) Komisi VI (5 UU), Komisi VII (1 UU), Komisi IX (1 UU), Komisi X (2 UU), Komisi XI (5 UU). Selain itu, Badan Legislasi (Baleg) juga menyelesaikan lima UU, Badan Anggaran (Banggar) satu UU, Panitia Khusus (Pansus) menyelesaikan tiga UU.
”Pada masa persidangan ini, DPR RI bersama pemerintah dan DPD akan meneruskan pembahasan 13 RUU (rancangan undang-undang) yang saat ini masih berada pada pembicaraan tingkat I dan RUU lainnya yang masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas tahun 2023,” kataPuan.
Ia menambahkan, salah satu yang akan dibahas adalah RUU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Periode Tahun 2025—2045. Pascaamendemen UUD 1945, perencanaan pembangunan jangka panjang dilakukan bertahap dan dirumuskan dalam bentuk UU, yakni UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005—2025. Untuk itu, pada periode selanjutnya akan dibuat UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045.
”Keberadaan UU ini ke depan perlu dioptimalkan untuk memberikan arah dan prioritas pembangunan nasional secara menyeluruh sehingga setiap presiden, gubernur, dan bupati/wali kota tidak lagi memiliki visi misi pembangunannya masing-masing,” tutur Puan.
Menurut dia, Indonesia harus memiliki politik pembangunan, yaitu kegiatan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, karakter bangsa, pembangunan daerah, dan semua kegiatan berencana strategis lainnya. Seluruh rencana kerja itu harus dapat dituangkan dalam desain politik pembangunan yang cakrawalanya menjangkau masa depan dan menjawab permasalahan bangsa dan negara kekinian.
”Pembentukan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045 dapat menjadi momentum di dalam memperkuat Politik Pembangunan Semesta Indonesia yang terencana, terpimpin, terkoordinasi, dan berkelanjutan,” ujar Puan.