Cita-cita Indonesia Emas 2045 Mesti Diupayakan Mulai Sekarang
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional 2016-2022 Agus Widjojo mengingatkan, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, pembenahan di bidang kesehatan dan pendidikan mutlak dilakukan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cita-cita menuju Indonesia Emas tahun 2045 sebagai negara maju dan sejahtera menuntut sumber daya manusia yang berkualitas dan penguasaan pada teknologi. Bonus demografi yang memuncak pada 2045 akan berbalik menjadi ancaman jika pendidikan dan kesehatan sebagai dasar membangun manusia Indonesia tidak dibenahi mulai sekarang.
Hal itu terungkap dalam acara bedah buku Menuju Indonesia Emas 2045yang diselenggarakan OJK Institute secara daring, Senin (14/8/2023). Pembicara dan panelis yang hadir dalam bedah buku tersebut adalah Deputi Komisioner OJK Institute Imansyah; Duta Besar Indonesia untuk Filipina yang sebelumnya adalah Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2016-2022 Agus Widjojo; serta para penulis dan editor buku Indonesia Menuju 2045, yakni Bernada Rurit, Paulus Tri Agung Kristanto, dan Philips J Vermonte. Adapun buku Indonesia Menuju 2045 diterbitkan atas kerja sama Lemhannas, harian Kompas, dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia.
Dalam bedah buku tersebut, para panelis memaparkan beberapa data yang menggambarkan sumber daya manusia Indonesia. Data yang dipaparkan, antara lain, skor Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 72 dan rata-rata skor IQ anak Indonesia hanya 78,49 atau di peringkat 130 dr 199 negara berdasarkan data World Population Review 2022. Indikator lain adalah pelajar di Indonesia menghabiskan waktu belajar rata-rata 12,4 tahun, meski sebenarnya waktu belajar yang efektif hanya 7,8 tahun jika dibandingkan dengan pelajar dari negara lain.
Belum lagi laporan Bank Dunia tahun 2020 menyebutkan, kebanyakan penduduk Indonesia tidak memiliki keterampilan untuk masuk ke industri 4.0, bahkan tidak juga untuk industri 2.0. Demikian pula skor Human Capital Index Indonesia tahun 2020 adalah 0,54 yang berarti produktivitas dari setiap anak yang lahir hanya 54 persen sehingga menempatkan Indonesia di peringkat ke-96 dari 173 negara.
Indikator lain adalah skor Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2019 yang menurut United Nations Development Programme adalah 0,718 yang menempatkan Indonesia pada urutan 107 dari 189 negara. Sementara anggaran riset dan pengembangan di Indonesia hanya 0,1 persen, jauh di bawah Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura. Hal itu selaras dengan proporsi peneliti di Indonesia yang hanya 89 peneliti per 1 juta penduduk, jauh di bawah Korea Selatan yang memiliki 6.800 peneliti per 1 juta penduduk, Jepang dengan 5.382 peneliti per 1 juta penduduk, ataupun Malaysia dengan 2.000-an peneliti per 1 juta penduduk.
Menurut Imansyah, berbagai hambatan tersebut mau tidak mau harus diatasi agar cita-cita Indonesia menjadi negara maju dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 memerlukan kepemimpinan yang mampu dan berani membuat inovasi dan keputusan.
Demikian pula perkembangan teknologi yang kini ditandai dengan kecerdasan buatan hampir dipastikan akan berdampak pada segala bidang, termasuk perbankan dan keuangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk terus meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.
Menurut Agus, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, pembenahan di bidang kesehatan dan pendidikan mutlak dilakukan. Hal itu dimulai dengan memastikan asupan gizi yang baik bagi perkembangan janin dan bayi, hingga menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai hingga ke pelosok Indonesia. Demikian pula dalam bidang pendidikan, pemerintah harus menyediakan lembaga pendidikan, guru, hingga dosen secara merata. Siswa pun diharapkan diberi dasar untuk bisa berpikir secara kreatif dan kritis agar nantinya tetap terus bisa belajar tanpa bergantung pada guru.
”Apa outcome-nya? Manusia indonesia dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi, anggaran itu tidak hanya untuk konstruksi, tetapi juga untuk membentuk aspek intelektualitas manusia Indonesia,” ujar Agus.
Menurut Bernada, Indonesia memiliki modal positif dalam menyongsong 2045, yakni penduduk berusia produktif besar. Mereka akan bisa membawa Indonesia masuk masa keemasan jika mereka disiapkan agar menjadi manusia yang unggul, tetapi bisa menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik.
Senada dengan Agus, diperlukan intervensi pemerintah untuk menyiapkan sumber daya manusia yang unggul melalui pendidikan, yakni menyediakan guru dan dosen yang berkualitas sampai ke pelosok. Pola belajar juga mesti dibenahi menjadi dua arah, berpikir kritis dan kreatif, serta membiasakan menulis sejak dini. Di sisi lain, baik guru maupun dosen wajib menguasai teknologi. Di bidang kesehatan, pemerintah juga diharapkan mencegah terjadinya tengkes dengan memastikan asupan gizi yang baik bagi ibu hamil dan bayi.
Terkait dengan hal itu, Philips memberikan perspektif bahwa pada 2045, kebanyakan penduduk akan hidup di perkotaan dengan sebagian besar penduduk adalah kelas menengah. Sementara isu perubahan iklim beserta potensi kerusakannya tetap akan ada. Di sisi lain, negara-negara akan semakin berkompetisi memperebutkan sumber daya mineral atau sumber daya alam.
Menurut Phillips, meski angka harapan hidup manusia Indonesia pada 2045 menjadi rata-rata 73 tahun, besarnya jumlah warga senior saat itu yang diperkirakan mencapai 50 juta jiwa akan menimbulkan tantangan sendiri. Berkaca dari Jepang yang mengalami stagnasi ekonomi karena warga senior sangat besar, hal itu harus disiapkan sejak sekarang.
”Ekonomi yang berkembang saat ini tidak lagi berbasis pada raw material, tetapi berbasis pada ilmu pengetahuan. Dia harus melibatkan kebijakan agar semua pemangku kepentingan berupaya membangun ke sana,” kata Philips.
Tantangan di Indonesia, kata Philips, adalah rendahnya anggaran riset dan pengembangan. Jika melihat negara maju, sebenarnya justru sektor swasta yang berkontribusi lebih banyak dalam hal riset dan pengembangan yang akhirnya hal itu memunculkan jenama terkemuka di bidang teknologi.
Hal lain yang menurut Philips mesti dibenahi adalah mitigasi bencana masyarakat Indonesia yang rendah. Padahal, bencana tersebut merupakan kerentanan sistemik yang harus ditangani sebagai isu strategis nasional. Dengan demikian, ancaman bencana harus dilihat secara sistemik yang harus dihadapi dengan memobilisasi sumber daya dan teknologi sebagaimana hal itu dilakukan negara-negara Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Terkait dengan cita-cita mencapai Indonesia Emas 2045, Tri Agung mengingatkan bahwa potensi tersebut bisa berantakan karena kesehatan mental. Jika melihat Jepang, ketika dunia membicarakan revolusi industri 4.0, Jepang justru menyampaikan tentang society 4.0 dengan memadukan antara anak muda, orang tua, dan teknologi dengan berbasis komunitas.
”Kita punya keyakinan bahwa Indonesia memiliki kekuatan berupa kelas menengah yang meningkat, warganya semakin terpelajar, tapi ancamannya adalah kesehatan mental. Kesehatan mental bisa terjadi karena tekanan lingkungan, tapi bisa terjadi juga terkait bagaimana kita mengelola keluarga, mengelola masyarakat, dan bagaimana mengelola bangsa,” tutur Tri Agung.
Tri Agung menyebut, isu ganti pemimpin maka berganti pula kebijakan merupakan salah satu hambatan Indonesia maju. Contoh lainnya, kasus pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia oleh seniornya sendiri karena terlilit utang investasi kripto dan pinjaman daring menunjukkan bahwa tekanan mental juga terjadi pada mereka yang melek pendidikan.
Ketika ditanya tentang kemungkinan Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas pada 2045 di tengah berbagai tantangan tersebut, Agus mengatakan bahwa dari berbagai data yang ada, cita-cita itu bisa terwujud. Untuk itu, berbagai pembenahan sebagaimana sudah dijelaskan para panelis mesti mulai diupayakan sejak sekarang.
”Tantangan terbesar adalah aspek kultural, kebiasaan-kebiasaan kita, jadi lebih ke aspek tradisional dibandingkan rasional,” ujar Agus.