Koalisi parpol masih berpotensi bergeser selama belum ada sosok bakal cawapres yang ditetapkan. Pertentangan masih mungkin terjadi karena tiap-tiap parpol dalam koalisi mengusulkan nama bakal cawapres yang berbeda.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergeseran peta koalisi politik masih berpotensi terjadi karena sampai saat ini belum ada satu pun gabungan partai politik yang menetapkan bakal calon wakil presiden (cawapres). Sosok bakal cawapres yang ditetapkan akan menjadi penentu soliditas koalisi karena harus bisa diterima dan disepakati partai-partai politik anggota koalisi.
Dua bulan menjelang pendaftaran bakal capres-cawapres, sudah terbentuk tiga poros koalisi. Salah satunya koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Perindo, dan Partai Hanura. Satu koalisi lain ialah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Selain itu, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang dibentuk Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Ketiga koalisi itu sama-sama sudah menyepakati bakal capres. PDI-P dan mitra koalisinya telah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai bakal capres, KKIR sepakat mengusung Prabowo Subianto, dan KPP mengusung Anies Rasyid Baswedan. Meski demikian, ketiga koalisi itu belum juga menetapkan bakal cawapres. Padahal, pendaftaran capres-cawapres akan dimulai pada 19 Oktober hingga 25 November 2023.
Belum adanya sosok bakal cawapres membuat koalisi yang sudah terbentuk masih berpotensi bergeser. Sebab, sosok cawapres juga menjadi penentu soliditas koalisi.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, belum adanya sosok bakal cawapres membuat koalisi yang sudah terbentuk masih berpotensi bergeser. Sebab, sosok cawapres juga menjadi penentu soliditas koalisi.
”Kalau secara persentase sementara, potensi pergeseran antarparpol dalam koalisi masih dinamis. Terlebih mereka berupaya untuk melihat potensi winning coalition yang ideal. Kalau faktor cawapres memang jadi salah faktor penentu. Namun, akomodasi kepentingan terhadap potensi kursi di posisi-posisi lainnya juga penting,” kata Wasisto, saat dihubungi, Selasa (15/8/2023).
Menurut Wasisto, sosok bakal cawapres yang dipilih nanti, selain mampu menjaring suara di daerah-daerah yang masih didominasi pemilih mengambang, juga harus bisa diterima semua partai dalam koalisi. Di internal koalisi, diperlukan juga komunikasi intensif antara formatur koalisi dan anggota-anggotanya supaya bisa merumuskan sosok cawapres yang ideal. Jika menemui jalan buntu, potensi perpecahan koalisi bisa saja terjadi.
Saat ini tiap-tiap parpol koalisi mengusulkan nama untuk dipilih menjadi bakal cawapres. Hal itu salah satunya terjadi di KKIR. Seperti disampaikan Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, para ketua umum partai di KKIR mempunyai ”jagoan” masing-masing untuk diajukan sebagai bakal cawapres dari Prabowo. Golkar, misalnya, mengajukan ketua umumnya, Airlangga Hartarto. PAN menyodorkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. PKB mencalonkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar.
Tidak taktis
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengatakan, KPP sudah melewati begitu banyak tahapan dalam proses pencapresan, mulai dari deklarasi Anies sebagai bakal capres, pembentukan koalisi, hingga kini masuk tahap konsolidasi, sosialisasi, dan penentuan cawapres. Dalam pandangan Nasdem, penentuan bakal cawapres secara lebih awal sangatlah tidak taktis. Sebab, koalisi harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana peta politik Pilpres 2024 nanti.
”Kami lihat, dinamika politiknya sekarang sangat tinggi sehingga (penentuan bakal cawapres) tidak urgen menurut saya,” ucapnya.
Hal yang urgen saat ini, menurut Ali, ketiga partai di KPP segera mengonsolidasikan kekuatan. Selain itu, menyusun strategi untuk membuat Anies lebih dikenal masyarakat dan gagasannya bisa sampai ke masyarakat. ”Nah, ini tentunya tidak bisa dikerjakan seorang Anies, tetapi harus dikerjakan oleh koalisi. Tugasnya koalisi,” katanya.
Sebab, Nasdem melihat upaya untuk menyosialisasikan Anies masih parsial. Belum semua partai di KPP ikut bergerak. Jika kondisi tersebut dibiarkan, Nasdem khawatir publik justru mempertanyakan soliditas internal koalisi.
”Saya belum melihat ini kerja bersama. Seharusnya sudah ada tim kecil yang kemudian dibentuk koalisi untuk kerja bersama-sama menyosialisasikan Anies. Jadi, Nasdem jalan sendiri, PKS jalan sendiri, Demokrat juga jalan sendiri. Di akhir-akhir ini justru malah kami lihat memperdebatkan soal cawapres,” tutur Ali.
Tak hanya KPP, koalisi PDI-P juga masih merumuskan bakal calon pendamping Ganjar. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto memastikan penentuan bakal cawapres akan didiskusikan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri bersama para ketua umum partai pendukung Ganjar.
”Momentumnya, setelah 17 Agustus, September itu untuk konsolidasi. Batas akhir yang diberikan Komisi Pemilihan Umum itu pada Oktober. Dengan demikian, dengan melihat konstelasi politik nasional, akan dicari siapa calon wakil presidennya,” ujar Hasto seusai acara pemberian penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia kepada PDI-P terkait pengobatan gratis di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/8/2023).
Hasto menyebut sosok bakal cawapres Ganjar nanti akan dipertimbangkan dari banyak hal, mulai dari aspek elektoral, representasi dari pemilih, hingga keterpaduan di antara mereka. Dengan begitu, Ganjar dan wakil presidennya nanti merupakan satu kesatuan atau dwitunggal yang bergerak bersama untuk memenangkan hati rakyat.
Menurut Hasto, sosok bakal cawapres Ganjar nanti sangat mungkin berasal dari kalangan profesional ataupun nonpartai. Hal yang terpenting sosok tersebut merupakan representasi dari rakyat serta mampu mempercepat kemajuan Indonesia.